Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Kamis, 26 November 2009

LABORING WITH GOD IN LOVE


Baca: Wahyu 3:7-11

Apakah arti sebuah pujian bagi kita, manusia? Ada yang secara rohani menjawab: “Ah, ga perlu itu. Yang patut dipuji cuma Tuhan saja.” Bukankah jawaban ini merupakan sebuah pernyataan kerendahan hati? Namun kalau boleh jujur, siapa sih yang tidak senang mendapatkan pujian?

Baru-baru ini saya 2X menonton film I not stupid Too 2, buatan singapura, yang saya persiapkan untuk ditonton oleh anak-anak Tunas Remaja. Film ini menyadarkan saya betapa pentingnya arti sebuah pujian bagi seseorang. Selain menunjukkan penghargaan terhadap keberadaan seseorang, pujian ternyata juga dapat menjadi penambah semangat untuk melakukan sesuatu yang lebih baik di kemudian hari. Tak heran film ini diawali dengan sebuah pertanyaan refleksif: “Kapan terakhir anda memuji orang?”

Bagi saya, materi yang diangkat dalam film ini cukup menarik dan menggelitik, karena bukankah pujian dan ungkapan-ungkapan positif sudah mulai jarang hadir dalam kehidupan kita? Kalaupun ada, sering kali itu adalah sebuah basa-basi belaka karena disebutkan bahwa ciri kental jaman post-modern (pasca modern) adalah semangat persaingan. Tak heran kalau tidak banyak orang yang bisa turut berbahagia atas kesuksesan orang lain.

Alasan lain yang cukup dominan mengapa orang jarang memuji adalah ketidakmampuan kita melihat apa yang orang lain lakukan sebagai sesuatu yang baik atau istimewa. Ternyata semua itu ada kaitannya dengan konstruksi sosial yang mempengaruhi cara pandang sebagian besar orang terhadap apa yang dianggap baik atau istimewa—termasuk di dalam gereja Tuhan.

Contohnya: Bukankah pelayan-pelayan mimbar yang mempesona mata akan lebih mendapat penghargaan daripada pekerja-pekerja belakang layar yang tidak kasat mata alias tidak kelihatan orangnya? Bukankah badan Pengurus kemajelisan yang menduduki kursi kekuasaan akan lebih mendapat penghormatan dari pada Barisan Petugas Kebersihan yang memanggul sapu, ember, dan alat pel? Dan bukankah Para Pendeta kenamaan yang fasih lidah atau ahli dalam bidangnya, dan orang-orang berduit akan memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding para penginjil atau kaum awam yang melakukan pelayanan serabutan?

Fakta tersebut meneguhkan sebuah ungkapan yang mengatakan “Dunia melihat apa yang kita lakukan.” Tak heran jika ada jemaat yang mengatakan bahwa pelayanan adalah tugas hamba Tuhan, majelis, atau orang-orang yang berkarunia melayani sehingga tidak semua jemaat mau melayani dan maunya menjadi jemaat biasa yang tenang-tenang duduk di bangku gereja, menikmati ibadah, pulang, lalu selesailah sudah.

Sebaliknya, ada juga yang maunya pelayanan terus sampai lupa waktu, lupa belajar, lupa bekerja, dan yang lebih parah lagi adalah lupa pada keluarganya. Pertanyaannya adalah apakah yang sedang kita kejar? Pujian manusia atau pujian Allah? Dalam 1Tesalonika 2:9, Paulus mengatakan bahwa kita hendaknya tidak menyukakan manusia; melainkan menyukakan Tuhan yang menguji hati kita.

Saat ini kita akan mencari kehendak Tuhan bagi gereja-Nya dengan melihat lebih dalam pada Surat kepada Jemaat Filadelfia yang tertulis dalam Wahyu 3:7-13. Ya, kita akan bercermin dari Jemaat Filadelfia, yang merupakan salah satu dari dua jemaat yang di puji oleh Tuhan, yaitu Sang Penulis Surat yang di ay. 7 digambarkan sebagai “Yang kudus dan yang berkuasa.”

Pertanyaannya sekarang adalah apakah yang membuat Tuhan Yesus memuji Jemaat Filadelfia dan bagaimanakah gereja-gereja pada masa kini dapat mengalami hal yang sama? Apakah karena memiliki gedung yang megah dan sangat memadai? Apakah karena anggotanya berjumlah ribuan? Apakah karena kas gerejanya tidak pernah defisit? Atau karena memiliki banyak kegiatan dan telah sukses melaksanakan, mewujudkan, serta merealisasikan program-program pelayanannya?

Bukan, bukan itu semua; melainkan karena kesetiaan mereka. Itu sebabnya Jemaat Filadelfia dijuluki sebagai The Faithfull Church. Firman Tuhan menunjukkan setidaknya ada 2 bukti kesetiaan mereka sehingga dianugerahi pujian dari Tuhan. Kita dapat melihat keduanya secara paralel di ay. 8 dan 10.

Apakah kedua bukti kesetiaan mereka dan yang juga dituntut Tuhan untuk ada pada gerejanya pada masa sekarang ini?

1. Meraih kesempatan untuk bekerja bersama Tuhan dalam pelayanan.
Ada ungkapan yang mengatakan: “Dunia melihat apa yang kita lakukan. Namun, Allah melihat mengapa kita melakukannya.” Ungkapan tersebut menunjukkan perbedaan yang kontras antara penilaian manusia yang terbatas dengan Allah yang maha tahu. Manusia menilai apa yang kelihatan, sedangkan Allah jauh lebih dalam dari itu. Ia menilai hati seseorang. Mengetahui hal itu seharusnya tidak ada alasan bagi setiap anak Tuhan untuk menolak kesempatan bekerja bersama Tuhan dalam pelayanan. Konsep inilah yang jemaat Filadelfia amini dan imani sehingga Tuhan Yesus memuji: “Engkau menuruti Firman-Ku...,” sampai dua kali. Apa maksud pujian ini?

Di antara tujuh kota yang disebut dalam kitab Wahyu, Filadelfia adalah yang kota termuda, yang dibangun paling kemudian oleh Raja Attalus II, kurang lebih 150 tahun sebelum Kristus. Bukan karena kebetulan atau asal-asalan, Filadelfia dibangun tepat di titik silang perbatasan dengan tiga wilayah di sekitarnya—Misia, Lidia, dan Frigia. Attalus punya tujuan yaitu agar Filadelfia menjadi ujung tombak penyebaran atau penanaman budaya Yunani ke wilayah-wilayah sekitarnya, khususnya daerah-daerah Lidia dan Frigia.

Namun, Tuhan beranugerah pada kota ini melalui orang-orang percaya yang ada di dalamnya. Tuhan Yesus berkata, “Aku tahu segala pekerjaanmu: lihatlah, Aku telah membuka pintu bagimu, yang tidak dapat ditutup oleh seorang pun.” Apakah yang dimaksud dengan firman Tuhan ini? Apakah karena mereka menuruti firman maka Tuhan membukakan pintu atau karena Tuhan membukakan pintu maka mereka menuruti firman? Rupanya, konsep yang benar adalah yang kedua. Pintu dibukakan Tuhan bukan sebagai upah atas ketaatan dan kesetiaan; melainkan sebagai sebuah kesempatan untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Tuhan. Itulah arti dari terbukanya pintu, yaitu terbukanya kesempatan. Kesempatan untuk apa?

Ada 2 penafsiran:

a)Kesempatan untuk menerima keselamatan. Dosa sebenarnya membuat kita tidak bisa memilih selain maut. Akan tetapi, karena kasih-Nya, Tuhan membukakan pintu keselamatan bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Tidak sampai di situ saja, Ia membuka kesempatan yang kedua yaitu...

b)Kesempatan untuk melayani. Penafsiran yang kedua ini sangat ditekankan oleh para ahli. Karena Filadelfia pernah sukses menjalankan misi Yunanisasi, maka jemaat di sana diberi mandat untuk menjalankan misi Kristenisasi—dalam arti membawa orang lain untuk percaya kepada Kristus. Jadi, mereka masuk melalui pintu keselamatan dan keluar melalui pintu pelayanan. Artinya kasih yang mereka terima mendorong untuk memberi pelayanan kepada sesama sebagai bentuk kasih kepada Tuhan. Laboring with God in love.

Itu adalah kesempatan yang sangat istimewa bagi sebuah jemaat yang dikatakan di ayat 8 sebagai “yang kekuatannya tidak seberapa.” Ya... secara obyektif dan kuantitatif, kekuatan fisik mereka memang tak seberapa. Sebagai kota yang paling muda, usianya juga tak seberapa. Bagaikan anak balita, mereka masih amat lemah dan rentan. Sebagai kaum minoritas di antara dominasi orang kafir, jumlah mereka tidak seberapa. Mereka bahkan bukan orang-orang penting dan tidak punya kekuatan suara secara politik.

Tuhan tahu itu. Ia juga bisa melihat apa yang dianggap orang sebagai sebuah kelemahan. Namun, pengetahuan Tuhan jauh lebih lengkap karena Ia melihat bahwa di balik kelemahan itu ada kekuatan yaitu dalam ketaatan dan kesetiaan. Ya, mereka taat dan setia meraih kesempatan untuk bekerja sama dengan Tuhan dalam pelayanan, secara khusus dalam misi Pekabaran Injil bagi orang-orang yang belum mengenal-Nya. Bukan karena mereka mampu atau telah berprestasi, melainkan karena kesetiaan dalam kelemahan itulah yang justru membuat kekuatan Allah menjadi semakin nyata, lalu bekerja seluas-luasnya di dalam dan melalui mereka. Pada saat itulah, pintu kesempatan yang sudah dibuka tak akan dapat ditutup lagi. Sekali Tuhan bekerja, tak ada satupun kekuatan yang akan dapat menghalanginya. Inilah hakekat pelayanan, yaitu bekerja bersama Tuhan. Tuhan yang memberi kesempatan, Tuhan jugalah yang bekerja. Manusia hanyalah alat sehingga hanya Tuhanlah yang menjadi fokus utamanya.

Ketika memasuki pelayanan sulung sebagai hamba Tuhan penuh waktu, sejujurnya, saya memiliki berbagai macam ketakutan atau kekuatiran. Saya bergabung dalam sebuah tim pelayanan jemaat dengan gedung gereja yang besar dan megah, ditambah lagi ada hamba-hamba Tuhan yang saya kagumi di dalamnya.

Sebelum memutuskan untuk bergabung, saya selalu bertanya-tanya pada diri sendiri: “Mampukah saya melayani dengan berbagai kelemahan yang mendominasi diri?” Akan tetapi, firman ini berbicara secara pribadi kepada saya. Tuhan sudah membukakan pintu keselamatan. Tidak hanya itu saja, pintu pelayanan juga sudah dibukakan. Selama masih ada usia dan kekuatan, adakah alasan bagi saya untuk tidak masuk dan melewatinya? Apakah saya layak memakai kelemahan-kelemahan saya sebagai alasan untuk tidak melayani-Nya? Bukankah Tuhan yang bekerja dan saya hanya alatnya?

Saya mungkin bisa beralasan lagi: “Tuhan, saya takut gagal. Bagaimana pandangan jemaat nantinya? Apakah saya bisa jadi berkat kalau gagal?” Lalu hati saya yang diterangi oleh firman bertanya: “Siapakah yang menilai pekerjaanmu? Tuhan tahu pekerjaanmu. Ia tahu kekuatanmu tidak seberapa. Yang Ia kehendaki adalah kesetiaan untuk dipakai sebagai alat-Nya. Dan sebaliknya ketika merasa sukses, ingatlah bahwa Tuhanlah yang membuka pintu dan Ia sendiri yang bekerja sehingga tak sepatutnya manusia berbangga diri atau merasa penting. Tugas kita adalah tetap setia menjadi alat-Nya.”

Hal ini tidak hanya berlaku bagi saya, melainkan bagi setiap orang percaya. Ketika kita telah disentuh kasih Allah dalam pengorbanan Kristus dan kemudian berkomitmen mengikuti Dia. Itu adalah sebuah awal dimana kita berkomitmen untuk memasuki pintu keselamatan. Pintu ini adalah sebuah kesempatan yang berharga buat saudara dan saya. Akan tetapi, kita tidak bisa tinggal terus di dalamnya karena Tuhan masih membukakan satu pintu lagi yang harus dilewati yaitu pintu pelayanan. Mark Guy Pearce pernah dengan tegas menyatakan: “Jika iman seseorang tidak menyelamatkan diri keluar dari egoisme dan masuk ke dalam pelayanan; ia tetap tidak akan menyelamatkan diri keluar dari neraka.”

Frman Tuhan yang telah kita baca dan renungkan berkata: “Kepada jemaat ...; bukan kepada para pendeta, hamba Tuhan, majelis, atau orang-orang yang berkarunia. Bukan, saudara. Oleh karena itu, firman ini sekaligus menjadi sebuah panggilan untuk melayani kepada saudara-saudara yang sudah dan akan dibaptis, kepada semua jemaat, dan setiap orang percaya sebagai gereja-Nya. Selagi ada usia dan kekuatan, Tuhan menghendaki kita yang sudah diselamatkan untuk bergegas-gegas melalui pintu pelayanan dan menarik orang lain untuk memasuki pintu-pintu yang sama.

Marilah kita melayani dengan segenap keberadaan kita dan janganlah takut sebab tidak ada yang tidak bisa dipakai Tuhan. Tidak ada pelayanan yang besar atau kecil, penting atau tidak penting. Asal kita setia, maka Tuhan akan tersenyum dan berkata: “Engkau telah menuruti firman-Ku.”

Selain membuktikan kesetiaan dengan meraih kesempatan untuk bekerja bersama Tuhan dalam pelayanan, Tuhan juga menghendaki gereja untuk membuktikan kesetiaannya dengan jalan ...

