Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Selasa, 15 Juni 2010

Tuhan, Ajar Kami Melihat Kepemilikan Dengan Benar (Lukas 19:1-10)


Apa sih yang sadar atau tidak telah dianggap paling berpengaruh di dunia saat ini? Jawabannya adalah uang. Boleh setuju, boleh tidak. Ini fakta loh bahwa tanpa uang, kita ga bisa melakukan apa-apa. Bukankah bisa dikatakan hampir semua aktivitas hidup membutuhkan uang? Mulai dari hal-hal penting seperti berobat dan bersekolah, sampai hal-hal kecil seperti minum air putih dan buang air kecil. Kalau ada orang yang mengatakan ga butuh uang sama sekali, maka mungkin banyak orang akan spontan mengatakan, ”Ah itu mah muna (munafik)!”

Fakta menunjukkan bahwa uang bukan saja penting, tetapi terbukti sangat berkuasa. Ada yang bilang bahwa uang bisa membeli, menciptakan, mengubah, dan menyelesaikan “hampir” semua masalah dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Makanya muncul istilah SUMUT. Bukan kependekan dari propinsi Sumatera Utara, tetapi “Semua Urusan Mesti Uang Tunai.” Di kalangan perdagangan ada istilah “ada uang ada barang.” Dalam rumah tangga “ada uang, Abang sayang... ga ada uang, sandal melayang… atau ga ada uang, Abang ditendang.” Kemudian yang lagi tren di kalangan pegawai negeri atau pejabat pemerintahan ”kalau bisa dipersulit untuk apa dipermudah.” Apa lagi maksudnya kalau bukan UUD, yaitu "Ujung-Ujungnya Duit?" Sangat kelihatan kalau uang merupakan lambang kenyamanan, makanya orang bisa brutal dan histeris kalo tidak memiliki atau kehilangan uang.

Hal yang sama juga terjadi di dalam gereja, semoga tidak di gereja kita. Ada istilah, yang kaya yang bersuara. Mengapa bisa begitu? Karena kalau cuma tekuk lutut, tutup mata, dan lipat tangan saja dijamin ga akan ada program-program gereja yang jalan. Betul atau betul? Ga heran lagu Sekolah Minggu berkata, “Apa yang dicari orang? UANG! Apa yang dicari orang? UANG! Apa yang dicari orang siang, malam, pagi, petang? UANG, UANG, UANG, bukan TUHAN YESUS!”

Tapi sungguh berbeda dengan TUHAN. Kelanjutan lagu itu berkata, ”Apa yang dicari TUHAN? SAYA! Apa yang dicari TUHAN? SAYA! Apa yang dicari TUHAN siang, malam, pagi, petang? SAYA, SAYA, SAYA, orang yang berdosa!” Inilah fakta yang terjadi dalam Lukas 19:1-10, yaitu bahwa TUHAN mencari, menerima, dan memberikan diri-Nya kepada siapa saja. Itu sebabnya TUHAN YESUS menerima Zakheus. Siapakah dia?

Zakheus adalah Gayusnya zaman itu. Ia adalah seorang kepala pemungut cukai sekaligus koruptor. Ia membawahi beberapa pemungut cukai/penagih pajak dan bisa semaunya menentukan jumlah pungutan pajak. Itu sebabnya walaupun kaya-raya secara materi, namun dibenci dan dipandang sangat hina oleh masyarakat, apalagi oleh pemimpin agama Yahudi. Mereka dianggap sebagai para pengkhianat, yang bekerja sama dengan penjajah Romawi untuk mencekik perekonomian rakyat sebangsa-setanah airnya demi memperkaya diri sendiri. Itu sebabnya Zakheus tidak benar-benar bahagia dengan gelimang harta yang ada padanya. Dengan kekayaannya, semua bisa dibeli, dimiliki, dan dinikmati. Namun, tetap ada ruang kosong dalam dirinya yang ga pernah bisa diisi atau dipuaskan oleh apa yang dimilikinya. Itulah kebutuhan akan kasih sejati, pengampunan, dan penerimaan.

