Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Rabu, 29 Juni 2011

Rindu Dendam (Mzm 63:2)

Pernahkah kamu merasa begitu rindu pada seseorang atau sesuatu hingga jiwamu bagai kehilangan tumpuan, ragamu bagai hilang setengah nafas, kesadaranmu serasa melayang-layang dengan nafsu mencari? Jika kamu pernah menyintai dengan hati, kamu pernah merasakannya. Itulah rindu dendam, rasa rindu yang kuat dan tak terbendung.

Rasa rindu yang kuat ini dimiliki Daud kepada Allah. Begitu kuatnya, sehingga dituliskan dalam bentuk ratapan pribadi. Rasakan betapa seluruh keberadaan-Nya mencari Allah dengan segera atau ia akan mati. Hidupnya terasa bagai Padang Gurun Yehuda yang kering dan tandus, tiada tanda-tanda kehidupan, jika tanpa Allah. Metafora ini menunjukkan kesadaran tinggi mengenai siapa Allah. Ia adalah Air Hidup, Sang Sumber Kehidupan itu sendiri. Sudahkah kamu merindukan Allah pagi ini?

Minggu, 26 Juni 2011

DI UJUNG PENANTIAN

Gemericik tetesan air hujan,
Disambut hati yang galau.
Menumbuhkan benih-benih yang lama telah tersemai.
Yang datangnya perlahan seperti datangnya kabut.

Oh, kurasa aku tak tahu kalau semua ini lambat... lambat datang.
Dan menyapaku dengan lembut.
Getar-getarnya menyentuh tubuh.
Lebih terasa mengawang sanubari.

Ning... ning... hening, terhanyut dalam keheningan.
Makin lama makin bening.
Menanti diraih, siap untuk dipetik.
Walau lambat... lambat datang, asal tak berlalu hadirnya.

With CW & FJ

Selasa, 21 Juni 2011

Pangkuan Maut, Kebahagiaan Palsu

Baca Hak 16:4-21, fokus: ayat 19

Tempat apakah yang paling nyaman di dunia? Bagi saya, itu bukan hotel mewah, bukan pantai-pantai eksotis kesukaanku, bukan pula spring-bed yang mahal; melainkan pangkuan orang yang kita kasihi. Pangkuan itu membuat saya terlena dalam kenyamanan, lalu tertidur.

Inilah yang terjadi pada Simson, Nazir Allah. Ingatkah bahwa ia sesungguhnya adalah hakim, utusan Allah? Sebagai hakim, ia mengemban tugas penyelamatan atas Israel yang digagahi bangsa Filistin. Untuk itu, ia diberi kekuatan khusus, melebihi orang biasa. Konsekuensi dari tugas dan kekuatan itu adalah tetap terjaga pada pada kehendak Allah dan kebenaran-Nya. Namun ironis, Alkitab mencatat ia lalai. Ia menyandarkan kepalanya pada Delila dan tertidur, atas nama cinta.

Bagi saya, kesalahan Simson bukanlah karena ia mencintai seorang wanita. Cinta adalah rancangan Allah yang baik bagi manusia. Hal fatal yang menghancurkannya adalah memilih pangkuan cinta yang salah. Pangkuan itu membuat ia tidak hanya tidur secara fisik; melainkan juga tidur dari Allah. Begitu bodohkah ia, sehingga tak menyadari sudah dua kali kekasihnya itu membohonginya tentang kedatangan orang Filistin (ay. 9 & 14)? Dimanakah nyalinya yang besar, yang mampu mencabik singa tanpa apa-apa di tangannya? Dimanakah kekuatannya yang sanggup menewaskan 1000 orang Filistin dengan tulang rahang keledai? Oh, tidak! Dengan kekuatan itu, ia tak sanggup menolak pangkuan maut Delila. Ia mereguk kebahagiaan palsu dan mengabaikan kebenaran. Pangkuan itulah yang menghantarnya pada maut yang sesungguhnya?