2. Bertekun dalam iman di tengah tekanan.
Pdt. Eka Darmaputera pernah berkata, jika beliau ditanya roh apa yang kira-kira sekarang ini secara umum paling menguasai kita di dalam kehidupan pribadi kita? Roh apa yang sekarang ini paling menguasai negeri kita ini? Roh apa yang sekarang ini paling menguasai masyarakat kita, bangsa kita? Beliau akan menjawab roh ketakutan.
Ketakutan muncul karena adanya tekanan. Ketakutan yang demikian dapat membuat orang merasa tak berdaya, tak mampu, tak berani berbuat apa-apa... menyerah, kalah. Ketakutan juga seringkali membuahkan penyangkalan, pengkhianatan, kemurtadan.

Akan tetapi, kecenderungan demikian tidak berlaku pada jemaat Filadelfia. Tuhan menjumpai mereka tidak menyangkali nama-Nya dan tetap tekun menantikan Tuhan walaupun mereka hidup dalam tekanan. Walaupun tekanan yang dialami tidak seberat yang terjadi pada jemaat Smirna; akan tetapi ada indikasi bahwa eksistensi mereka juga sedang terancam.

1. Secara geografis, Filadelfia termasuk daerah yang rawan gempa. Pada tahun 17 pernah terjadi gempa bumi hebat yang menghancurluluhkan Sardis serta sepuluh kota lainnya. Namun Filadelfia tidak ikut-ikutan hancur. Meskipun luput, kota ini diserang gempa-gempa susulan yang datang dan pergi bertahun-tahun lamanya. Perasaan cemas dan was-was adalah makanan sehari-hari mereka. Hari ini bagian kota ini yang runtuh, esok hari bagian yang lain roboh. Banyak penduduk kota yang tidak berani kembali ke rumah mereka. Itu artinya gereja juga terancam kehancuran.

2. Keberadaan jemaah iblis yang disebutkan di ay. 9, yaitu golongan Yahudi yang sengaja menentang Kristus dan ajaran-Nya, serta berusaha mengacaukan jemaat.

3. Ancaman pencobaan yang di ay. 10 disebutkan akan datang atas seluruh dunia, termasuk kepada mereka yang ada di Filadelfia. Ancaman-ancaman tersebut ternyata tidak melumpuhkan jemaat Filadelfia, malahan membentuknya semakin kuat. Filadelfia lulus ujian iman dan justru berkembang menjadi sebuah kota yang amat besar di tengah-tengah tekanan. Sejarah juga mencatat bahwa ketika balatentara Kerajaan Turki menggilas habis seluruh Asia Kecil, hanya Filadelfia berhasil bertahan sebagai sebuah kota Yunani Kristen tanpa penyangkalan, pengkhianatan, atau kemurtadan. Sampai abad ke-14, kota Filadelfia masih berfungsi sebagai benteng kekristenan yang terakhir di Asia Kecil.

Dari sana kita melihat bahwa jemaat Filadelfia tidak hanya setia kepada berita firman Allah; melainkan juga setia kepada Oknum Kristus. Itu sebabnya, Tuhan Yesus mengikat Filadelfia dengan janji-janji indah.

Ay. 9 ada janji untuk memulihkan nama mereka. Para lawan akan dikalahkan dan menyadari bahwa Tuhan mengasihi mereka.

Ay. 10 ada janji perlindungan sehingga mereka tidak akan kalah oleh penderitaan dalam masa-masa sukar menjelang akhir jaman.

Ay. 12 ada janji untuk memberikan status dan jaminan, yaitu mengangkat mereka menjadi milik Allah, yaitu orang-orang yang dihormati (soko guru).

Selain perjanjian kudus, Tuhan Yesus juga memberikan nasihat kasih. Bukan teguran-teguran, melainkan nasihat atas nama kasih, yaitu untuk kebaikan mereka sendiri.

Ay. 11 ada nasihat untuk tetap bertekun dalam iman.

Ay. 12 ada nasihat untuk menjadi pemenang.

Ay. 13 ada nasihat untuk mendengar.

Pada bagian ini kita melihat bahwa jemaat filadelfia telah diikat oleh Tuhan dan mengikatkan diri kepada Tuhan dengan kesetiaan yang penuh kasih. Laboring with God in Love. Tidakkah ini merupakan sebuah sinergi, sebuah harmonisasi yang begitu indah? Bagai gayung bersambut. Mereka berjalan dan bekerja bersama Tuhan, tidak hanya dalam pelayanan; melainkan juga dalam ketekunan. Inilah yang menyukakan hati Tuhan dan menguatkan mereka, yaitu bahwa: mereka tidak sendiri. Ada Allah. Yang mereka lakukan adalah bersikap sebagai orang yang mempunyai Allah.

Ini adalah kebenaran yang sudah jelas, namun seringkali kita lupakan. Mari tidak hanya berpikir bahwa kita bisa saja lupa keberadaan Tuhan hanya di masa-masa yang genting saja. Jangan-jangan, kita justru menyangkali keberadaan-Nya dalam peristiwa-peristiwa sederhana dan yang dianggap biasa-biasa saja.

Saya pernah berulang kali mengalaminya. Salah satunya adalah ketika suatu kali saya menerima warta jemaat dan mendapati nama saya terjadwal untuk melayani pemberitaan firman di sebuah kebaktian umum. Saya tidak pernah mendapat jadwal itu sebelumnya dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk khotbah mimbar karena merasa: “Ah tidak mungkin orang baru, tiba-tiba diberi pelayanan mimbar.” Itu sebabnya, saya langsung panik dan buru-buru ke Tata Usaha untuk mempertanyakan jadwal yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Karena kasihan, salah seorang petugas TU menawarkan untuk menukar jadwal dengan hamba Tuhan lainnya. Namun begitu saya membaca teks yang telah ditentukan, saya terkejut dan menjadi malu.

Dalam hal sekecil itu, kepanikan saya menunjukkan pada dunia bahwa tidak ada Allah. Sambil terus membaca ayat demi ayat, hati saya merasa semakin tidak tenang. Saya mendengar nurani saya berbicara dengan begitu jelas. Apakah Tuhan tidak ada ketika engkau mempersiapkan khotbah dalam waktu yang lebih singkat dari biasanya? Apakah Tuhan tidak ada ketika engkau yang tidak fasih lidah itu menyampaikannya firman-Nya di depan jemaat? Apakah Tuhan tidak bisa mengubah firman yang engkau sampaikan dengan sederhana itu menjadi perkataan-Nya sendiri di dalam hati setiap orang yang mendengarnya? Mengapa sebuah tantangan kecil saja dapat membuat engkau menyangkali keberadaan-Nya, melupakan kuasa-Nya, ... tidak setia. Ingatlah, hidup orang percaya adalah Laboring with God in Love (bekerja bersama Tuhan dalam kasih), bukan berjuang sendiri. Dia ada di dalam kita dan kita di dalam Dia.

Firman ini menjadi sebuah peringatan buat kita dan mempertanyakan, dalam hal apa saja kita seringkali tidak bersikap sebagai orang yang mempunyai Allah?
Apakah ketika kesusahan melanda, ketika tekanan hidup tak kunjung sirna, atau sebaliknya ketika sedang merenda bahagia? Who Am I in the crowd? And who am I, when I am alone? Tuhan sedang menunggu jawabannya. Ia sedang menanti kita untuk bersinergi dengan-Nya. Laboring with God in Love. Yang perlu kita lakukan adalah dengan setia berjalan dan bekerja bersama-Nya. Jika Ia yang membuka pintu, maka tak ada yang dapat menutupnya. Jika sudah tertutup, maka tak ada yang akan dapat membukanya. Penyesalan yang terlambat tak ada gunanya di sini. Oleh karena itu, selama masih ada hayat dikandung badan... mari kita buktikan kesetiaan kita dengan cara:

1. Meraih kesempatan untuk bekerja bersama Tuhan dalam pelayanan.

2. Bertekun dalam iman di tengah tekanan.

Mari terus mengingat bahwa kita tak sendiri. Jika kita taat dan setia, kita pun akan mewarisi janji-janji indah Tuhan bagi jemaat Filadelfia:

Tuhan akan memulihkan nama kita. Para lawan kita akan dikalahkan dan menyadari bahwa Tuhan mengasihi kita.

Tuhan akan menjadi tempat perlindungan kita sehingga kita tidak akan kalah oleh penderitaan dalam masa-masa sukar menjelang akhir jaman.

Tuhan akan memberikan status dan jaminan, yaitu mengangkat kita menjadi milik Allah, yaitu orang-orang yang dihormati (soko guru) di bumi dan di surga.
Sebuah pertanyaan terakhir bagi kita semua: “Bersediakah kita menyambut ajakan-Nya?"

Rabu, 25 November 2009

Ketika Ku Ingin Menggandeng Tanganmu dan Merasa Ingin Kau Peluk


Empat huruf yang dipakai TUAN ‘tuk menghadirkan Veronika
P A P A... tentu saja!
Namun, yang dimaksud kali ini adalah M A M A
Hati ini begitu melekat padanya
Bagaimana tidak, 9 bulan ada di dalam dirinya
Menyatu jantung ini dengan jantungnya
Nafas ini dengan nafasnya

7 tahun terakhir kumelepas tangannya, pelukannya, cium sayangnya
Dengan semboyan, "Dekat di hati, walau jauh di mata."
Mengepakkan sayap, meninggalkan naungan yang kusebut KELUARGA
Demi sebuah "tujuan mulia"
Diriku bertumbuh menjadi WANITA sekaligus HAMBA

MAMA... kasihmu tak kan pernah kulupa
Dari tangan dingin dan ketulusanmu MAMA (+ PAPA tentunya)...
Muncul seorang manusia dengan sejuta mimpi dan harapan yang membara
Terima kasih untuk semua jasa
Untuk itu, kini kupanjatkan sebuah DOA
Mohon SANG TUAN mendegarnya,
Mengijinkan HAMBA untuk menjadi bahagianya
Semasih ada nafas dan usia
Penuhi kami dengan cinta
Bukan hanya untuk dinikmati dalam kencan berdua
Namun, untuk dibagikan kepada mereka yang tak merasakan kasih seorang mama

Ketika ku ingin menggadeng tanganmu dan merasa ingin kau peluk, wahai MAMA...
Biarlah kumenggadeng tangan dan memeluk "mereka"

Jumat, 30 Oktober 2009

It’s just because I’ve been too hard to my self


Kamis, 29 Oktober 2009, setengah jam menuju tengah malam
Tulang-tulangku yang lunglai terus memberi alarm
Tanda energi yang mendekati empty telah menuntut mata untuk segera terpejam
Namun demikian, tubuh ini lambat berespons dan tetap terdiam
Terduduk di pembaringan, sendiri di tengah cahaya temaram
Lagi-lagi memori memutar kenangan seputar aku dan masa silam

Peristiwa empat setengah jam yang lalu menjadi pemicu
Sebab bayang-bayangnya tak pernah lepas dari kalbu
Di satu dimensi ruang dan waktu itu,
Kusaksikan tunas-tunas muda yang kurindu
Duduk dengan tangan dan hati terbuka siap dijadikan baru
DIA yang KUASA memakai “hamba-NYA” menebar haru
Menyatakan bahwa tak seorang pun dari para ABG itu dibiarkan berlalu
Tanpa mengenal dan merasakan kasih kekal BAPA sekaligus GURU

Siapakah aku, kini kubertanya
Aku sebagaimana aku ada. . .
Diijinkan menjadi sebagian kecil dari pekerjaan ajaib-NYA
Dipersilahkan mengajar biji mata-NYA untuk berpikiran terbuka
Sementara diriku sendiri sedang berjuang, berproses, bekerja
Mencapai kesejatian arti menjadi dewasa

Lamban menjadi dewasa di usia kepala tiga? Apa kata dunia?
Di ujung 32 menuju 33 mungkin akan membuat “mereka” tertawa
Bukan salah orang tua, bukan salah siapa-siapa
It’s just because I’ve been too hard to my self, kuberkata
Belakangan ini ku disadarkan oleh “sesosok istimewa
Bahwa telah kuletakkan pada diri sendiri sejumlah beban yang sia-sia
Hingga tertahan langkahku tuk menangkap passion-NYA

Siapakah aku, kubertanya tuk kedua kalinya
Aku yang tak sempurna. . .
Diperbolehkan memeluk kesayangan RAJA
Kala diriku sendiri sedang rindu bukan pada KASIH yang utama dan terutama
Diundang menaikkan gita dan doa, memberkati para sobat muda BAPA
Sedangkan mata dan hati ini tak sepenuhnya tertuju pada-NYA

Kuasa-NYA memudar, terpinggirkan oleh ragu
Dihadang tantangan sebagai orang asing di tempat baru
Ku malah memandang “model demi model” dan terpaku
Segera menuntut diri untuk menjadi sama seperti itu
Sambil berteriak: “Ku tak patut menjadi guru!”
Bukan tanda DIA tak mampu membantu,
Bukan pula idealismenya yang keliru. . .
It’s just because I’ve been too hard to my self, kataku
Ayo letakkan, jalani, dan maju!

Siapakah aku, lagi-lagi kubertanya
Aku yang lemah dan tak berdaya. . .
Dibiarkan menatap lelehan air mata mereka,
Mendengar erangan tangis yang terlepas karena hati dijamah KARUNIA
Padahal air mataku sendiri tengah berurai di pelupuk mata
Merindu peneguhan demi peneguhan hingga jeritku tertahan di dada
Sungguh menyesakkan tiada tara

Di titik ini kutersadar, dikejutkan oleh sepi nan pilu
Siapa kan menggandeng tanganku?
Siapa kan menangis bersamaku?
Siapa kan mengerti deritaku?
Siapa kan mengulurkan tangan memelukku?
Siapa kan memberi kehangatan pada batinku?
Lelah dan sungguh-sungguh rindu kedatangan TUANku
Bukan Sang MEMPELAI tak besertaku. . .
It’s just because I’ve been too hard to my self, ujarku
Ayo melangkah satu demi satu, buanglah takut dan ragu, jadilah guru!

Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku (Mazmur 73:23).