Alasan tersebut yang membuat ia nampak begitu antusias untuk bertemu TUHAN YESUS, yaitu seorang rabi (guru) agung yang berbeda dengan para pemuka agama yang selama ini dikenalnya. Para rabi atau pemuka agama biasanya sangat benci pada para pemungut cukai, pelacur, dan pendosa. Akan tetapi sebaliknya, YESUS justru tersohor sebagai sahabat orang berdosa (Luk 7:34). Dan benarlah seperti kata orang. Ketika bertemu secara langsung, YESUS menatap matanya dengan lembut, memanggilnya dengan hangat, dan mengulurkan tangan persahabatan untuk memintanya turun dari atas pohon ara. Tidak hanya itu saja, YESUS bahkan menawarkan diri untuk mampir ke rumahnya yang dipandang orang sebagai rumah nista karena dianggap sebagai hasil dari memeras rakyat sebangsanya sendiri.

Wah luar biasa sekali! Setelah sebelumnya YESUS menyembuhkan dan bergaul dengan seorang buta yang miskin dan papa, kini IA menerima agen penjajah yang kaya raya dan serakah. Bahkan salah satu murid-Nya yang bernama Matius/Lewi juga seprofesi dengan Zakheus. Makanya, buat Zakheus ini adalah sebuah anugerah bahwa YESUS mau mampir ke rumahnya untuk makan dan bercakap-cakap layaknya seorang sahabat. Menurut tradisi waktu itu, datang ke rumah dan apalagi makan bersama merupakan simbol relasi atau persekutuan yang sangat dalam. Itu sebabnya Zakheus sangat berbahagia menerima YESUS di rumahnya. Kerinduannya ga bertepuk sebelah tangan. Kasih YESUS yang hangat melelehkan kebekuan di hatinya akibat kebencian mendalam dari masyarakat. Kehadiran YESUS ga hanya memenuhi rumahnya dengan sukacita, namun juga mengisi relung hatinya yang hampa itu dengan penerimaan dan pengampunan.

Bukankah hal yang sama juga terjadi pada kita? Apapun kondisi kita saat ini, kaya atau miskin, sehat atau cacat, pejabat atau penjahat, kita semua lahir dengan telanjang dan mewarisi dosa. Dengan kondisi demikian, akhir hidup kita jelas yaitu menuju maut bersama dengan kehancuran dunia ini. Meskipun demikian, TUHAN yang suci itu ga pernah menolak kita. Ia sudah, sedang, dan tetap akan menawarkan anugerah ALLAH kepada kita dan semua orang yang membutuhkannya. Ia sungguh-sungguh ga peduli siapa kita, bagaimana rupa kita, seberapa banyak harta kita, sehebat dan sepandai apa kita. Dia selalu akan menyongsong dan menyambut kita dengan cinta-Nya yang tak berbatas dan tak bersyarat. Dia selalu siap tiap detik, tiap waktu mendengar keluh kesah dan segala teriakan minta tolong kita.