Hal yang sama bisa terjadi pada kita, Temans. Kita adalah orang-orang pilihan yang diperlengkapi dengan tugas-tugas tertentu untuk kemuliaan Allah. Kita harus terjaga pada Allah dan tidur dari dosa. Hari ini, ingatlah hal-hal apa saja yang telah menawarkan pangkuan maut pada kita? Apakah itu kesenangan-kesenangan yang meminggirkan Tuhan dari posisi-Nya yang utama dalam hidup kita? Apakah itu kebiasaan-kebiasaan merusak yang membuahkan dosa? Ingat, pangkuan maut menghasilkan kebahagiaan semu. Tetaplah terjaga hari ini di setiap aktifitasmu (Vero).

Rabu, 29 Desember 2010

SESEDERHANA ANTARA AKU DAN DIA

Setiap kali ngerayain natal, gua kudu siap juga mengingat kejadian gua ada di dunia. Setelah beranjak dari usia lima tahun, gua ga bener-bener memperingati seperti yang gua lakuin buat orang lain. Bahkan sweet seventeen yang diidam-idamkan cewe buat reramean malah gua lewatin totally alone di rumah sambil makan indomie (abis ga ada yang laen). 27 Desember selanjutnya kebanyakan dilewatin dengan sederhana. Sesederhana antara aku dan DIA. Sayangnya, gua ga sempet lakuin tradisi ini pada 27 Desember 2010 karena berbagai aktifitas dan kondisi yang membuat ga bisa menghindari orang lain.

Akhirnya, datang juga kesempatan yaitu tepat dua hari setelah hari 'H'. Sendiri, tanpa kue (ada dikasih orang, tapi ga ikutan makan), tanpa tiup lilin (ada beberapa perayaan kecil yang diadakan, tapi gua minta orang lain buat niupnya), tanpa ritual make a wish, tanpa kado, tanpa orang-orang terkasih. Mungkin bagi Elo, ulang tahun begini nampak sangat menyedihkan. Gua ga siapin apa-apa buat diri sendiri, selain hati yang siap diuji. Bisa dibilang, ini adalah sebuah bentuk asah karakter. Tahun depan pengen bisa melepas ego besar-besaran. Harus siapin diri karena ada beberapa kenyamanan yang bakal gua lepas demi sebuah mimpi. Dan, inilah hasil perayaan sederhana itu yaitu sesederhana antara aku dan DIA.

Raga ini ada karena DIA
Maka layaklah mengingat keberadaanku dengan-Nya
DIA menyebut diri sebagai HAMBA
Maka aku adalah hamba dari SANG HAMBA
Tak banyak bicara, namun terus berkarya
Selalu memberi, bukan menerima
Siap bayar harga demi sebuah visi mulia
Sanggupkah aku meneladani-Nya?

Rasa ini tercipta oleh DIA
Maka layaklah kutumpahkan hanya kepada-Nya
Dia mengosongkan diri dan rela tanggung sengsara
Maka aku adalah murid sekolah derita
Tak berharap pembelaan manusia
Siap dilupakan dan dipandang sebelah mata
Tak mudah menjadi kecewa dan terluka
Sanggupkah aku dengan setia menanggungnya?

Malam ini adalah hari terakhir di tahun 2010 untuk menangisi diriku
Esok kan siap tinggalkan masa lalu
Songsong masa depan tanpa sedikitpun ragu
Karena kuyakin tak sendirian melaju

Sesederhana antara aku dan DIA, simple namun menguatkan. How great is THE LORD!

Kamis, 23 Desember 2010

NATALKU BERSAHAJA: KETAATAN DI TENGAH KESUSAHAN


Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38)

Dua natal sudah kulalui di Bandung. Keduanya sangat kreatif, meriah, dan tentu saja mewah. Namun, ada yang berbeda pada natal kali ini. Di satu sisi, ada rasa senang melihat anak-anak muda yang begitu antusias mengasah talenta. Juga kunikmati gegap-gempita dan warna-warni karnaval natal. Namun jujur, semua itu sungguh melelahkan. Maka, kuputuskan menepi sejenak dari segala hingar-bingar interaksi dengan manusia dan juga dari kesibukan alam pikiran.