Jumat, 25 September 2009

Berpuasa Sebagai Gaya Hidup Orang Merdeka



Nast: Matius 9:14-17

Rubrik Fenomena dalam majalah Bahana ed. Juni 2008 vol. 206 menyebutkan ada dua gaya hidup yang berbenturan dengan iman Kristen, yaitu Hedonisme dan Konsumerisme. Hedonisme adalah budaya yang menyatakan bahwa kenikmatan pribadi merupakan nilai hidup tertinggi dan utama; sedangkan konsumerisme merupakan sikap hidup yang menikmati kesenangan. Mottonya: ”Lebih baik membeli daripada membuat sendiri, lebih suka mengonsumsi daripada memproduksi, hidup untuk makan dan bukan makan untuk hidup.”

Cocok sekali bukan? Kedua-duanya menekankan kenikmatan dan kesenangan dalam hidup. Padahal, iman Kristen yang dicetuskan dan diteladankan oleh Tuhan kita, YESUS KRISTUS dalam Matius 16:24 justru menyatakan yang sebaliknya: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.”
Itu sebabnya dikatakan bahwa hidup manusia semakin lama semakin individualis, egois, dan materialistis sehingga disiplin-disiplin rohani yang mempertebal iman mulai ditinggalkan. Salah satu disiplin rohani klasik yang mulai ditinggalkan oleh orang Kristen adalah ”puasa” sehingga puasa lebih dikenal sebagai lambang spiritualitas dari agama lain.

Namun demikian, tidak semua orang Kristen meninggalkan puasa. Ada juga yang sangat rajin puasa untuk menghadapi serangan Hedonisme dan Konsumerisme. Akan tetapi, puasa yang dilakukan cenderung mengarah kepada dua ekstrem:

Pertama, puasa dilakukan sebagai ritual agama yang wajib karena menganggap tubuh, makanan, dan hal-hal jasmani itu jahat/sesuatu yang setara dengan dosa. Jadi, puasa adalah bagian dari komitmen untuk hidup menderita atau menyiksa diri (askese) agar roh dibebaskan dari hal-hal yang jahat tsb. Saya pikir, puasa yang demikian ini sangat tidak manusiawi. Bukankah tubuh kita adalah ciptaan Tuhan yang dikatakan-Nya ”sungguh amat baik” (Kejadian 1:31)? Dan siapakah kita sehingga berani mengatakan tubuh ini jahat/sesuatu yang setara dengan dosa?

Memang sejak kejatuhan manusia dalam dosa, tubuh ini telah menjadi budak dan jajahan dosa. Akan tetapi, bukankah Tuhan YESUS sudah menebusnya dengan tubuh dan darah-Nya sendiri di atas kayu salib? Ya, setiap orang yang percaya kepada-Nya menikmati hidup sebagai orang-orang tebusan yang merdeka. Alam ini bahkan diciptakan Tuhan untuk dikelola dan digunakan bagi hidup kita, sehingga menikmati makan dan minum adalah salah satu cara untuk menghargai dan mensyukuri tubuh yang sudah Tuhan bentuk sedemikian baiknya. Bagaimana dengan mereka yang punya sakit-sakit tertentu dan tidak bisa berpuasa? Apakah mereka akan masuk neraka karena tidak bisa puasa?

Kedua, puasa dilakukan supaya kelihatan rohani/saleh; supaya dipuji orang;
atau supaya doa-doa permohonan kita dikabulkan Tuhan; sehingga kalau tidak sedang bergumul, boro-boro puasa, ke gereja aja malas. Kalau demikian, apa bedanya puasa kita dengan puasa agama-agama lain? Sama saja, ga ada bedanya, yaitu puasa yang egois/berpusat pada diri sendiri. Kalau sudah demikian, kita bukan lagi orang merdeka karena kita sedang diperbudak oleh hawa nafsu kedagingan kita sendiri.

Jadi, puasa itu sebenarnya perlu dilakukan atau tidak sih? Kalau perlu bagaimana caranya? Apakah 40 hari 40 malam seperti Tuhan YESUS ataukah sebulan penuh? Sehari penuh atau setengah hari? Apakah selama puasa boleh minum air putih? Apakah boleh melakukan puasa lain, yang tidak berpantang makan dan minum? Misalnya: puasa rokok, puasa nonton TV/Bioskop, puasa mengakses internet, atau puasa makan daging (vegetarian). Apakah selama puasa kita harus selalu mengurung diri di kamar, berkumpul di gereja, atau boleh melakukan berbagai aktifitas pekerjaan yang lain?

Saat ini saya tidak akan menunjukkan bagaimana cara/teknis berpuasa sedetail itu karena tidak semua orang mengerti arti pentingnya puasa. Firman Tuhan yang kita baca tadi, lebih berfokus untuk mengubah paradigma/pandangan/sikap sehingga kita mengerti esensi/prinsip dasar/makna puasa yang bukan sekedar ritual agama biasa, apalagi yang egois/berpusatkan pada diri sendiri; melainkan sebagai gaya hidup orang tebusan yang bebas-merdeka dari perhambaan dosa dan diri sendiri.

Apakah esensi/prinsip dasar/makna dari puasa sebagai gaya hidup orang merdeka?
1. Puasa adalah disiplin rohani yang mempererat persekutuan kita dengan TUHAN YESUS (ay. 14-15).
Tuhan adalah sosok SENIMAN AGUNG yang menopang seluruh kehidupan dari semua ciptaan-Nya. Manusia sesungguhnya tak dapat hidup tanpa Tuhan karena pada dasarnya manusia memang memiliki relasi kebergantungan yang begitu kuat pada Penciptanya. Manusia butuh untuk mengenal dan hidup lebih dekat dengan Tuhan. Itulah sesungguhnya tujuan semula dari diadakannya ritual-ritual/kegiatan-kegiatan keagamaan, yaitu membangun sebuah persekutuan yang intim dan indah dengan Tuhan.

YESUS adalah manifestasi/penampakan Tuhan dalam rupa manusia, yaitu Tuhan itu sendiri sehingga tidaklah berlebihan kalau disebutkan bahwa persekutuan yang intim dan indah dengan YESUS adalah fokus dari puasa kita. Konsep inilah yang sudah luntur dari hidup keagamaan orang Yahudi, sehingga di ayat 14 dikisahkan murid-murid Yohanes datang dan bertanya kepada YESUS: ”Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Pertanyaan tersebut menunjukkan betapa teguhnya mereka berpegang pada Hukum Taurat, yang mewajibkan mereka untuk menjalankan tiga tindakan besar keagamaan yaitu: memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa (lih. Mat. 6:1-18).

Tidaklah mengherankan jika mereka langsung berespon ketika melihat murid-murid YESUS tidak menjalankan puasa sesuai dengan tradisi/kebiasaan yang berlaku. Lalu YESUS menjawab mereka dengan cara yang sangat mereka mengerti, yaitu dengan memakai perumpamaan mengenai adat/tradisi pernikahan Yahudi. Setelah hari pernikahan, biasanya akan diadakan pesta/resepsi selama seminggu penuh bagi pasangan mempelai orang Yahudi. Pada waktu itu, kedua mempelai diperlakukan bak raja dan ratu, bukan semalam, melainkan seminggu penuh. Selama seminggu itu mereka mengadakan open-house/buka pintu bagi para teman dekat/sahabat mempelai. Tidak ada yang berpuasa/berdiet, tidak ada muka-muka yang muram dan murung. Yang ada hanyalah gelak-canda dan tawa-ria dalam kemeriahan pesta-pora.

Ya, bagi orang Yahudi, pesta perkawinan bukanlah waktunya untuk berpuasa. Puasa pada masa PL identik dengan kedukaan/ratapan. Oleh karena itu, berpuasa ditengah pesta hanya akan membawa kemurungan. Pesta perkawinan adalah waktunya untuk berbagian dalam kebahagian dan sukacita bersama sang mempelai. Setelah pesta itu selesai, barulah mereka kembali kepada realita hidup. Yang biasanya hidup susah dan sederhana kembali dalam kesusahan dan kesederhanaannya.

Dalam perumpamaan tersebut, YESUS menggambarkan diri-Nya sebagai Sang Mempelai, sedang para murid-Nya adalah para sahabat mempelai itu. Oleh karena itu, selama masih ada persekutuan dengan YESUS, maka para murid tidak perlu berpuasa. Kesulitan dan tantangan mengikut Yesus pasti ada. Akan tetapi di dalam kehadiran YESUS, para murid seharusnya hidup dengan getaran sukacita yang bergelora. Itulah natur kebersamaan dengan YESUS. Beda dengan para murid Yohanes. Bagi mereka, kesedihan sudah tiba karena pada saat itu Yohanes sedang dipenjarakan.

Jadi, YESUS sebenarnya bukan menolak puasa atau mau melawan Hukum Taurat. Ia justru ingin menunjukkan prinsip hidup keagamaan yang benar. Selama ini, orang Yahudi terus berpuasa untuk menantikan Mesias yang berasal dari Tuhan. Begitu ketatnya hingga mereka melupakan prinsip yang utama, yaitu persekutuan dengan Tuhan. Begitu kakunya hingga menjadi sebuah selaput tebal yang menutupi mata hati mereka. Sebagai akibatnya, mereka tidak tahu bahwa Mesias yang berasal dari Tuhan dan yang adalah Tuhan itu sendiri sudah datang dalam diri YESUS. Bukankah dengan demikian penantian dan puasa mereka jadi sia-sia saja? Patut disayangkan, mereka pada akhirnya tidak menjadi bagian dari kerajaan surga karena tidak mengenal dan memiliki persekutuan yang indah dengan YESUS, Sang Raja kerajaan sorga.

Sebaliknya, para murid Yesus telah mengenal, menyambut, dan bahkan tinggal bersama-sama dengan Sang Mesias setiap hari. Jadi, untuk apa mereka bersusah hati? Tetapi akan tiba waktunya, di mana YESUS Sang Mempelai akan direnggut dari sisi mereka sebagaimana Yohanes direnggut dari sisi para muridnya. Ya, tak lama lagi YESUS akan disalibkan, mati, bangkit, dan naik ke sorga. Pada saat itulah, para murid akan berpuasa karena begitu merindukan persekutuan yang indah dengan YESUS. Bukan puasa yang mengikat dan menyiksa diri agar dibebaskan dari jajahan bangsa lain dan mendapatkan keselamatan karena itu namanya menyogok Tuhan.

Mari kita bercermin dari cerita khayalan mengenai si Cecep. Suatu hari si Cecep meninggal dan hendak masuk ke gerbang kerajaan surga. Pintu itu dijaga oleh dua orang malaikat berpedang api.
Malaikat: Apa yang membuatmu berpikir engkau layak masuk ke sini?
Cecep: (Dengan senyum lebar) Tiga minggu lalu, saya memberikan uang seratus ribu kepada orang cacat.
Malaikat: Apa lagi?
Cecep: (Dengan senyum lebih lebar lagi) Dua minggu lalu, saya memberikan uang seratus ribu kepada seorang tunawisma.
Malaikat: Apa lagi?
Cecep: (Dengan senyum yang paling lebar dan sambil membusungkan dada) Seminggu lalu, saya menyumbangkan uang seratus ribu kepada orang panti asuhan.
Malaikat: Tunggu sebentar! (Ia masuk ke dalam dan kemudian keluar lagi) Saya telah membahas kasusmu dengan Sang Raja dan pendapat-Nya sama seperti pendapatku. Ini uangmu yang tiga ratus ribu dan pergilah ke neraka karena Sang Raja tidak suka sogokan.

Ya, Tuhan YESUS tidak suka sogokan. Oleh karena itu, percuma saja kalau kita melakukan puasa sebagai sogokan, supaya kita merasa tenang karena sudah menimbun banyak pahala di sorga, dan kita yakin akan selamat dengan itu, atau berpuasa supaya Tuhan senang sehingga doa-doa permohonan kita segera dijawab dan dikabulkan. Bukan, bukan itu yang menyukakan hati Tuhan. Semua itu cuma ritual hampa dan egois.
Kita ini sudah merdeka. Kita tidak perlu menyiksa diri hanya untuk selamat atau dapat berkat. Keselamatan dan berkat sudah diberikan menjadi hak dan warisan kita. Itulah fokus kedatangan dan pengorbanan YESUS di atas kayu salib. Yesaya 59:2 mengatakan: ”Tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga tidak mendengar, ialah segala dosamu.”

Allah itu kudus adanya sehingga dosa adalah suatu kejijikan bagi-Nya. Dosalah yang menghalangi persekutuan kita dengan ALLAH. Akan tetapi, Yesus sudah datang untuk memerdekakan manusia dari kuk perhambaan dosa yang mengikat dan merusak hubungan manusia dengan Tuhan. YESUS rela turun dari sorga yang nyaman ke dunia yang tidak aman untuk menjadi jembatan agar kita dapat bebas bersekutu dengan Tuhan. Tidakkah itu adalah sesuatu yang istimewa buat kita?

Setiap orang percaya yang sudah mengenal YESUS harus memiliki persekutuan yang erat dengan Dia. YESUS memang secara fisik tidak ada di sini dan tidak dapat kita lihat. Akan tetapi, Ia berjanji akan datang lagi untuk kedua kali, sebagai RAJA segala raja. Suatu saat nanti, Ia akan datang untuk menjemput dan mengijinkan kita untuk bertemu dengan Dia secara nyata. Saat ini, kita sedang dalam masa penantian. Untuk itulah kita harus berpuasa. Kita masih tinggal di dunia yang penuh dengan dosa, kejahatan, dan kesukaran. Oleh karena itu, kita perlu lebih setia dan tekun beribadah, berdoa, serta berpuasa sementara menantikan saat kedatangan YESUS yang indah dan mulia. Bukan puasa dukacita/ratapan; melainkan yang menyukakan dan yang membuat Tuhan tersenyum... yaitu puasa yang berpusatkan pada Tuhan, yang merendahkan diri demi meninggikan Tuhan, yang menahan diri untuk mendapatkan berkat jasmani demi mengharapkan hasil-hasil rohani yang memuliakan Tuhan, yang mengendalikan diri dari hawa nafsu kedagingan demi mengijinkan Tuhan untuk menguasai diri kita secara utuh. Itulah puasa sebagai gaya hidup orang merdeka.