Dia ga hanya menjadi TUHAN, melainkan juga BAPA, Sahabat, Kekasih. Sungguh lengkap bukan? Saat manusia kehilangan kesabarannya, Ia menyediakan belas- kasihan dan pengampunan tak terhingga. Saat orang-orang yang kita kasihi menyeleweng dan meninggalkan kita, Ia selalu setia. Saat kita salah mengerti akan rancangan-rancanganNYA yang indah, Ia ga berhenti mendatangkan kebaikan. Saat tantangan dan kesulitan hidup menekan dan menimpakan beban, Ia menyediakan pertolongan, penghiburan, dan kekuatan. Saat kita kehilangan kepercayaan diri dan diliputi ketakutan, Ia menghibur, memancarkan sukacita dan damai sejahtera sejati. Saat kita digoyahkan oleh kekuatiran akibat misteriusnya masa depan, Ia mengikat kita dengan janji-janji yang pasti tergenapi.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita sungguh-sungguh mengalami kebahagiaan yang sama dengan yang Zakheus rasa? Ataukah saking terbiasanya dengan anugerah itu sampai rasanya biasa-biasa saja? Ga lagi istimewa. Mari coba mengingat kembali, kapan terakhir kali kita sungguh-sungguh bersyukur karena anugerah ALLAH yang melimpah di tengah penderitaan sekalipun? Kapan terakhir kali kita bersyukur untuk hal-hal kecil yang terjadi dan TUHAN percayakan? Kapan terakhir kali kita sungguh-sungguh menangis haru karena dosa kita luar dan dalam telah diampuni? Kapan terakhir kali kita meluap-luap dengan semangat untuk melayani dan menempa diri dengan disiplin-disiplin rohani karena telah dianugerahi hidup yang benar-benar hidup sementara Ia sendiri mati menggantikan kita? Kapan terakhir kali kita berteriak seperti Satria Baja Hitam, ”Berubah! Aku mau berubah!” ketika tahu TUHAN sudah menerima pertobatan kita?

Kalau masih sulit untuk mengingatnya, mari kita bercermin dari Zakheus yang mengalami THE POWER OF CHANGE, sebuah perubahan fokus hidup yang radikal ketika mengalami perjumpaan dengan TUHAN. Pertama-tama adalah ketika ia mendengar kabar bahwa YESUS akan melewati kotanya yaitu kota Yerikho. Ia ga pernah melihat dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana penampilan YESUS secara fisik. Ia ga pernah mengalami kebaikan-Nya secara langsung karena mereka belum pernah bertatap muka sebelumnya. Ia hanya mendengar dari kata orang. Saya ulangi, ia mendengar dari kata orang alias dari GOSSIP. Yah tahu sendirilah kalo gossip itu digosok-gosok makin sip. Bisa saja apa yang ia dengar tentang YESUS itu adalah berita yang ga benar bukan?

Iiman yang berbaur dengan rasa penasaran ternyata memberi dorongan yang kuat untuk bertemu dengan YESUS. Zakheus mau bertemu TUHAN YESUS? Itu ga mudah. Sebab sulit dibayangkan seorang kepala pemungut cukai yang setara dengan kepala kantor pajak mau mengorbankan reputasi dan harga dirinya untuk capek-capek ketemu orang di jalan. Badannya pendek lagi. Wah, kesusahannya jadi berkali lipat. Belum lagi resiko bertemu dengan orang-orang yang membencinya. Sungguh-sungguh ga mudah.

Akan tetapi, ia mengambil resiko itu. Mungkin sambil berjalan menuju kerumunan orang banyak yang menanti Yesus, ia harus menutupi mukanya agar tidak bertatapan mata dengan para pembencinya. Mungkin ia harus berjinjit dan mendongakkan kepala berkali-kali untuk melihat keberadaan Yesus. Alangkah capeknya. Mungkin ia harus menyelipkan diri di antara tubuh orang-orang yang berdesak-desakan. Senggol kanan, senggol kiri, terhimpit di tengah kerumunan orang, berkali-kali hampir jatuh, atau mungkin juga beresiko terinjak-injak orang lain seperti korban uang zakat di Pasuruan. Namun, ia tetap bertekat sambil bermodal nekat. Memanjat pohon pun dilakoni asal dapat melihat dan bertemu dengan Sang GURU AGUNG. Pokoknya, keberadaan YESUS benar-benar mengalihkan dunianya. Dia ga peduli akan dirinya sendiri lagi. Fokusnya pada waktu itu bukan dirinya. Kalo kornea matanya dibedah mungkin hanya ada bayangan YESUS yang tak sungguh-sungguh dikenalnya.