Entah kenapa yang muncul dibenak ini pertama kali adalah sosok Maria. Ia seorang perempuan belia yang aku perankan di atas panggung, 20 Desember 2010. Sekonyong-konyong kulihat diriku di kesunyian malam yang kudus. Aku termenung di jendela dengan mata menatap jauh ke langit, menembus kepekatan malam yang bertabur gemerlap bintang. Tidak hanya menikmati keindahannya; namun mengumbar angan dan menebar mimpi.

"Oh Tuhan, sungguh jauh rinduku tuk dapat dicapai!" Aku berteriak lagi dalam hati, "Tuhan, beri aku sepasang sayap tuk mengejarnya!" Kujulurkan tangan lagi ke luar jendela hendak menggapai sebuah bintang. Lalu, meleleh air mataku. "Ah, tak dapat kumeraihnya. Aku lelah menanggung semua beban yang membuatku menapak di bumi. Ingin segera kutanggalkan dan pergi menari-nari dengan sang mimpi."

Saat itulah kudengar sebuah suara lembut, namun begitu hangat. "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau!" Kutengadahkan wajah mencari asal suara yang menentramkan hati itu; namun tetap tak terlihat. Ketakutan mulai merayapi nyali. Namun suara itu kembali menggema, "Jangan takut, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya, Allah telah berkenan membagikan hati-Nya dalam hatimu, menaruhkan firman-Nya dalam mulutmu, dan menyuntikkan kekuatan-Nya pada ragamu untuk menunaikan tugas mulia tertentu."

Maka jawabku, "Bagaimana mungkin, karena aku hanya manusia sederhana yang sering dipandang sebelah mata. Kemampuanku diragukan, usahaku tak dihargai, keberadaanku diabaikan." Jawabnya, "Immanuel! Allah besertamu, takkan tinggalkanmu!" Hatiku berdegub kencang bagai diserang cinta pada pandangan pertama. Bibir ini ingin berucap seperti Maria. "Sesungguhnya aku ini ham...." Kucoba namun tak sanggup. Fiat Maria ini terlalu berat. "Tidakkah Engkau mengerti kesusahanku?" tanyaku sambil berusaha membenarkan diri. Ia berkata lagi, "Immanuel! Allah besertamu, takkan tinggalkanmu!" Ah, degub itu kembali terasa dan bahkan semakin kencang. Dengan sisa kebebalan terakhir, kumenjerit sambil tersungkur di lantai nan dingin. "Aku tak sanggup. Terlalu pahit. Ijinkan aku melepas kuk dan mereguk kebebasan!" Sekali lagi dengan sangat lirih suara itu berkata, "Immanuel! Allah besertamu, takkan tinggalkanmu!"

Kini kehedakku tak dapat lagi menolak harmoni dengan kehendak-Nya. Ini natalku yang bersahaja. Kubelajar ketaatan di tengah kesusahan. Entah apa yang terjadi di depan. Ku mulai disanggupkan berkata, "Sesungguhnya aku ini ham..., ham..., hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Immanuel!

Selasa, 21 Desember 2010

IBUKU, PAHLAWAN IMANKU


1Timotius 1:5

Kebahagiaan seorang wanita seringkali diidentikkan dengan perannya menjadi seorang ibu. Itu sebabnya seorang wanita akan merasa lengkap jika ia telah melahirkan, merawat, mendidik dalam sekolah formal, menyaksikan ia mejadi seorang yang sukses dalam pekerjaan, menikah, dan menghasilkan para penerus keluarga. Akan tetapi, benarkah tugas dan kebahagiaan seorang ibu hanya sampai di situ saja? Kelahiran seorang anak dari buah kandungan seorang wanita memang adalah sebuah anugerah yang membawa kebahagiaan. Akan tetapi, anugerah yang membawa kebahagiaan sejati adalah ketika seorang ibu dapat memberikan warisan iman yang menghantar sang anak menjadi sukses di mata Tuhan.