Suatu kali saya pernah bergumul tentang hidup dan pelayanan saya. Saya sungguh-sungguh merasa sangat lemah, lelah, dan sensitif. Kalau ada yang tidak sesuai dengan idealisme saya, saya merasa kecewa luar biasa. Saya sempat sedih dan merasa sendiri.
Ada yang bertanya pada saya: “Kamu lagi BT ya?” Yang lain berkata: “Ah, kamu pasti lagi BTT (butuh tatih tayang).” Akan tetapi dalam hati kecil saya, saya menjawab: “Saya sudah mendapat kasih sayang yang cukup dari keluarga dan teman-teman dekat saya. Saya juga sudah berjuang melayani dengan penuh semangat dan ketulusan. Istilahnya, saya sudah habis-habisan. Akan tetapi, mengapa saya tetap merasa masih ada yang kurang. Saya merasa masih belum memiliki sesuatu yang dapat membuat pelayanan saya penuh arti.

Dalam proses, akhirnya saya mendapati bahwa saya bukan sedang BT atau BTT, melainkan BTTT (butuh tatih tayang Tuhan). Untuk itulah, saya memutuskan untuk melakukan puasa yang bukan mengikat. Bukan sekedar supaya pelayanan saya berhasil; melainkan untuk mengendalikan diri sendiri dari hawa nafsu, emosi, dan perasaan-perasaan yang menghancurkan.

Saya mencoba untuk berjuang mengatasi perasaan kecewa dan semua ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan orang lain dengan tidak makan dan minun. Tidak hanya itu saja, ditengah melakukan aktifitas sehari-hari saya berusaha menyediakan waktu-waktu khusus untuk berdoa, berbincang-bincang, curhat, memohon ampun, dan meminta kepekaan akan kehendak Tuhan bagi saya. Saya berusaha mengawali, menjalani, dan mengakhiri hari bukan dengan obsesi-obsesi, harapan-harapan, atau kebutuhan-kebutuhan pribadi saya; melainkan dengan Tuhan. Hasilnya sangat luar biasa. Saya disegarkan dan diigatkan kembali bahwa kebutuhan saya yang utama adalah mengecap Air Hidup yang hanya di dapatkan dari persekutuan yang erat dengan Tuhan Yesus.

Puasa ternyata bukanlah sekedar tidak makan dan minum, atau tidak menikmati sesuatu yang kita sukai. Puasa pertama-tama haruslah menjadi sebuah disiplin rohani yang menekan hawa nafsu kedagingan yang mengikat. Tidak makan dan minum adalah salah satu cara untuk menekan hawa nafsu kedagingan. Jadi, puasa bukanlah masalah boleh makan atau tidak, berapa lama melakukannya, dan bagaimana caranya; karena intinya bukanlah puasanya. Puasa hanyalah alat/sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mengasah kepekaan akan kehadiran Tuhan. Puasa adalah disiplin rohani yang mempererat persekutuan kita dengan Tuhan.

Persekutuan yang erat dengan YESUS akan membangun persekutuan yang erat dengan sesama kita. Saya mengamini bahwa puasa tidak hanya akan mendekatkan kita dengan Tuhan; tetapi juga dapat mencapai hasil-hasil yang bermanfaat dalam hidup sesama kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan esensi/prinsip dasar/makna kedua dari puasa sebagai gaya hidup orang merdeka.
Apakah itu?

2. Berpuasa adalah disiplin pribadi yang membentuk karakter Kristen (ay. 16-17).
Mari kita kembali pada budaya Hedonisme dan Konsumerisme yang sangat menjunjung tinggi kenikmatan. Fakta menunjukkan bahwa orang-orang yang hidup di zaman ini nampak sudah sangat dipengaruhi dan bahkan dirasuki oleh keduanya. Sekarang ini, orang tidak hanya mulai meninggalkan disiplin rohani; melainkan juga menanggalkan kasih. Kasih sebagai karakter Kristen sudah mulai memudar sehingga Pdt. Eka Darmaputera pernah menyebutkan kalau konflik-konflik gereja itu ternyata lebih parah daripada konflik-konflik di luar gereja. Tidak hanya itu saja, dikatakan bahwa
para pemimpinnya mengalami krisis integritas. Jemaatnya sibuk dengan dirinya sendiri.
Para majelis dan aktifisnya hanya mengejar target pelaksanaan program-program rutin gereja, tanpa menengok ke sekitarnya. Tidak mengherankan jika disebutkan bahwa gereja telah semakin kehilangan pengaruhnya di dunia kontemporer ini. Situasi seperti ini sungguh-sungguh tidak menunjukkan natur gereja sebagai kesatuan tubuh Kristus yang terdiri dari orang-orang merdeka.

Situasi yang sama juga terjadi pada orang-orang Yahudi, khususnya pada para murid Yohanes dan orang Farisi sebagaimana yang disebutkan oleh firman Tuhan tadi. Mereka disebutkan sebagai orang-orang yang terhisap dalam masa PL karena masih mempertahankan tradisi-tradisi yang lama. Tradisi-tradisi yang mereka katakan sebagai hukum Tuhan padahal mereka telah salah menafsirkannya dan bahkan menyalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka hidup benar demi menyenangkan Tuhan. Mereka sangat menantikan Mesias yang diharapkan dapat membebaskan mereka dari jajahan bangsa lain. Akan tetapi semuanya itu tidak pernah kesampaian karena ujung-ujungnya adalah "pokoknya" tradisi. Mereka tidak tahu apa arti dari semua kegiatan agama yang mereka lakukan sehingga tanpa sadar memenjarakan diri sendiri dalam kerangkeng tradisi. Mereka bahkan tidak tahu kalau PL sudah berlalu dan berganti dengan PB. Janji Tuhan sudah diperbaharui dalam kedatangan YESUS ke tengah-tengah dunia sehingga tradisi lama tentunya tidak cocok untuk zaman yang baru.

Itulah makna dari dua perumpamaan Tuhan Yesus mengenai menambalkan kain yang baru pada kain yang tua dan mengisi air anggur baru dalam kantong kulit yang tua. Kain yang baru dan air anggur baru adalah zaman PB/zaman anugerah. Pada zaman ini, YESUS datang membawa anugerah karena manusia tak pernah sanggup menyelamatkan dirinya sendiri. Kain yang tua dan kantong kulit yang tua adalah zaman PL/zaman hukum Taurat. Zaman ini sangat mementingkan hukum perbuatan baik karena YESUS belum datang.
Kain baru jangan ditambalkan ke kain lama. Kain baru ya kain baru bukan tambalan. Kain yang lama harus diganti dengan yang baru. Demikian juga dengan anggur baru. Anggur baru tidak boleh dimasukkan kantong kulit yang tua karena anggur itu akan tumpah sia-sia. Kantong tua yang sudah tidak elastis gampang pecah akibat tekanan gas yang dihasilkan oleh proses fermentasi anggur. Kantong baru yang lebih kuat dan elastis, itu baru cocok.

Pada prinsipnya, PB ada bukan untuk menambal/menghilangkan kelemahan-kelemahan hukum Taurat. Oleh karena itu, konsep lama harus ditanggalkan dan diganti dengan yang baru. Jangan dicampur-campur karena akan merusak konsep yang baru. Sukacita adalah mendapatkan anugerah dari Allah dalam persekutuan dengan YESUS Kristus itulah yang seharusnya mereka pengang sehingga konsep lama yang menonjolkan pengorbanan diri sendiri demi tradisi harus dihapus. Dengan demikian, pusat hidup mereka seharusnya adalah YESUS; bukan diri sendiri. Mereka seharusnya ikut Yesus; bukan tradisi. Mereka seharusnya membentuk karakter Kristen; bukan mental jajahan. Itu tidak mudah karena mereka harus mengubah pola pikir, perilaku, dan kebiasaan lama yang sudah mendarah daging.

Untuk membuat patung dari sebongkah batu. Diperlukan alat tatah, palu, dan benda-benda tajam lainnya. Batu yang bentuknya tak beraturan itu di tatah, di pahat dan diukir dengan besi sedemikian rupa. Kalau batu itu bisa berbicara, mungkin ia akan menjerit setiap kali tatah itu mengoyak dirinya: “Aduuh, sakit. Hentikan, hentikan!” Tentu saja sang pemahat tidak akan berhenti karena batu itu akan tetap jadi batu. Dengan telaten, ia terus menatah, memahat, dan mengukir sampai menjadi sebuah patung yang indah.

Itulah esensi/prinsip dasar/makna puasa sebagai gaya hidup orang merdeka, yaitu membentuk karakter Kristen yang sesuai dengan zaman anugerah ini. Ya, melalui puasa kita menatah, memahat, dan mengukir karakter Kristus dalam diri kita. Karakter YESUS adalah pola/patrun manusia sempurna yang harus kita contoh dan tiru. Ia tidak pernah mengumbar nafsu, melainkan selalu mengoyak hati-Nya untuk berbelas kasih kepada orang-orang kecil yang lemah dan terpinggirkan seperti kita. Ia tidak pernah menuntut dan memaksa dengan kuat-kuasa-Nya agar kita melayani-Nya, melainkan justru mengorbankan diri dan melayani kita.

Namun, sayangnya kita yang seringkali kurang menghargai-Nya dan mengatakan: ”Ah saya sudah terbiasa menikmati kasih Tuhan dan untuk itu saya sungguh bersyukur. Sudah lama saya tahu kalau Tuhan YESUS itu baik, jadi kalau lagi susah, butuh apa-apa, atau ada acara-acara besar di gereja tinggal adakan doa puasa saja. Berkorban tidak makan sehari penuh, kalau perlu seminggu penuh, atau kalau kurang yah sebulan penuh tidak jadi masalah; yang penting Tuhan menolong kita. Setelah pergumulan kita selesai, maka selesailah pula puasa kita. Puasa itu tidak perlu setiap waktu apalagi jadi gaya hidup. Rajin ke gereja, memuji Tuhan, mendengar kotbah, dan melayani dengan semangat sudah cukup untuk menyenangkan hati Tuhan.

Akan tetapi, Senin s/d Sabtu kembali jadi bos yang semena-mena dan suka menghakimi di kantor. Senin s/d Sabtu kembali jadi pegawai yang bekerja dengan melakukan berbagai kecurangan. Senin s/d Sabtu jadi siswa/mahasiswa yang suka menyontek.
Senin s/d Sabtu kembali jadi budak hawa nafsu dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik seperti: bergosip, berbohong, omong kotor, fitnah, marah tanpa pengendalian diri, egois, mau menang sendiri, merasa benar sendiri, suka ngambek, iri hati, serakah, hidup untuk diri sendiri, suka menyakiti hati orang lain, dll.
Semua itu menandakan tidak adanya perubahan hidup di dalam diri kita. Tidak adanya perubahan hidup menandakan tidak adanya kelahiran baru. Kalau sudah begitu, maka sia-sialah puasa, ibadah, dan pelayanan kita karena tidak ada YESUS di dalam diri kita.

Elmer L. Towns dalam Puasa untuk Melakukan Terobosan Rohani menyatakan bahwa tujuan Allah untuk puasa adalah perubahan hidup. Kita bisa melihatnya dalam Yesaya 58:3-4 yang mengatakan: Pada hari puasamu engkau masih tetap melakukan sesukamu, dan kamu memeras tenaga semua buruhmu. Puasamu berakhir dengan berbantah dan berkelahi serta memukul satu sama lain dengan tinju yang jahat. Kamu tidak dapat berpuasa dengan caramu seperti sekarang ini dan berharap suaramu akan di dengar di tempat tinggi.

Saat ini gereja dan bangsa ini sedang menjerit untuk adanya orang yang mempunyai karakter dan integritas. Yaitu orang-orang yang mendapat kesembuhan secara emosional dan memperoleh kekuatan di dalam Kristus untuk mengalahkan kebiasaan-kebiasaan yang penuh dosa dan merusak. Orang-orang yang mendisiplin diri untuk dapat menghadirkan kasih KRISTUS ke tengah dunia sekarang ini, yaitu YESUS-YESUS MASA KINI.

Sampai pada pergumulan mengenai bagian ini, saya mendapat tamparan dari TUHAN. Bukan melalui kotbah atau KKR Pendeta terkenal, melainkan melalui seorang nenek tua-renta. Saya memanggilnya Ibu Robin atau Mbah Robin mungkin lebih cocok karena usianya sudah 75 tahun. Ia adalah seorang wanita tua yang kurus. Badannya nampak sangat kecil jika dibandingkan dengan saya. Pada siang hari, ia biasanya lewat di gang tempat kost saya. Dengan langkah terseret-seret, ia berjalan menyusuri gang sambil memungut bunga-bunga kamboja Bali yang luruh di atas aspal. Tak jarang ia harus menunduk, menbungkuk, dan meringkuk untuk memungut bunga-bunga yang jatuh di selokan. Sesekali, ia memberanikan diri untuk minta ijin masuk ke kos-kosan untuk mengambil bunga yang akan dikeringkan sebagai bahan lulur katanya.

Nenek yang gampang dikenali karena tiga gigi yang nongol keluar ini mengatakan bahwa ia punya banyak anak. Akan tetapi, mereka semua jijik padanya. Itu sebabnya, ia mengembara mencari nafkah untuk merawat ayahnya dan mencukupi hidupnya sendiri.
Kalau ada yang memberi uang, ia bisa membeli makanan. Kalau tidak, ia tidak pernah berniat untuk meminta-minta. Dengan tubuhnya yang renta, ia menyusuri jalanan untuk memunguti bunga.

Ketika melihat-Nya, mulanya saya miris dan menjadi sedih. Saya mulai membayangkan diri saya yang mulai menua dan menjadi sepertinya. Itu membuat saya menangis dan berteriak kepada Tuhan: Tuhan, bagaimana kalau saya sudah menjadi tua seperti itu? Apakah saya akan sendiri dan ditinggalkan? Saat ini, saya sengaja tidak makan dan minum karena puasa. Tetapi suatu saat kelak, apakah saya akan menjadi hamba Tuhan yang puasa karena tidak ada yang dapat dimakan? Saya sudah habis-habisan melayani Engkau, tolong pelihara saya!