Puncaknya adalah ketika peristiwa yang tak akan pernah dapat dilupakannya itu terjadi. Yesus menyapanya, memintanya turun, dan berkata akan mampir ke rumahnya. Saat TUHAN YESUS tak menghiraukan sungut-sungut orang yang mengatakan bahwa IA menumpang di rumah orang berdosa adalah titik awal pertobatannya yang radikal dan menyeluruh. Sebagai respons terhadap anugerah ALLAH yang menghapus dosanya, Zakheus melepaskan setengah atau 50% dari kekayaannya untuk dipersembahkan bagi orang-orang miskin. Bukan hanya itu saja, dia berkomitmen penuh. Seandainya ada harta kekayaan yang diperolehnya dengan cara memeras orang lain, maka akan dikembalikannya empat kali lipat. Itu artinya dia bersedia mengembalikan harta hasil korupsi sesuai dengan hukum mata ganti mata ditambah kompensasi 300%.

Di sinilah kita melihat suatu makna pertobatan yang sangat dalam. Ia melepaskan kepemilikan yang merupakan kenyamanannya untuk ditukar dengan YESUS. Dengan kata lain, harga keberadaan dan perjumpaan dengan YESUS lebih tinggi dari segala harta dan kepunyaannya. Pengampunan dosa lebih penting dari segala harta. Bukankah ini esensi atau inti dari pertobatan itu sendiri yaitu meninggalkan dosa dan berpaling kepada TUHAN? Sebab itulah Yesus mengatakan: ”Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. YESUS memulihkan statusnya dari pendosa kepada penerima janji berkat ALLAH atas Abraham dan keturunannya. Itu artinya, Zakheus, si sampah masyarakat telah diubahkan menjadi saluran berkat seperti Abraham, Bapa leluhurnya, yang diberkati untuk memberkati. Ternyata dampak dari pertobatan Zakheus ini luar biasa. Pertama-tama kepada dia secara personal, kepada seisi rumahnya, selanjutnya terjadi pemulihan hubungan terhadap sesamanya.

Bercermin dari kisah Zakheus, kita melihat bahwa perjumpaan dengan TUHAN YESUS akan membuahkan pertobatan di mana terjadi perubahan pilihan terhadap fokus hidup. Artinya, ada perubahan cara pandang terhadap sesuatu yang dianggap bernilai untuk dimiliki yaitu dari segala milik kita kepada TUHAN, Sang Empunya yang sejati dari semuanya itu. Bukankah firman Tuhan berkata bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah milik-Nya? Oleh karena itu, Zakheus membuat sebuah keputusan yang bijak yaitu memilih TUHAN yang memberi arti pada hidupnya.

Hal yang sama juga seharusnya terjadi pada kita yang mengaku telah mengalami perjumpaan dengan TUHAN. Ketika kita mengklaim TUHAN YESUS sebagai satu-satunya Juru Selamat pribadi kita maka akan terjadi pertobatan sejati yang mengarahkan kita untuk memilih di antara dua pilihan yaitu diri sendiri atau TUHAN. Mana yang kita pilih sepenuhnya adalah hak bebas kita. Bahkan TUHAN pun tak akan memaksakan kehendak. Pilihan yang tidak mudah bukan, sementara kita hidup dalam tubuh dan daging ini? Saya sendiri jatuh-bangun dalam hal ini.

Saya jadi ingat pengalaman empat tahun yang lalu. Saya pernah ditipu oleh seseorang yang mengaku sebagai wakil dari sebuah perusahaan telepon selular “Fren.” Lewat telepon, Bapak itu mengatakan bahwa saya telah memenangkan hadiah sebesar 15 juta rupiah. Dia juga menanyakan kepada saya apakah saya memiliki rekening di Bank karena dia akan segera mentransfer uang tersebut. Saya yang biasanya tidak pernah percaya atau tertarik dengan yang begituan, jadi terpikat juga dengan uang 15 juta. Apalagi waktu itu papa saya baru meninggal dan sebagai anak sulung, saya merasa bertanggung jawab untuk membantu ekonomi keluarga. Uang 15 juta tentunya lumayan bukan?