Anugerah ini pernah dikecap oleh anak-beranak dalam keluarga Timotius. Ia adalah seorang anak yang lahir dari perkawinan campuran. Ibunya seorang Yahudi, sedangkan ayahnya seorang Yunani. Ia adalah seorang muda yang sukses di mata Tuhan karena telah dipilih oleh Paulus untuk menjadi teman seperjalanannya. Ia dipercayai untuk melakukan pelayanan-pelayanan yang tidak mudah (1Kor 4:17). Ia juga dikenal mempunyai iman yang tulus iklas, bukan pura-pura (ay. 5). Dari manakah Timotius mempunyai iman yang seperti itu? Iman memang berasal dari Allah. Namun, Allah juga menganugerahkan iman melalui alat-Nya. Begitu juga dengan Timotius. Imannya yang murni ternyata diwariskan mula-mula dari neneknya (Lois) kepada ibunya (Eunike) dan kemudian dari sang ibu kepada Timotius.

Proses mewariskan iman tersebut juga tidak mudah. Eunike yang menikah dengan seorang kafir tidak dengan begitu saja meninggalkan imannya hanya karena cinta. Ia tetap bertahan walau mungkin tidak mudah hidup dengan orang yang memiliki kebenaran yang berbeda. Ia tidak hanya mempertahankan imannya, melainkan juga mengajarkannya. Sebagai seorang ibu, Eunike memiliki peran yang benar. Ia tidak pernah berkata, “Mari kita membesarkan Timotius secara netral saja dan biarlah ia memutuskan imannya setelah cukup umur.” Keteguhan Eunike untuk mewariskan iman yang benar kepada Timotius adalah salah satu alasan yang membuat Timotius sukses di mata Tuhan.

Di bulan Desember ini kita merayakan hari ibu. Kiranya di hari yang spesial buat para ibu ini, para anak diingatkan kembali akan kasih seorang ibu yang besar, bukan karena ia mewariskan harta yang berlimpah dan memberi kasih yang memanjakan; melainkan karena memiliki dan mewariskan iman yang sejati kepada Allah yang benar. Selamat hari ibu kepada Mamaku tersayang, Lidyawati. Terima kasih untuk sebuah warisan iman, walau engkau tak pernah lulus Sekolah Dasar. Terima kasih karena di masa lampau Mama telah mengantarku ke Sekolah Minggu, juga memberi teladan doa dan baca Alkitab secara rutin. Akhirnya, selamat hari ibu kepada semua ibu yang berbahagia karena imannya.

Doa: Bapa di surga, terima kasih kami panjatkan untuk seorang ibu yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkan kami. Terima kasih untuk setiap derita, tetesan keringat, pengorbanan, dan air mata Ibu, yang karenanya kami beroleh warisan iman kepada-Mu. Ampuni kami jika selama ini tidak atau belum dapat memperlakukan ibu kami dengan benar karena telah menyepelekan warisan iman yang Engkau percayakan kepadanya.

JANGAN BIARKAN HAMBA BESAR KEPALA


Pedih...
Dihujani hujatan namun tak sanggup merintih
Langkahku kini tertatih-tatih
berjuang untuk bangkit dengan gigih

Tuan, sungguh hamba telah berusaha
Tetap berharap lewati semua asal Engkau beserta
Namun, pahit kenyataan terus-menerus menorehkan luka
Tolong, jangan biarkan hamba besar kepala

Berilah tanda yang telah lama hamba pinta
Kekuatan menimbang, mengambil putusan dengan hati lega
Tuntun kaki ini melangkah menjemput impian yang mana
Dan tolong, jangan biarkan hamba besar kepala

Tak mampu lagi hamba-Mu ini berkata-kata
Pandangan semakin kabur dibanjiri air mata
Hukum, hukumlah, hamba pasti kan terima
Asal, jangan biarkan menjadi besar kepala

Bandung, 19 Desember 2010