Itulah contoh kain lama, kantong kulit tua, pola pikir lama, yaitu mental jajahan yang dikuasai oleh hawa nafsu kedagingan yang egois. Seketika firman Tuhan ini bergaung dalam jiwa saya dan mengubahkan pola pikir yang egois itu. Saya mulai menatap sepatu silver saya dan berkata: "Sepatu itu harganya Rp. 114 ribu. Rp. 114 ribu bisa jadi nasi jinggo berapa ya? 114 ribu dibagi 2 ribu, sama dengan 57 bungkus nasi untuk Mbah Robin. 57 bungkus nasi sama dengan 19 hari tanpa kelaparan buat dia.
Oleh karena itu, saya berkomitmen bahwa selama puasa saya akan menyisihkan uang makan dan uang jajan saya untuk disimpan lalu diberikan kepada mereka yang membutuhkan.

Itulah contoh dari kain baru, anggur baru, pola pikir baru, yaitu sikap hidup orang merdeka yang dilingkupi oleh anugerah. Puji Tuhan, akhirnya saya mengerti makna puasa sebagai gaya hidup orang merdeka untuk dapat dibagikan di sini. Puasa demikian telah lama dilakukan oleh Seorang Pendeta dari gerejanya Elmer Towns, penulis buku Puasa untuk Melakukan Terobosan Rohani. Pendeta itu mengumpulkan sejumlah besar uang melalui puasa yang dilakukannya. Tak lama kemudian, seluruh gereja itu pun berpuasa. Dan apa yang terjadi? Allah turut campur tangan dalam masa krisis nasional di daerah di mana gereja itu berada. Sungguh luar biasa.

Yesaya 58:6-7 mengatakan: Berpuasa yang Allah kehendaki ialah supaya kita membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepas tali-tali kuk, supaya kita memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya kita memecah-mecah roti bagi yang lapar dan membawa ke rumah kita orang telanjang, supaya kita memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudara kita sendiri. Firman Tuhan ini mengajak kita semua sebagai orang-orang yang merdeka untuk berpuasa. Bukan sekedar tidak makan dan minum; melainkan puasa yang menguasai diri sebagai gaya hidup orang merdeka demi menghadirkan Kristus, demi menjadikan diri sebagai YESUS-YESUS Masa Kini. Puasa yang memiliki dua dimensi, yaitu vertikal dan horisontal, yang pada prinsipnya:
1. Puasa adalah disiplin rohani yang mempererat persekutuan kita dengan TUHAN YESUS (ay. 14-15).
2. Puasa adalah disiplin pribadi yang membentuk karakter Kristen (ay. 16-17).

Tidak mudah? Pasti. Akan tetapi, Tuhan telah berjanji dalam Yesaya 58: 8-12 bahwa Ia akan membuat terang kita merekah seperti fajar, Ia akan mendengar seruan doa kita, Ia akan menuntun kita senantiasa, memuaskan hati kita dengan aliran Air Hidup, memperbaharui kekuatan kita ... sampai akhirnya kelak kita berjumpa lagi dengan YESUS dalam kemuliaan Surga.

DOAKU UNTUK MENJADI YESUS MASA KINI
By Marc Estes, JESUS TODAY (Yesus Masa Kini)

Ya, YESUS
Aku mau memulai hari ini dengan bersyukur kepada-Mu
atas kesempatan untuk minum dari Air Hidup-Mu.
Aku juga bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah memberiku
kehormatan untuk menyembah-Mu dalam roh dan kebenaran.
Sulit dipahami kalau ada orang yang telah mengecap Air Hidup-Mu,
tetapi masih haus akan segala hal yang lain, selain diri-Mu.
Namun, aku juga telah minum dari sumur-sumur
kesenangan, keberhasilan, dan keinginan daging.
Aku menyadari bahwa kesegaran dari sumur yang lain itu
menyebabkan aku kehilangan pandangan akan rencana-Mu yang mulia bagi hidupku.
Juga menutupi penglihatanku dalam memandang orang lain
seperti Engkau memandang mereka.
Aku mengaku pada hari ini
bahwa ada kalanya aku merasa tidak layak.
Ada banyak kebutuhan yang mengelilingiku setiap waktu, setiap hari.
Perasaan yang menguasaiku ini menyebabkan aku
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang hadir di tengah jalanku.
Aku ingin Engkau mengganti mataku yang dikuasai hal-hal duniawi ini
dan biarlah aku dikuasai oleh cara pandang seperti diri-Mu.
Ubahlah mata fanaku ini dan gantilah dengan mata yang tidak egois.
Biarlah aku mengganti mata jasmani ini dengan mata rohani dari-Mu
sehingga aku dapat menyampaikan tujuan hidup dalam hidup orang lain.
Yang terutama, ya YESUS, beri aku mata injil.
Tolong aku untuk dapat melihat orang lain seperti Engkau melihat mereka.
Amin
.

Belas Kasih, Denyut Kehidupan KRISTEN SEJATI



Nast: Matius 9:35-39

Ketika menyusuri koleksi buku-buku di Perpustakaan Solomon GKKA Denpasar, mata saya tak dapat beranjak dari sebuah buku bercover kuning terang. Ini adalah Jurnal berbentuk majalah yang bernama National Geographic Indonesia edisi Februari 2007. Saya tertarik mengambil dan membacanya beberapa kali karena judulnya berbunyi: “Memahami Sang Pembunuh” dengan sebuah gambar jantung di sana.

Artikel-artikel utama di dalamnya tidak hanya memikat mata saya; melainkan juga menyayat hati saya dengan flashback duka. Kira-kira tiga tahun yang lalu, penyakit jantung pernah memutus nafas hidup dan merenggut papa dari keluarga saya. Jantung sesungguhnya adalah sebuah pompa berisi darah, seukuran kepalan tangan, yang kontraksi ritmisnya (gerakan kembang-kempis secara beraturan) telah membuat kita tetap hidup sampai saat ini.

Selain merupakan sebuah organ tubuh, secara metaforis jantung adalah pusat emosi jiwa, sebuah simbol cinta dan kasih sayang. Inilah splagchna yaitu sebuah kosakata bahasa Yunani yang dipakai dalam nast firman Tuhan kali ini. Splagchna dapat berarti organ dalam dari tubuh manusia, namun di dalam Alkitab seringkali dipakai dalam arti belas kasih. Sebuah unsur kasih yang berasal dari dalam diri kita.

Banyak orang mungkin berpikir bahwa belas kasih adalah sesuatu yang sudah ada dan dimiliki oleh semua orang di dunia ini. Bukankah sebagian besar orang akan merasakan belas kasihan kalau melihat anak-anak yang mengemis di pinggir jalan; melihat seorang janda yang tua, miskin, dan hidup sebatangkara; atau melihat derita para korban bencana alam dalam barak-barak penampungan? Kalau memang belas kasih ada di dalam diri setiap orang secara natural, kenapa dunia kita ini masih dipenuhi oleh kemiskinan, kelaparan, perang, dendam, kebencian, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, dan kejahatan-kejahatan lain yang semakin pintar dan profesional? Tengok saja sekeliling kita. Fenomena yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin sangat mewarnai suasana ekonomi bangsa kita ini. Apalagi kalau mencermati kata “belas kasih” dalam bahasa Indonesia yang hanya berarti turut merasa iba ketika melihat orang lain menderita. Sungguh dangkal sekali artinya, seolah-olah ketika ada orang yang kurang beruntung kita mengatakan: “Wah kasihan sekali dia.” Setelah itu kita memberikan sesuatu untuk membuat dia tersenyum dan merasa senang lalu selesai begitu saja.

Bukan, bukan itu. Belas kasih yang dirasakan Yesus dalam ay. 36 memiliki arti yang lebih dalam. Ketika Yesus melihat orang banyak yang lelah dan terlantar seperti domba yang tak bergembala, maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka. Inilah splagchna yaitu belas kasih yang radikal. Artinya, Yesus turut merasakan penderitaan mereka, turut menangis bersama mereka. Itu sebabnya Yesus bergerak untuk melayani secara utuh/holistik, bukan hanya sekedar membuat mereka tersenyum gembira. Lebih dari semua itu, Yesus membawa mereka kapada Allah dengan taruhan nyawa-Nya.

Karena belas kasih Yesus, maka ada komunitas yang menyebut dirinya Kristen. Karena belas kasih Yesus, maka ada kita sekarang ini yang dapat dengan bebas menikmati persekutuan dengan Allah. Belas kasih Yesus adalah pompa yang menghasilkan denyut kehidupan Kristen sejati. Ketika Kekristenan hidup maka akan ada jiwa-jiwa yang terhilang dibawa dan dipersembahkan kepada Allah untuk diselamatkan. Masalahnya sekarang adalah apakah Kekristenan sejati masih hidup di tengah-tengah dunia, di Indonesia, sehingga dapat dirasakan pengaruhnya seperti Yesus bagi zaman-Nya dan bahkan sampai sekarang ini? Tanda-tanda kehidupan Kristen sejati dapat dideteksi/diketahui jika setiap orang percaya tergerak untuk melakukan setidaknya tiga hal yang telah Yesus lakukan untuk orang lain:

1. Memberikan sentuhan kasih secara langsung dan konkret (nyata).
Belas kasih adalah sesuatu yang berasal dari dalam hati nurani kemudian mengalir keluar dalam bentuk tindakan. Mari kita telusuri apa sih yang paling menggerakkan diri Yesus.
a. Ketika melihat orang yang menderita sakit kusta, buta, dan sakit penyakit lainnya; Ia menaruh belas kasihan lalu menyembuhkan mereka (Mat 14:4, 20:3; Mrk 1:41).
b. Ketika Yesus melihat orang banyak yang telah mengikutinya selama tiga hari dan kelaparan karena tidak mempunyai makanan, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan lalu Ia memberi mereka makan roti dan ikan (Mat 15:32; Mrk 6:34, 8:2).
c. Ketika Yesus berjumpa dengan seorang janda di kota Nain yang sedang menangis sedih karena ditinggal mati oleh anak laki-laki satu-satunya, maka hati-Nya tergerak oleh belas kasihan sehingga Ia menghibur janda itu dan membangkitkan anaknya yang mati itu (Luk 7:13).

Rupanya penyakit, kelaparan, dan kesusahan dunia adalah alasan mengapa Yesus giat berkeliling untuk melayani. Ia tidak pernah pilih-pilih orang dan tempat pelayanan. Buktinya, Ia melayani dari kota sampai ke pekuburan. Ia melayani dari pejabat hingga si kusta dan si pemungut cukai yang dikucilkan. Ia melayani dari orang Yahudi yang adalah kaum-Nya hingga orang Galilea yang dianggap kafir. Hidup-Nya selalu dipersembahkan bagi kepentingan Allah dan manusia, bukan diri-Nya sendiri. Itu sebabnya Ia rela kurang istirahat, kurang tidur, dan kurang makan. Ia menempatkan diri-Nya menjadi seorang Gembala yang baik, yang ingin agar domba-domba-Nya tak kekurangan.

Dengan kemampuan-Nya membuat berbagai-bagai mujizat, Ia sebenarnya bisa saja meraih keuntungan dari orang yang butuh pertolongan-Nya. Namun, Ia tidak pernah melakukannya. Ia melayani dengan sukarela semata-mata karena Ia tak dapat tahan melihat orang yang menderita. Ia merasakan derita yang sama sehingga tergerak mengulurkan tangan untuk menyembuhkan bagian-bagian tubuh mereka yang sakit, memberi mereka makan, dan menghapus air mata mereka. Itulah sentuhan kasih secara langsung dan konkret (nyata). Kepala, mata, hati, tangan, kaki, dan seluruh keberadaan diri Yesus begitu aktif dan peka terhadap kesusahan manusia sehingga Ia tidak seperti para pemuka agama yang mengabaikan penderitaan orang lain demi mengutamakan ibadah. Bukankah ibadah yang sejati adalah melakukan kehendak Tuhan? Yesus sangat paham bahwa Allah sangat mengasihi manusia. Oleh karena itu, ibadah yang sejati bagi-Nya adalah mempersembahkan hidup untuk berbagi kasih dengan orang lain, khususnya kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan-Nya. Bukan hanya mengamati lalu berlalu begitu saja, atau bahkan menghindarinya supaya tidak direpotkan dengan masalah orang lain.

Mari mengamati helikopter dan kapal selam. Helikopter biasa dipakai untuk mengamati berbagai peristiwa dari udara. Memang dari dalam helikopter, seseorang bisa terlibat untuk memberikan informasi mengenai suatu peristiwa. Namun, secara pribadi tidak langsung terlibat dalam peristiwa. Lain halnya denga kapal selam. Kapal selam dibuat sedemikian rupa agar tidak mudah dilihat. Ia akan terus berjalan menyelam selagi ada bahaya dan akan muncul ke permukaan kalau situasi sudah aman.

Keduanya sungguh merupakan sebuah teknologi yang canggih. Akan tetapi Bp. Jonathan L. Parapak justru memakai kedua teknologi tersebut untuk menggambarkan kondisi orang Kristen saat ini. Beliau menyebutkan bahwa orang Kristen helikopter seringkali cuma jago mengamati, tetapi enggan terlibat langsung. Setajam silet beliau berkata bahwa di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis multi dimensi dan berbagai bencana, banyak gereja dan orang-orang percaya yang jago mengamati. Akan tetapi, sedikit yang mau turun langsung membawa perbaikan. Selain itu, ada juga orang Kristen kapal selam yang risih menjadi kaum minoritas di tengah bangsa kita. Oleh karena itu, untuk amannya mending diam-diam aja di rumah. Ke gereja kalau penting-penting aja, yaitu pada waktu Natal, Paskah, dan pemberkatan nikah. Ikut pelayanan dan bergaul dengan orang susah dianggap bikin repot. Sebentar-sebentar didatangi orang untuk minta tolong ini dan itu, pinjem duit lah, minta didoakanlah, dengerin curhat dan kesusahannya. Belum lagi sumbangan dan persembahan ini dan itu.