Akhirnya saya memberanikan diri meminta izin pada ibu asrama. Beliau mengijinkan, tapi mengingatkan saya untuk berhati-hati terhadap penipuan. Saya sadar betul kenyataan mengenai maraknya penipuan berkedok pemberian hadiah, namun rasa penasaran dan ambisi untuk menerima 15 juta telah membutakan saya. Singkatnya, saya memang ditipu. Saya dituntun untuk mentransfer uang simpanan saya. Mulanya saya curiga dan agak meragukan Bapak itu, namun rasa penasaran saya jauh lebih besar. Akhir ceritanya sudah bisa ditebak. Uang saya hangus, impian dapat hadiah pun pupus.

Perbuatan penipu itu memang jahat. Akan tetapi, dia berhasil karena saya mengizinkan dia untuk menipu saya. Kalau diteliti lebih dalam lagi, saya berhasil ditipunya karena hati saya dikuasai oleh uang 15 juta. Uang 15 juta itu telah membuat saya meminggirkan Tuhan sehingga lebih memilih cara yang mudah untuk mendapatkannya daripada berharap pada Tuhan. Dengan kata lain, saya menukar TUHAN untuk 15 juta. Hikz... sedihnya TUHAN.

Lucunya, saya pernah mendapat telepon yang serupa. Kali ini mengaku dari perusahaan telkomsel. Suara seorang Bapak di seberang sana mengatakan bahwa saya memenangkan undian ke 7 Telkomsel Point dan berhak menerima uang sebesar Rp. 10.500.000,- dan pulsa senilai Rp. 500.000,- Tak jauh beda, Bapak itu juga menanyakan rekening saya. Kali ini saya ga tertarik sama sekali. Bukan saja karena sudah pengalaman ditipu, tetapi juga saya telah belajar untuk memilih yang benar.

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya belajar satu hal bahwa musuh kita yang terbesar bukanlah iblis. Musuh yang paling berbahaya ternyata terletak di dalam diri kita sendiri, di dalam pusat keberadaan kita. Dari dalam hati inilah, kita membuka atau menutup pintu—baik kepada Allah, iblis, maupun pada kenikmatan dunia. Apakah anda punya pengalaman yang serupa namun tak sama dengan saya? Apakah anda memiliki bidang-bidang kehidupan yang berpusat pada diri sendiri sehingga tetap berpegang erat pada dosa, cinta pada dunia, tidak mau melepaskan kebiasaan-kebiasaan buruk, lebih mengikuti hawa nafsu daripada mengejar hal-hal rohani, dan mencari keuntungan bagi diri sendiri, hitung-hitungan dengan TUHAN.

Itu semua adalah cerminan hati kita yang masih belum sepenuhnya diserahkan kepada TUHAN. Memang perubahan fokus hidup ini bukanlah sesuatu yang instant, namun berbicara mengenai proses. Proses yang ga mudah memang karena membuat kita membayar harga dari pilihan tersebut. Namun saat kita ada dalam dilema antara dua pilihan tersebut, mari mengingat kisah Zakheus. Kisah yang membuat kita menghayati kembali anugerah TUHAN yang besar, yang telah memulihkan status kita dari pendosa menjadi anak RAJA. Dan sebagai pertimbangan dalam memilih sekaligus sebagai penutup, ada sebuah cerita dari masyarakat Tiongkok kuno.

Konon ada seorang Raja yang hendak memilih penggantinya dari antara ketiga puteranya. Untuk itu ketiga pangeran diminta untuk memilih satu dari tiga peti yang ia sediakan. Si Sulung pilih peti yg besar dan kuat, berlapis emas, dan bertuliskan kekuasaan. Ketika dibuka isinya darah. Bukankah akhir atau inti dari kekuasaan biasanya adalah pertumpahan darah? Putera kedua memilih kotak yang lebih kecil, tetapi amat indah dan berhiaskan permata. Di atas peti itu bertuliskan kekayaan dan kemuliaan. Dia begitu senang, namun kemudian terkejut karena setelah dibuka isinya adalah abu dan tanah. Itulah akhir dari orang yg hanya mengejar kekayaan dan kemuliaan, menjadi abu dan tanah bersama dengan harta dan kebanggaannya. Si Bungsu memilih sebuah peti yang tampak buruk karena terbuat dari lempung. Peti itu bertuliskan kata TUHAN atau THIEN. Ketika dibuka, isinya ternyata sebuah tulisan sutera yang berbunyi keabadian. Berdasarkan pilihan tersebut, sang raja memilih pangeran bungsu untuk melanjutkan tahtanya karena hanya dia satu-satunya yang tidak memilih kefanaan dan kehancuran.

Bukankah kita pun adalah anak-anak Raja, yaitu para pewaris kerajaan ALLAH? Saat ini, kita sedang diperhadapkan dengan peti-peti yang sama. Manakah pilihan kita? Apakah kita akan menggenggam segala yang kita miliki sebagai sumber kenyamanan kita? Ataukah kita akan menggenggam Sang Sumber dari segala yang kita miliki itu dan meletakkan kenyamanan kita hanya kepada-Nya sebagai respons dari pertobatan kita? Manakah yang akan kita anggap lebih bernilai?

Yang jelas ketika kita memilih TUHAN, kita telah menerima janji-janji dalam firman-Nya.

Maleakhi 3:10b ... firman TUHAN semesta alam, apakah AKU tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.

Matius 6:33 Tetapi carilah dahulu kerajaan ALLAH dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.

Filipi 4:19 Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.

Dan terakhir marilah senantiasa berdoa, "Tuhan, ajar kami melihat kepemilikan dengan benar. Amin."

Jumat, 04 Juni 2010

The Making of Beautiful (Teguh dalam Penderitaan)

Hei, Cuy… I’m back dengan tema hidup dan penderitaan again (atas saran my bro yang ga terlalu ganteng tapi baek hati… peace buat yang ngerasa). Hidup dan penderitaan maybe bisa digambarin seperti lagi makan seporsi bakso kaget. Hahaha… apaan tuh? Buat pecinta bakso di Bandung, bakso kaget udah ga bikin kaget kalee. Meski gue blom pernah cobain sendiri, tapi nama besar bakso kaget selalu bikin gue ngiler. Ini bukan iklan ato promosi, cuman ilustrasi. Konon kabarnya, dalam semangkok bakso kita bisa pilih bakso apa ajah tanpa tahu isi di dalamnya. Jadinya, ya maen tebak-tebakan kira-kira bakal gigit bakso rasa apa yah? Kalo beruntung, kita ga bakalan ngerasain yang namanya bakso granat atau bakso cengek (isi cabe). Boeat elu-elu yang ga suka pedas, coba bayangin pas lidah sedang menari-nari menikmati sebuah bakso nan lezat dan gurih… tiba-tiba lidah kita itu diserang rasa panas menyengat akibat pedasnya cengek. “Huaaaaah…. eeeshhhhh, shhhhhh, shhhhhh, aaaaaah… puanaaaaas!” Is that your expression, Sob? But, wait a minute… that’s not my expression. Buat gue yang suka pedas, semakin panas semakin puas. Makanya, gue justru berharap semoga ada cengeknya. Huahahaha… realitasnya sama yaitu bakso cengek, tapi respons beda kan? Ternyata bakso berisi cengek bisa dianggap anugerah atau bisa juga dianggap bencana.