Jika semua orang percaya menjadi seperti helikopter dan kapal selam, maka denyut kehidupan Kristen Sejati akan segera melemah. Tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat akan mati.
Mari kita bayangkan betapa sedihnya Tuhan Yesus.

Oleh karena itu, sesungguhnya tidak ada tempat bagi Kristen helikopter dan kapal selam dalam kehidupan Kristen sejati. Sebab kehidupan Kristiani bukanlah status agama dalam KTP agar tidak dianggap atheis. Kehidupan Kristiani sesungguhnya adalah perlombaan yang memerlukan disiplin, komitmen, dan mata yang tertuju kepada Tuhan. Sehingga serepot apapun, seburuk apapun, sesulit apapun, kita tidak akan mengamati saja atau bahkan menghindarinya. Karena kita tahu bahwa segala sesuatu dapat dipakai untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap kita yang percaya kepada Tuhan (Roma 8:28).

Bangsa kita saat ini sedang memerlukan anak-anak bangsa yang terbaik untuk membawa perubahan dan perbaikan. Dan sangat mungkin bahwa kita sebagai anak-anak Tuhan dan hamba-hamba Tuhan akan dipanggil juga untuk terlibat memberikan yang terbaik bagi Indonesia, bagi masyarakat sekitar kita, bagi saudara-saudara seiman kita, bagi mereka yang membutuhkan ulur tangan kita. Oleh karena itu, tidak ada orang Kristen sejati yang boleh berambisi untuk mengumpulkan uang bagi dirinya sendiri. Tidak ada orang Kristen sejati yang dapat menahan-nahan berkat untuk dirinya sementara melihat ada orang lain yang kelaparan. Tidak ada orang Kristen sejati yang sanggup menutup mata dan telinga ketika ada orang yang menangis kesakitan atau meratap dalam duka. Tidak ada orang Kristen sejati yang tahan diam dan melipat tangan saat ada orang yang meringkuk butuh dipeluk, menggapai-gapai ingin dibelai, dan menengadah rindu untuk dijamah. Siapkah kita, memberikan sentuhan kasih secara langsung dan konkret kepada mereka?

Sentuhan kasih yang langsung dan konkret memang sangat penting. Akan tetapi, semua itu tidaklah cukup. Segala bentuk bantuan yang dapat kelihatan oleh mata akan lebih lengkap dan sempurna jika kita juga membagikan/memperkenalkan Tuhan, Sang Penyedia keselamatan dan hidup kekal. Dengan demikian, hal kedua yang harus kita lakukan adalah:

2. Mengabarkan Injil dan mengajarkan kebenaran.
Injil dan kebenaran Allah adalah sesuatu yang sangat berharga dan bernilai kekal. Injil sangat penting untuk roh kita yang kekal agar sampai diperhentian yang tepat, yaitu kehidupan kekal dan bukan kematian kekal. Sayangnya tidak semua orang mengenal dan menerimanya. Bahkan mungkin ada banyak yang tidak mengenal daripada yang mengenalnya.

Itu sebabnya di ay. 37 Yesus mengatakan: Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Tuaian itu adalah jiwa-jiwa yang tersesat. Yang tidak mengenal namun merindukan Yesus. Kenapa mereka begitu merindukan Yesus? Bagaimana tidak? Umat yang mendapat berkat untuk menjadi berkat ternyata tidak melakukan bagiannya. Bangsa Israel pada waktu itu, hanya sibuk dan ribut dengan ritual-ritual agamanya sendiri, tetapi melupakan kerinduan hati Allah yang begitu mengasihi semua manusia, termasuk bangsa kafir. Mereka, begitu bangga jadi umat pilihan Allah sehingga tak pernah putus harap menanti kejayaan Israel. Akibatnya, mereka memandang rendah bangsa lain.

Semua itu sebenarnya tak lepas dari kesalahan para pemimpin agama mereka. Para pemimpin Yahudi yang seharusnya mengajarkan kebenaran, malah membingungkan orang banyak dengan fanatisme berlebihan terhadap hukum Taurat. Pemimpin yang seharusnya melepaskan mereka dari derita penjajahan, malah menimpakan beban berat dengan ritual-ritual agama yang melenceng tujuan dan esensinya. Pemimpin yang seharusnya memperkenalkan Yesus sebagai Mesias yang sekian lama dinanti-nanti, malah memfitnah dan membunuh-Nya di atas kayu salib.

Itu sebabnya, mereka butuh Yesus yang dapat memindahkan mereka dari jalur menuju maut ke jalur menuju hidup. Mereka butuh Yesus yang menguasai kebenaran dan yang adalah Kebenaran itu sendiri. Yesus adalah seorang Guru Agung. Ia tidak hanya menyembuhkan sakit penyakit, memberi makan orang banyak, dan bersimpati pada duka orang lain. Ia memang sanggup membuat berbagai mujizat. Akan tetapi, Ia sangat sadar bahwa kehadiran-Nya di dunia adalah untuk mengabarkan injil dan mengajarkan kebenaran.
* Injil adalah kabar gembira bahwa Allah begitu mengasihi dunia sehingga Ia mengutus Yesus datang untuk menyelamatkan manusia. Siapa yang percaya pada-Nya akan diselamatkan.
* Kebenaran adalah bahwa selain penuh kasih, Allah juga adil. Ia sangat membenci dosa sehingga setiap orang percaya harus menguasai diri dari dosa dan menjadi serupa dengan Yesus.
Itulah yang diwartakan Yesus ketika berada di Bait Allah, sinagoga, bukit, desa, pantai, dan di mana saja. Ia begitu giat dan kreatif agar orang banyak dengan mudah dapat memahaminya.
Ya, injil dan kebenaran Allah adalah hal penting yang paling dibutuhkan oleh orang banyak. Yesus ingin mata mereka tertuju pada Allah, bukan mujizat-mujizat yang memberikan kepuasan secara jasmani.

Sebelum menjalani praktek-praktek pelayanan saya adalah orang yang paling gampang jatuh kasihan. Saya sering kehabisan uang sebelum waktunya karena sering memberi atau meminjamkan uang kepada orang lain yang membutuhkan. Karena sifat heroik saya itu, saya sering ditipu dan dimanfaatkan orang sehingga sering juga timbul penyesalan setelah melakukan kebaikan. Setelah memasuki masa praktek, saya belajar banyak tentang belas kasih yang penuh hikmat. Seorang hamba Tuhan senior di tempat pelayanan weekend saya meneladankan hal ini. Ketika ada jemaat yang mengeluh kekurangan uang, ia tidak gampang terseret emosi untuk mengeluarkan dompetnya dan memberi sejumlah uang. Saya sempat panas dan bertanya dengan ketus: “Pak, bukankah gereja seharusnya segera bertindak?” Terus terang saja, waktu itu saya sebenarnya sudah siap untuk memberikan lembaran uang seratus ribu saya yang terakhir buat jemaat itu. Tetapi, tidak jadi karena hamba Tuhan itu berkata: Ve, uangmu itu sungguh-sungguh ga ada artinya buat dia. Paling dua-tiga hari sudah habis. Setelah itu, bagaimana nasib mereka? Mereka akan minta lagi padamu atau pada orang lain. Kalau tidak minta, ya berhutang. Lama-lama meminta belas kasih dan berhutang menjadi kebiasaan hidup mereka. Itu bukan perubahan hidup, melainkan menjerumuskan orang. Pemberian harus diimbangi dengan injil dan pengajaran.

Saat merenungkan bagian ini, saya pun mengangguk-angguk membenarkan perkataan hamba Tuhan tersebut. Karena apa? Selain cuek terhadap situasi sekitar, orang Kristen juga sering dinilai sebagai pabrik kasih tanpa hikmat. Gampang menyumbang dan berderma, tapi malas mengajarkan keterampilan yang diperlukan. Gampang kasihan, tapi malas mengarahkan kepada kebenaran. Gampang bersimpati dan berempati dengan kesusahan orang, tapi susah pergi menginjili. Gampang menghafal ayat-ayat Alkitab, tapi sulit melakukannya.

Jika dipertahankan terus, sikap demikian akan menyesatkan. Orang tidak akan lagi mencari Tuhan. Mereka datang ke gereja dan menjadi Kristen hanya untuk mendapat kesejahteraan hidup. Mengabarkan injil dan mengajarkan kebenaran memang tidak mudah. Bahkan seringkali merepotkan. Kita dituntut untuk tahu kebenaran lebih banyak sehingga harus benar-benar menguasai Alkitab. Kita dituntut hidup lebih benar sehingga bisa jadi teladan. Kita dituntut untuk rela meluangkan waktu dan tenaga lebih untuk mendampingi, memperlengkapi, mengarahkan, dan mengampuni jika mereka gagal. Kita dituntut untuk tidak kenal menyerah untuk menegakkan kebenaran kepada orang yang paling bebal sekalipun. Siapkah kita mengabarkan injil dan mengajarkan kebenaran?

Mengabarkan injil dan mengajarkan kebenaran memang adalah tugas kita sebagai orang percaya. Akan tetapi, kita sesungguhnya tak dapat jalan sendiri untuk menjangkau jiwa-jiwa yang tersesat itu. Kita butuh Tuhan untuk menolong kita karena Dialah Tuan, Sang Empunya ladang itu sendiri. Oleh karena itu, hal ketiga yang harus kita lakukan adalah:

3. Berdoa bagi pekerjaan misi Allah.
Seperti yang sudah sering kita dengar. Doa adalah sebuah disiplin rohani yang sangat akrab di telinga kita, namun juga yang paling sulit dilakukan. Padahal doa seharusnya merupakan pusat kerohanian setiap orang percaya. Mengapa demikian? Karena doa merupakan sarana komunikasi antara roh kita dengan Roh Allah. Dengan berdoa, kita menyatakan kita lemah dan Allah itu kuat sehingga kita butuh Tuhan. Dengan berdoa, kita memproklamasikan bahwa kita adalah hamba yang tunduk dan berbakti hanya pada Allah dan kehendak-Nya.

Itu sebabnya Yesus berkata dalam ay. 38: Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Ketika membacanya, ada beberapa pertanyaan yang terlintas dalam pikiran saya:
a. Mengapa sih Yesus berkata seperti itu seolah-olah Ia tidak punya kuasa untuk melakukan sesuatu?
b. Kalau pun bisa dan tidak bersedia, bukankah Yesus bisa meminta Allah untuk mengirimkan malaikat-malaikat-Nya?
c. Mengapa kita harus meminta agar Allah mengirimkan pekerja-pekerja dari antara kita, manusia yang lemah dan terbatas?

Salah satu kebenaran yang bisa menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa Yesus Kristus mau menjadikan manusia sebagai rekan kerja-Nya. Ia berkata: “Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit.” Bagaimana tidak, untuk seluruh dunia hanya ada Yesus dan 12 orang murid-Nya. Selain itu, dengan 3½ tahun Yesus dan para murid hanya menyusuri tanah Palestina saja. Sementara Dunia yang luas juga begitu merindukan Sang Mesias.

Yesus masih ingin agar seluruh penjuru dunia, termasuk sudut-sudut kumuh dan ujung-ujung primitif yang tak terjangkau, mendengar injil kabar baik itu. Akan tetapi, mereka tidak akan pernah mendengarnya jika tidak ada yang meraih tongkat estafet dari Yesus dan ke-12 orang rasul. Tidak akan pernah mendapatkan keselamatan jika tidak ada yang tergerak untuk menginjili mereka. Itu sebabnya Yesus meminta para murid-Nya untuk berdoa kepada Allah dengan doa yang berasal dari hati yang penuh belas kasih kepada orang lain; doa yang lahir dari kebutuhan, doa yang dengan sungguh-sungguh dinaikkan. Untuk apa? Supaya Allah mempersiapkan prajurit-prajurit injil dari generasi ke generasi. Agar Allah terus menumbuhkan tunas-tunas zaman yang peka dengan bunyi denyut jantung Allah.

Sebelum percaya Yesus dengan sungguh-sungguh, saya sangat takut dengan kematian. Saya takut sekali kalau-kalau ada keluarga saya yang meninggal. Suatu saat saya pernah bermimpi melihat papa saya meninggal dunia (waktu itu beliau masih hidup). Di dalam keadaan tidur saya menjerit dan menangis sejadi-jadinya sampai terjaga dan menjumpai bahwa papa saya masih hidup. Ia sedang terlelap dan mendengkur di kamarnya. Masih dengan lelehan air mata, saya memeluk perutnya yang besar dan menempelkan telinga saya dekat di dadanya. Suara dengkurannya yang keras, hembusan nafasnya yang naik turun, dan bunyi jantungnya yang berdenyut pelan namun teratur, terasa bagai sedang berbicara: “Jangan takut Nak. Papa di sini bersamamu. Aku mengasihimu. Aku tidak akan mati sekarang.” Seketika saya menangkap bunyi denyut jantungnya dan merasakan ketenangan karena merasa dikasihi dan dilindungi. Sungguh nyaman sekali rasanya. Pada saat itulah saya tergerak untuk berdoa agar tetap merasakan kasih itu selamanya, meskipun pada dasarnya itu mustahil karena kenyataannya saat ini Papa saya sudah meninggal. Saya tak akan dapat merasakan denyut kehidupannya lagi.

Akan tetapi, kita masih punya seorang Bapa yang kekal yaitu Allah. Denyut jantungnya tak pernah akan berhenti, bukan saja untuk menjagai kita; melainkan juga untuk memegang dunia ini dan seluruh umat yang Ia kasihi. Dan saat ini, saya ingin mengundang setiap kita untuk lebih mendekat ke dada Allah. Dengarkanlah denyut jantungnya dengan cermat. Kita akan merasakan betapa denyutnya akan menjadi semakin lama semakin kuat dan cepat, seolah hendak berkata: “Tak seorang pun boleh binasa. Semuanya harus bertobat. Ya, tak seorang pun boleh binasa. Semuanya harus bertobat.” Dengarkan terus suara itu, tangkap denyut jantung Allah hingga menjadi denyut jantung kita sendiri. Sampai kita tergerak oleh belas kasih dari hati yang sama seperti Yesus. Yang melihat orang-orang di sekitar kita sebagai ladang yang telah menguning dan siap untuk dituai. Kalau kita sudah benar-benar menangkap dan menjadikannya sebagai denyut jantung kita sendiri, tidakkah kita akan tergerak untuk berdoa?