Hidup ini kurang-lebih ya kaya gitu deh (moga-moga ga maksa ilustrasinya). Coba bayangin pas lagi enak-enaknya nikmatin senangnya hidup, tiba-tiba aja datang masalah, bencana, penyakit, konflik, kehilangan, tangis, ato… kematian. Saat itu juga, kita biasanya langsung kaget dan berkata, ”Mengapa terjadi pada diriku? Di manakah Engkau TUHAN? Teganya, teganya, teganya!” Tapi, bisa juga muncul respons lain yang beda. Dalam bukunya yang berjudul Cries of The Heart, Ravi Zacharias menorehkan sebuah kisah hidup inspiratif dari seorang bernama Annie Johnston Flint. Doski termasuk salah satu orang yang hampir seumur hidupnya mengalami penderitaan. Just check it out! Doski itu yatim-piatu sejak kecil. Whaaaaat? Kehilangan Papa gue sejak 2006 aja sedihnya amit-amit, gimana rasanya ga punya ortu (dua-duanya) sejak masih ileran. Oh, tidaaaaaaak! Terus, tubuhnya penuh bekas luka. Hah? Bekas ketusuk jarum aja nyut-nyutan, gimana rasanya luka di seluruh tubuh? Selain itu, dia juga menderita kanker, salah urat, radang sendi, plus encok. Dia udah lama cacat sehingga kalo tidur perlu tujuh atau delapan bantal buat alas tidur karena kalo berbaring dia bisa ngerasain sakit luar biasa.

Ck, ck, ck, ... apa dia Ayubnya zaman sekarang yah? Tapi yang ruarrrrr biasa, dalam otobiografinya dia gambarin hidupnya dengan sebaris judul The Making of Beautiful. Great! Doski ternyata ngeliat hidupnya yang penuh derita itu sebagai sebuah proses dimana TUHAN sedang ngebentuk dia semakin cantik ato indah. Dia lalu menuliskan keindahan itu dalam sebuah puisi, yang juga digubah jadi lagu. Isinya kira-kira begini.

Dia memberi banyak anugerah tatkala beban bertambah berat,
Dia mengirim lebih banyak kekuatan tatkala pekerjaan bertambah,
Kala penderitaan bertambah, Dia menambahkan kemurahan’
Kala pencobaan berlipat ganda, Dia melipatgandakan damai.

Tatkala kita sangat lelah untuk bertahan,
Tatkala kekuatan kita gagal, tatkala sudah lewat setengah hari,
Tatkala kita mencapai akhir dari kekuatan kita
Pemberian Bapa kita baru dimulai

Kasih-Nya tidak memiliki batas, anugerah-Nya tidak terukur
Kekuatan-Nya tidak memiliki batasan yang diketahui manusia
Dari kekayaan-Nya yang tidak terbatas dalam Yesus
Dia memberi, dan memberi, dan memberi lagi

Asli, gue ga pengen lebay. Tapi jujur, bibir gue rada nganga karena terkagum-kagum ketika baca rekaman kisah hidupnya. Dunia mungkin berpikir ni orang aneh pisan. Udah yatim-piatu, cacat, dan penyakitan tapi masih ngerasa hidupnya itu bakal dijadiin indah.

Apa yang aneh bagi dunia ternyata ga aneh buat TUHAN dan pengikut TUHAN. Kalo ga percaya, hayuuu baca Roma 5:3-4. Paulus ga lagi gelow waktu dia bilang bahwa orang percaya tidak hanya bermegah dalam pengharapan; melainkan juga dalam kesengsaraan. Dia sepenuhnya sadar dan waras, bahkan ngalamin sendiri yang namanya sukacita dan berbangga saat sedang jatuh sengsara. Gimana bisa? Alasannya adalah karena sengsara itu bisa menimbulkan ketekunan, ketekunan menghasilkan tahan uji, dan tahan uji menghasilkan pengharapan.

Do you see what Annie had seen? Ketekunan dan tahan uji berbicara soal karakter yang bisa bawa kita pada pengharapan. Artinya, TUHAN kita itu sangat menghargai yang namanya karakter lebih dari pada harta, kepandaian, atau kecantikan jasmani. Kalo biasanya cowo itu pilih pacar karena cewe itu baik sifatnya, oke bebet-bobotnya, dan juga keren body-nya; TUHAN justru ga begitu. Kalo cara TUHAN ngeliat sama dengan cara cowo ngeliat cewe maka ga kan ada yang cantik dah. Semua yang ada pada kita sekarang mah bakal membusuk dan jadi abu. Yang dilihat TUHAN cantik adalah murni karena karakternya, yaitu kalo seseorang itu tekun dan tahan uji melewati kesengsaraan. Tekun dan tahan uji menunjukkan kesediaan buat dibentuk TUHAN. Makanya Annie yang yatim-piatu, cacat, dan penyakitan itu pada akhirnya teteup nampak cantik dan indah di mata TUHAN. Betapa keren dan sempurnanya penilaian TUHAN. Inilah yang disebut pengharapan, Cuy, sehingga sesusah apapun... kita seharusnya ga bakalan nyerah sama hidup kita. Yang beginian ini, cuman bisa dimengerti sama anak-anak TUHAN sejati.

Jelaslah kalo tujuan TUHAN ijinin kesengsaraan, baik berupa ujian atau pencobaan, bukan buat mencelakai kita. TUHAN dalam hikmat-Nya mau supaya kita teteup ada dalam pengharapan itu dan makin lama makin dekat pada-Nya. Aaaah, so sweet-nya our God! Toh DIA sendiri udah berjanji begini, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau (Ibrani 13:5).” Itu sebabnya Max Lucado dalam It’s not About Me menyatakan kalo hidup ini bukan tentang kita atau tentang masa sekarang. Hidup ini adalah tentang DIA dan karya-Nya.

Hei, kita sungguh-sungguh perlu diselamatkan dari kehidupan yang kita anggap bakal buat bahagia di dunia ini! Yeah, pusatnya bukan kita, Guys. Segala sesuatu ternyata ada dalam rancangan kemuliaan yang tidak diukur dengan umur hidup kita yang cuman 70/80 tahun, ato paling banter 120-an lebih dikit geeto. Kekekalan itu ngomongin soal waktu yang ga terbatas... forever after.

2 Kor 4:17 menunjukkan jaminan bahwa kita bakal dapetin kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya. Gimana ngebayanginnya yah? Eh, pernah tahu timbangan pendulang kuno ga? Berat satu barang yang dibeli bergantung dari berat beban benda di sisi lain. Tapi, TUHAN ga gitu loh. Di satu sisi, Ia tumpukin beban dengan ijinin kesengsaraan terjadi. Ia sama sekali ga punya maksud jahat, tapi ga juga angkat beban itu. Sebaliknya, Ia tambahkan terus beban di sisi yang lain, yaitu sukacita tak berkesudahan, damai sejahtera yang tak terukur, dan tentu saja kekekalan-Nya. Sekarang kalo dilihat, timbangan itu malah kelihatan jauh lebih ringan di beban kesengsaraan yang harus kita tanggung. Makanya Max Lucado menantang kita, kalo hidup itu begitu sementara dan terbatas... masa sih kita ga dapat tahan sakit sebentar, sedih sebentar, kesepian sebentar, dianiaya sebentar, bergumul sebentar, ato... jomblo sebentar? Hahaha... jomblo lagi.

Kembali ke laaaaaaptop... eh, bakso cengek. Setelah baca ini, apa pilihan kita. Realitas penderitaannya teteup sama pedes... tapi, gimanakah cara orang percaya memandangnya? Apakah kita ngeliatnya sebagai bencana yang nyusahin ato justru sebagai anugerah karena bakal mempercantik kita di mata-Nya? Dalam proses perenungan, gue mengamini bahwa hidup ini emang bukan tentang kita. Makanya, apapun yang terjadi... ga apa-apa, enjoy aja! Ada TUHAN dan rancangan kemuliaan-Nya yang indah koq, bahkan di balik penderitaan sekalipun. Let’s just remember... moto Blackberry mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat juga berlaku di sini. Penderitaan membawa TUHAN mendekat saat DIA terasa begitu jauh, mengalihkan dunia jauh-jauh saat dia terasa dekat-memikat. Hehehe... gimana, keren ga? So... jia you sama-sama yuux! :)