Berdoa agar Tuhan membangkitkan gereja-Nya untuk menginjili. Berdoa agar kita berperan sebagai minoritas yang menjadi berkat. Berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan pada para pejuang injil di tengah ladang yang berat. Berdoa agar kuasa Tuhan sendiri yang bekerja melembutkan hati-hati yang dengan keras menolak injil.

LeRoy Eims dalam buku Penuai Yang Diperlengkapi pernah berkata bahwa salah satu dari lima hal yang menyebabkan kurangnya tenaga untuk menginjili adalah karena kita kurang berdoa. Oleh karena itu, siapkah kita berdoa bagi pekerjaan misi Allah? Dunia kita saat ini sedang sakit. Ia menangis dan meratap. Ya, jutaan manusia yang tak berpengharapan saat ini sedang menjerit karena merindukan seorang Gembala agung yang dapat menaungi mereka dengan sayap kasih-Nya. Yang bersedia memeluk mereka dengan tangan-Nya yang kuat. Yang dapat menyembuhkan sakit-penyakit dan mengenyangkan perut mereka yang lapar. Yang menuntun mereka ke jalan yang benar dan menyediakan jaminan akan sebuah tempat tinggal di keabadian kelak. Yang dengan kuasanya yang hebat memelihara gelora kasih dari generasi ke generasi. Sampai dunia yang terjungkir balik ini digantikan dengan era kemuliaan Kerajaan Allah, dimana tak ada ratap tangis dan kertakan gigi.

Sebagai orang percaya dan gereja Tuhan, mari kita tetap menjaga agar denyut kehidupan Kristen sejati dapat dirasakan oleh sekitar kita. Mari kita peka akan desakan belas kasih yang terpancar dari dalam hati nurani kita. Yaitu belas kasih Yesus yang menggerakkan kita untuk:
1. Memberikan sentuhan kasih secara langsung dan konkret (nyata).
2. Mengabarkan injil dan mengajarkan kebenaran.
3. Berdoa bagi pekerjaan misi Allah.

Jika kita sunguh-sungguh bersedia melakukannya, Tuhan Yesus telah berjanji:
Bahwa Allah turut bekerja dan meneguhkan firman itu (Mrk 16:20).
Bahwa Ia akan menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman (Mat 28:20).
Bahwa Allah akan mengirimkan Roh yang menghibur dan memperlengkapi (Luk 24:49).

Selasa, 22 September 2009

My Soulmate


Nast: Kejadian 2:18-25

As I said before, menjadi “lajang” ternyata bukanlah pilihan hidup bagi sebagian besar orang. Bukankah kita telah terbiasa menetapkan target untuk menikah di usia tertentu? Artinya, mungkin ada ketakutan/kekuatiran terhadap suatu jalan hidup yang dinamakan “menjomblo” atau melajang. Berbagai upaya rela dilakukan agar tidak mendapatkan predikat jomblo. Di antaranya adalah dengan cara mempercantik penampilan fisik, mengikuti sekolah pengembangan kepribadian, mengasah diri dengan berbagai keahlian (musik, seni, olah raga, dll), pamer harta dan kepandaian, sampai-sampai serangam kepolisian pun dipakai supaya bisa sukses TTP (tebar-tebar pesona). Ada pula yang pakai cara kekerasan/paksaan dan bahkan melibatkan kuasa kegelapan. Ya, cinta ditolak maka dukun bertindak. Bahasa mandarinnya: “Wo ai ni, ni pu yao, wo paksa” (Aku cinta kamu, kamu tidak mau, aku paksa kamu).

Pertanyaannya, mengapa sih sebagian besar orang memilih tidak melajang sehingga dunia kita ini dikenal sebagai dunianya para pasangan? Pdt. Sucipto Subeno menyebutkan beberapa alasan yang biasa diumbar kaum muda, namun sebenarnya tidak tepat.

Banyak orang menikah lantaran merasa harus menikah. Dengan kata lain, menikah adalah naluri atau panggilan alam sehingga disebut aib/abnormal kalau sampai diusia tertentu seseorang belum menikah. Akibatnya, banyak orang yang menikah karena dikejar-kejar umur dan bukan karena ada sebuah tujuan di dalamnya. Kalau begitu, apa bedanya kita dengan binatang? Sorry to say, hanya binatang yang menikah karena naluri atau panggilan alam.

Sebagian lain menikah karena ingin punya anak (prokreasi). Dengan kata lain, tujuan akhirnya adalah hanya untuk memproduksi dan membesarkan anak. Itu sebabnya ada pasangan yang saling menyalahkan kalau tidak punya anak. Tujuan ini juga biasa dipakai sebagai alasan untuk berpoligami. Menikah lebih dari satu kali supaya dapat anak, padahal di luar sana ada begitu banyak anak terlantar yang perlu uluran kasih kita. Sungguh sebuah tujuan yang sangat dangkal bukan?

Lainnya lagi menikah supaya ga kesepian sehingga pacar, suami/istri diharapkan dapat menjadi sahabat yang akan menemani dan membahagiakan kita seumur hidup. Tujuan ini bukan 100% salah. Memang persahabatan adalah salah satu bagian dari hubungan kasih antara dua sejoli. Akan tetapi bukan hanya itu saja. Kalau itu yang ditonjolkan maka orang bisa dengan gampang mengeluarkan kata “putus” atau “cerai” hanya dengan alasan sudah ga cocok lagi, sudah tidak ada cinta, atau dia sudah tidak bisa membahagiakan saya lagi. Kata putus dan cerai diucapkan segampang mengatakan “I love you,” “be my valentine,” atau “will you marry me?”

Kesalahan yang paling parah, pacaran atau menikah dianggap hanya sebagai sarana pelampiasan nafsu seksual. Yah, daripada ganti-ganti pasangan kan mending sama pacar sendiri. Toh, ntar juga menikah. Atau daripada berzinah kan mending menikah? Habis gimana lagi, udah kebelet neeh. Gue ga tahan lagi menyimpan hasrat terpendam ini lama-lama.

Seks memang dirancang untuk kita nikmati. Akan tetapi, itu bukan alasan utama dan terutama. Kalau kita pacaran atau menikah hanya untuk seks, kita bisa saja dengan tanpa perasaan meninggalkan pasangan kita dan kehilangan rasa cinta kalau ia tak dapat lagi memuaskan hasrat kita—mungkin karena sakit penyakit atau perubahan fisik. Coba sebutkan manusia mana sih yang akan selalu sehat dan tidak berubah fisiknya, sejalan dengan bertambahnya usia?

Firman Tuhan yang kita baca tadi menunjukkan bahwa Allah mengadakan hubungan cinta-kasih sepasang manusia tidak lama setelah Ia menciptakan manusia pertama. Artinya berpasang-pasangan, pacaran, dan menikah merupakan rancangan atau panggilan Allah, bukan karena naluri manusia atau panggilan alam. Allah punya tujuan ketika menciptakan manusia berpasang-pasangan. Jadi, apa sih tujuan Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan? Setidaknya ada dua tujuan:

1. Untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Ya, untuk kebaikan kita. Tahu lagu “S’mua Baik” kan? Memang benar bahwa sejak dari semula Allah selalu merancangkan apa yang baik bagi manusia karena kebaikan adalah natur Allah itu sendiri. Dalam kitab Kejadian kita bisa melihat bahwa Ia menciptakan manusia pertama dalam bentuk seorang pria. Ia kemudian mengatakan bahwa Adam, si pria itu adalah “sungguh amat baik (1:31).” Ia menempatkan Adam di sebuah taman indah bernama Firdaus dan menyediakan baginya semua hal yang terbaik untuk dimakan dan diminum, hal-hal terindah untuk dirasakan, dan hal-hal paling ajaib untuk dilihat. Allah menyatakan diri-Nya kepada moyang kita itu dan selalu memperhatikannya. Tidak hanya itu saja, Allah juga mempercayakan bumi dan taman indah itu untuk ia kelola.

Meskipun begitu, bagian yang udah kita baca tadi justru menunjukkan kali pertama Allah menyatakan ada yang “tidak baik” dalam diri pria yang bernama Adam itu (lih. 2:18). Apa yang tidak baik? Mari kita perhatikan selengkapnya. Allah berkata, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.” Artinya, Allah melihat bahwa pria membutuhkan makhluk yang sepadan dengan dirinya. Kisah selanjutnya sungguh indah, yaitu Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara (ay. 19). Bayangkan betapa ramainya pesta pertama Adam dengan berbagai jenis marga-satwa itu. Ia pasti sangat menikmati bermain, memberi mereka makan, dan menamai mereka untuk pertama kalinya.

Meskipun unsur pembentuk manusia, segala jenis binatang hutan, dan burung-burung di udara itu sama-sama dari “tanah,” namun Allah tetap tidak melihat adanya kesepadanan. Ya, meskipun taman itu sudah lebih padat penghuninya dan lebih hidup suasananya, namun Allah tetap tidak puas karena Ia melihat bahwa Adam masih tetap seorang diri saja. Di malam hari ketika semuanya sedang tidur, Adam terlihat meringkuk sendiri persis seperti Pungguk di atas pohon yang merindukan bulan. Matanya yang sayu menatap langit yang gelap. Hatinya yang sepi mulai dikuasai oleh kesunyian. Paduan suara indah dari si Jangkrik semakin membuat perasaan romantisnya meluap-luap. “Aku merindukan sesuatu. Tetapi, aku tak tahu apa itu,” begitu keluh si Adam. Coba ada sesuatu yang bisa menghangatkan hatiku seperti sang surya pagi. Andai saja ada yang bisa menyegarkan jiwaku seperti titik-titik embun di pagi hari.

Perasaan rindu yang tak berbatas itu rupanya membuat Adam merasa lelah dan mengantuk sehingga ia tidak sadar bahwa Allah sebenarnya sedang bekerja dengan membuatnya tertidur. Allah tidak ingin membiarkan yang tidak baik itu berlama-lama ada dalam diri manusia maka hal terindah di dunia itu pun terjadilah. Dengan penuh kasih, Allah mengambil salah satu rusuknya dan membentuk seorang penolong yang sepadan dengan dia (ay. 20).

Sepadan itu ternyata tidak berarti sama persis semuanya. Kalau sama persis, itu namanya jeruk makan jeruk. Sepadan artinya dari spesies yang sama, namun beda model yaitu seorang “wanita.” Sama tapi beda, beda tapi sama. Itulah pria dan wanita. Walau keduanya berbeda, namun sama-sama spesial/unik; sama-sama serupa dan segambar dengan Allah. Ya, wanita hadir di dunia ini karena inisiatif Allah yang sangat mengasihi Pria. Allah menghendaki pria dan wanita saling mengisi dan melengkapi satu dengan lain. Apa yang kurang pada pria ditutupi oleh wanita. Apa yang lemah pada wanita ditopang oleh pria. Saling mengasihi dan menguatkan. Itu sebabnya ketika Allah membawa wanita pertama itu ke hadapannya, Adam begitu senang karena rindunya tak bertepuk sebelah tangan. Dengan girang ia berkata, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. My soulmate.”

Mereka berdua pun menyatu menjadi satu daging yang tak terpisahkan, menjadi belahan jiwa alias soulmate. Mereka berdua benar-benar telanjang tanpa malu-malu. Tidak ada yang mereka tutup-tutupi satu dengan yang lain. Keberbedaan, kebaikan dan kelemahan masing-masing tidak ada yang disembunyikan. Ketelanjangan dan keterbukaan ini menciptakan ikatan batin yang begitu dalam dan tak terpisahkan.

Ini adalah dua benda berbahan plastik yaitu kotak plastik dan mangkuk plastik, bukan? Bagaimana jika keduanya disatukan? Tetap saja dua. Bentuknya aneh lagi. Kalau ini apa? Dua benda yang berbahan plastik juga. Sama dong dengan yang tadi. Tapi, bagaimana jadinya bila mereka disatukan? Wow, klop dan cocok. Kita sekarang cuma ngeliat satu benda yaitu sebuah kotak makan plastik. Bentuknya jadi bagus ya? Bahannya sama, bentuk dan warnanya beda, tapi klop dan kelihatan indah.

Itulah tujuan Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu, menyatukan dua hati yang berbeda dalam satu ikatan kasih dan demi kebaikan. ”Demi kebaikan” mereka bukan berarti aman dan mesra terus tanpa berantem; melainkan adanya keterbukaan untuk menerima kelemahan/kelebihan dari tiap-tiap pribadi yang berbeda. Untuk bisa begitu, karakter-karakter, kebiasaan-kebiasaan, selera-selera, pribadi-pribadi, dan ego-ego yang berbeda itu harus dibuka dan kemudian dilebur dengan kerendahan hati. Dengan begitu pria dan wanita bisa menyatu dan saling melengkapi.

Kesatuan itu ternyata lama-lama bisa menimbulkan ikatan batin jika dihiasi dengan kesetiaan. Itu sebabnya kata putus atau cerai seharusnya bukan sesuatu yang mudah untuk dikatakan. Kalau kita benar-benar mencintai dia, maka ada keterikatan kuat yang tidak dapat digambarkan oleh kata-kata. Sehingga kalau kita putus apalagi cerai, ada sesuatu yang sedang dicabut dari diri kita dan rasanya pasti sangat sakit sekali. Itu sebabnya kita ga boleh main-main dalam berpacaran. Ga boleh asal pilih dan asal tembak saja karena dia cantik/ganteng, karena dia pintar dan kaya, karena merasa cocok dan nyambung ngomongnya, atau merasa sudah waktunya dan malu dibilang jomblo terus.

Kesalahan klasik yang sering dilakukan oleh banyak pasangan adalah memilih PH dengan kacamata fisik dan apa yang kelihatan oleh mata. Kalau masih remaja mungkin bisa dimaklumi (walau tetep aja ga bener sih coz sedari muda kudu belajar ga liat sesuatu dari luar saja). Akan tetapi sebagai pemuda-pemudi yang sudah dewasa, kita harus lebih teliti dan berhikmat lagi. Kita harus mulai mencari dan menyesuaikan diri dengan tujuan Allah mula-mula ketika Ia merancangkan kisah cinta sepasang manusia.

Ingat, Allah yang merancang manusia untuk berpasang-pasangan. Rancangan itu adalah untuk kebaikan kita. Jadi kita tidak seharusnya gampang berkata “kita putus aja” segampang berkata “I love you.” Kita juga tidak boleh asal bilang “will you marry me” dan “pokoknya cerai” begitu saja tanpa tanya-tanya Tuhan. Bayangkan betapa sedihnya Allah jika kita sembarangan pilih PH tanpa berdoa kepada-Nya, atau jika kita gampang jadian dan putus dengan semboyan “mati satu tumbuh seribu.” Itu berarti kita tidak menghargai Tuhan.

Berpasang-pasangan merupakan sebuah anugerah sekaligus panggilan Allah bagi satu pria dan satu wanita; bukan satu pria dengan empat wanita, satu wanita dengan dua pria, pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Oleh karena itu, memilih pasangan hidup dan menikah harus disesuaikan dengan rancangan Allah; bukan direkayasa/diada-adakan sendiri. Pdt. Subeno dengan tegas menguraikan bahwa pernikahan yang tidak melibatkan Tuhan tidak akan mencapai titik maksimal kebahagiaan dan maksud dari pernikahan itu sendiri. Kepuasan seksual dan kenyamanan sementara mungkin bisa di dapat, tetapi itu bukan titik maksimal kebahagiaan, sebab titik maksimal kebahagiaan adalah damai sejahtera yang terjadi karena adanya keselarasan kehendak kita dengan kehendak Allah.

Kita ini seperti Adam yang terbatas dan ga tahu apa-apa. Itu sebabnya, kita perlu Tuhan yang maha tahu. Ia tahu siapa yang terbaik buat setiap kita. Ini bukan berarti jodoh itu adalah takdir. Ga ada yang namanya jodoh itu turun dari langit dan tiba-tiba nongol gitu aja. Dulu sih cuma ada satu pria dan satu wanita, jadi ga ada pilihan lain. Itulah yang terbaik karena pemberian Tuhan. Saat ini kita diberi kehendak bebas untuk memilih karena manusia sudah bejibun banyaknya sehingga bebas tidak berarti bisa pilih seenaknya. Jangan sampai udah terlanjur menikah baru sadar kalau dia bukan PH kita. Itu udah terlambat namanya. Oleh karena itu, kita tetap harus buka mata baik-baik untuk melihat dan mengamati. Selanjutnya, melipat tangan dan berdoa untuk melibatkan Tuhan. Lebih jauh lagi, buka telinga hati kita untuk mendengar kehendak Tuhan dan bersiap untuk taat apapun itu. Terakhir, kenali damai sejahtera Allah di antara perasaan-perasaan pribadi.

Sharing dikit nih. Mulanya saya tidak mau pacaran sembarangan atau memilih bergumul lebih dulu karena takut mengalami putus cinta. Akan tetapi setelah memahami hal ini, saya tidak pernah menyesal karena memang seharusnya tidak mudah memutuskan untuk berpacaran yang sesuai maksud dan tujuan Allah. Apalagi selain untuk kebaikan, Allah merancang manusia untuk berpasang-pasangan karena memiliki tujuan lain yang juga sangat indah yaitu:

2. Untuk kemuliaan Allah.
Kita pasti sudah berulang kali mendengar bahwa manusia diciptakan untuk memuliakan Allah. Tugas memuliakan Allah ini bukan sekedar sebuah kewajiban karena kita memang diciptakan untuk itu. Ya, kita hidup untuk membuat Allah tersenyum puas, termasuk ketika berpacaran ataupun menikah. Tujuan ini ditangkap oleh kitab Kejadian dengan menyebutkan kisah di mana Allah berkenan memberi mandat budaya kepada Adam dan Hawa, yaitu untuk beranak-cucu dan bertambah banyak; memenuhi, menaklukkan, dan menguasai bumi (1:26-28). Artinya, Allah ingin agar manusia menjadi wakil-Nya untuk menempati, menjaga, dan mengelola bumi ini. Dengan kata lain, manusia hidup untuk melayani Allah. Biar lebih jelas, mari kita perhatikan garis besar narasi berikut:

Adam di taman ditugasin untuk kelola (2:4-17)
I Tak ada pohon karena ga ada yang kelola (4-6)
II Manusia diciptakan dan Taman pepohonan di tanam (7-14)
III Manusia ditugaskan untuk mengola

Allah perbaiki kondisi untuk pemberian tugas (2:18-25)
I Adam membutuhkan rekan (18)
II Hewan tidak cocok jadi rekan (19-20)
III Allah ambil rusuk Adam (21)
IV Rekan ditemukan dalam diri Hawa (22-24)
V Adam dan Hawa jadi rekan (25)

Berdasarkan garis besar tersebut, kita melihat bahwa Allah memandang Adam ga bakalan mampu melakukan tugas yang Allah berikan ketika Hawa belum ada di sisinya. Itu sebabnya, untuk memperbaiki kondisi pemberian tugas tersebut Allah memberikan seorang rekan duet yang cocok. Duet Adam dan Hawa tidak hanya berhenti sampai pada pacaran dan pernikahan mereka saja. Keberadaan mereka sebagai belahan jiwa diarahkan untuk membentuk sebuah keluarga. Keluarga inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal terjadinya masyarakat dunia. Itulah mandat budaya. Adam dan Hawa ditugaskan untuk membentuk keluarga yang takut Allah.

Melalui keluarga pertama ini muncullah generasi demi generasi masyarakat yang menjadi pahlawan-pahlawan iman seperti: Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Daud, dan sampai akhirnya Yesus Kristus. Itu artinya, bangsa yang diberkati untuk menjadi berkat itu mulanya berakar dari benih Adam dan Hawa juga. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa peran keluarga pertama itu cukup besar bagi pekerjaan Allah dan bagi dunia. Salah memilih PH bisa berakibat fatal karena pengaruhnya bukan hanya bagi keluarga itu sendiri; melainkan juga pada tatanan masyarakat. Keluarga bisa menghasilkan budaya, hukum, konsep nilai, dan juga perilaku di dalam masyarakat. Bandingkan betapa besarnya pengaruh keluarga pada masyarakat dengan adat tertentu, mis: masyarakat Batak, Toraja, Minang, Tionghoa, Jawa, Dayak, dsb.

Di Alkitab sendiri yaitu dalam Kejadian 6:1-8 kita dapat melihat contohnya. Ketika anak-anak Allah mulai mencari PH sekehendak hati mereka sendiri maka muncullah sebuah masyarakat yang jahat hingga Allah ingin dan telah menghancurkan mereka. Sebaliknya, keluarga yang melayani Tuhan akan menjadi terang dan garam dengan menyatakan imannya. Peran ini pernah diperlihatkan oleh Nuh dan keluarganya. Karena ada keluarga Nuh yang takut akan Allah, maka peradaban manusia bisa berlanjut setelah dunia ini disapu dengan air bah.

Kesimpulannya, Adam dan Hawa disatukan bukan semata-mata supaya enak dilihat atau agar mereka bisa bersahabat, bukan juga untuk sekedar melampiaskan hasrat seksual, hanya untuk menghasilkan keturunan, atau hanya untuk kepuasan yang mereka nikmati sendiri. Mereka dipanggil menjadi satu daging untuk melayani sehingga kemuliaan Tuhan dinyatakan atas dunia. Ketika kemuliaan Tuhan nyata maka dosa akan dihapuskan dari dunia. Ketika dosa dihapuskan maka ada persekutuan yang indah antara manusia dengan Allah. Itulah tujuan mula-mula dan utama mengapa Allah menciptakan kita berpasang-pasangan. Jadi, panggilan Tuhan lebih penting daripada cita-cita manusia dan persekutuan dengan Tuhan adalah lebih tinggi daripada pernikahan manusia.

Ketika akan mulai mempersiapkan kotbah ini saya sempat merasa kuatir tidak dapat menghidupinya. Akan tetapi, saya justru bersyukur dan semakin dikuatkan setelah selesai mempersiapkannya. Rupanya mimpi saya mengenai seorang PH bukanlah sebuah hal yang menyimpang. Saya pernah bermimpi untuk mempunyai seorang PH yang terbaik dari Tuhan. Jika saat masih sendiri saya bisa melayani Tuhan dengan baik, maka ketika menikah, saya rindu dapat semakin luar biasa melayani Tuhan bersama dengan pasangan saya. Ketika saya dan dia melayani sendiri-sendiri bisa jadi berkat bagi sebuah pelayanan. Akan tetapi ketika kami bersatu melayani Tuhan, Kerajaan Maut terguncang karena takut dan gentar terhadap kuasa Allah yang kami nyatakan dan Kerajaan surga terguncang karena sukacita sebab nama Tuhan dimuliakan. Duet seperti ini jelas lebih hebat dari pasangan Batman and Robin yang sukses menghancurkan kejahatan di Gotham City.

Kalau membuat saya ga bisa melayani dan semakin jauh dari Tuhan, jauh dari kebahagiaan, serta jauh dari damai sejahtera yang sejati, untuk apa saya menikah? Lebih baik dengan sabar menanti meskipun usia sudah merambat mendekati tamat. Sambil menanti pasangan duet akbar itu, saya punya waktu yang lebih banyak untuk berkonsentrasi melayani dan membentuk karakter Kristen sejati sebagai bentuk persiapan membangun keluarga Kristen yang memuliakan Tuhan. Kalau sudah menikah sudah agak terlambat untuk melakukannya karena waktu sudah harus diatur dengan ketat untuk keluarga dan pelayanan. Sekarang adalah waktu yang terbaik. Itu sebabnya saya punya semboyan yang terinspirasi dari buku Lady in Waiting oleh Jackie Kendall dan Debbie Jones yaitu: “Menjadi yang terbaik bagi Allah di dalam penantian!” Ini adalah alasan utama mengapa saya tetap tenang di tengah tekanan lingkungan yang mewajibkan saya untuk segera menikah. Ini jugalah yang menguatkan saya untuk tidak sembarangan pilih PH karena dianggap sudah waktunya atau bahkan sudah basi untuk menikah.

Jadi, saya sangat tidak setuju konsep degradasi/penurunan standart pernikahan berdasarkan umur. Orang bilang kalau masih remaja dengan sombong seseorang bisa berkata: “siapa kamu?” ketika ada orang yang menyatakan cinta. Kalau sudah pemuda dan masih ok fisiknya: “siapa, saya?” Dan kalau sudah diatas 30-an: “siapa saja.” Discount, obral, gratis, berhadiah lagi. Itu salah banget.

Emang sih secara fisik menikah di usia di atas 30-an dianggap beresiko. Akan tetapi, bukankah panggilan Tuhan lebih penting daripada cita-cita manusia, persekutuan dengan Tuhan adalah lebih tinggi daripada pernikahan manusia, kepuasan Tuhan lebih utama daripada kepuasan kita? Semakin tua, standart saya mengenai PH malah semakin tinggi. Bukan soal fisik, materi, ataupun suku; melainkan kesesuaian, kesepadanan, dan kesatuan dalam melayani Tuhan.

Dan sekarang, saya berharap Firman Tuhan ini dan pengalaman pribadi saya dapat menjadi berkat dan menguatkan saudara—baik yang udah punya pacar ataupun yang belum; yang sedang PDKT atau yang sudah merencanakan untuk segera duduk di pelaminan; yang masih ileran soal pacaran, udah menikah, atau yang udah cerai dan mau merit lagi. Mari kita terus mengingat bahwa pacaran atau pernikahan itu bukanlah panggilan naluri/panggilan alam/takdir, bukan kewajiban sejarah supaya punya keturunan yang meneruskan nama sebuah keluarga, bukan supaya dapat sahabat sehingga ada yang ngurus dan buat kita ga kesepian, bukan juga sebagai pemuasan nafsu seksual.

Pacaran dan pernikahan adalah anugerah dan panggilan Allah sehingga harus sesuai dengan tujuan Allah mula-mula ketika merancang manusia berpasangan yaitu:
1. Untuk kebaikan kita.
2. Untuk kemuliaan Allah.

Ini adalah panggilan umum. Akan tetapi ingat, ada panggilan khusus yaitu untuk tidak menikah. Itu sebabnya tidak semua orang menikah. Panggilan khusus yang disebut selibat tersebut hanya berlaku untuk yang mendapat anugerah untuk membaktikan sepenuh hidupnya buat Tuhan. Bukan karena merasa ga punya PH akibat terlalu pilih-pilih dan menutup diri (kalo ngerasa udah ketemu calon yang sepadan dan setujuan: merit? siapa takut?). Ingat, titik maksimal kebahagian hidup bukanlah pernikahan; melainkan damai sejahtera yang terjadi karena adanya keselarasan kehendak kita dengan kehendak Allah.

Oleh karena itu yang udah punya pacar atau lagi PDKT jangan terlampau bahagia dan terlena hingga lupa bergumul, berdoa untuk menanyakan kehendak Tuhan. Yang JOJOBA (jomblo-jomblo bahagia) dan yang JOLJOTA (jomblo-jomblo menderita) jangan minder dan putus asa. Tetap buka mata baik-baik untuk melihat dan mengamati. Tetap melipat tangan dan berdoa untuk melibatkan Tuhan. Tetap buka telinga hati untuk mendengar kehendak Tuhan dan bersiap untuk taat apapun itu. Tetap asah kepekaan untuk kenali damai sejahtera Allah di antara perasaan-perasaan pribadi. Dan akhirnya, jadilah wanita atau pria yang terbaik bagi Allah dalam masa penantian.

Tuhan sudah berjanji dalam:
Matius 6:33
Jangan kuatir, carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semua itu akan ditambahkan kepada-Mu.
Ulangan 28:1-14
Jika kita baik-baik mendengarkan suara Tuhan dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya, maka segala berkat termasuk PH akan diberikan dan menjadi bagian kita.


Soli Deo Gloria