Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Rabu, 29 Desember 2010

SESEDERHANA ANTARA AKU DAN DIA

Setiap kali ngerayain natal, gua kudu siap juga mengingat kejadian gua ada di dunia. Setelah beranjak dari usia lima tahun, gua ga bener-bener memperingati seperti yang gua lakuin buat orang lain. Bahkan sweet seventeen yang diidam-idamkan cewe buat reramean malah gua lewatin totally alone di rumah sambil makan indomie (abis ga ada yang laen). 27 Desember selanjutnya kebanyakan dilewatin dengan sederhana. Sesederhana antara aku dan DIA. Sayangnya, gua ga sempet lakuin tradisi ini pada 27 Desember 2010 karena berbagai aktifitas dan kondisi yang membuat ga bisa menghindari orang lain.

Akhirnya, datang juga kesempatan yaitu tepat dua hari setelah hari 'H'. Sendiri, tanpa kue (ada dikasih orang, tapi ga ikutan makan), tanpa tiup lilin (ada beberapa perayaan kecil yang diadakan, tapi gua minta orang lain buat niupnya), tanpa ritual make a wish, tanpa kado, tanpa orang-orang terkasih. Mungkin bagi Elo, ulang tahun begini nampak sangat menyedihkan. Gua ga siapin apa-apa buat diri sendiri, selain hati yang siap diuji. Bisa dibilang, ini adalah sebuah bentuk asah karakter. Tahun depan pengen bisa melepas ego besar-besaran. Harus siapin diri karena ada beberapa kenyamanan yang bakal gua lepas demi sebuah mimpi. Dan, inilah hasil perayaan sederhana itu yaitu sesederhana antara aku dan DIA.

Raga ini ada karena DIA
Maka layaklah mengingat keberadaanku dengan-Nya
DIA menyebut diri sebagai HAMBA
Maka aku adalah hamba dari SANG HAMBA
Tak banyak bicara, namun terus berkarya
Selalu memberi, bukan menerima
Siap bayar harga demi sebuah visi mulia
Sanggupkah aku meneladani-Nya?

Rasa ini tercipta oleh DIA
Maka layaklah kutumpahkan hanya kepada-Nya
Dia mengosongkan diri dan rela tanggung sengsara
Maka aku adalah murid sekolah derita
Tak berharap pembelaan manusia
Siap dilupakan dan dipandang sebelah mata
Tak mudah menjadi kecewa dan terluka
Sanggupkah aku dengan setia menanggungnya?

Malam ini adalah hari terakhir di tahun 2010 untuk menangisi diriku
Esok kan siap tinggalkan masa lalu
Songsong masa depan tanpa sedikitpun ragu
Karena kuyakin tak sendirian melaju

Sesederhana antara aku dan DIA, simple namun menguatkan. How great is THE LORD!

Kamis, 23 Desember 2010

NATALKU BERSAHAJA: KETAATAN DI TENGAH KESUSAHAN


Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38)

Dua natal sudah kulalui di Bandung. Keduanya sangat kreatif, meriah, dan tentu saja mewah. Namun, ada yang berbeda pada natal kali ini. Di satu sisi, ada rasa senang melihat anak-anak muda yang begitu antusias mengasah talenta. Juga kunikmati gegap-gempita dan warna-warni karnaval natal. Namun jujur, semua itu sungguh melelahkan. Maka, kuputuskan menepi sejenak dari segala hingar-bingar interaksi dengan manusia dan juga dari kesibukan alam pikiran.

Entah kenapa yang muncul dibenak ini pertama kali adalah sosok Maria. Ia seorang perempuan belia yang aku perankan di atas panggung, 20 Desember 2010. Sekonyong-konyong kulihat diriku di kesunyian malam yang kudus. Aku termenung di jendela dengan mata menatap jauh ke langit, menembus kepekatan malam yang bertabur gemerlap bintang. Tidak hanya menikmati keindahannya; namun mengumbar angan dan menebar mimpi.

"Oh Tuhan, sungguh jauh rinduku tuk dapat dicapai!" Aku berteriak lagi dalam hati, "Tuhan, beri aku sepasang sayap tuk mengejarnya!" Kujulurkan tangan lagi ke luar jendela hendak menggapai sebuah bintang. Lalu, meleleh air mataku. "Ah, tak dapat kumeraihnya. Aku lelah menanggung semua beban yang membuatku menapak di bumi. Ingin segera kutanggalkan dan pergi menari-nari dengan sang mimpi."

Saat itulah kudengar sebuah suara lembut, namun begitu hangat. "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau!" Kutengadahkan wajah mencari asal suara yang menentramkan hati itu; namun tetap tak terlihat. Ketakutan mulai merayapi nyali. Namun suara itu kembali menggema, "Jangan takut, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya, Allah telah berkenan membagikan hati-Nya dalam hatimu, menaruhkan firman-Nya dalam mulutmu, dan menyuntikkan kekuatan-Nya pada ragamu untuk menunaikan tugas mulia tertentu."

Maka jawabku, "Bagaimana mungkin, karena aku hanya manusia sederhana yang sering dipandang sebelah mata. Kemampuanku diragukan, usahaku tak dihargai, keberadaanku diabaikan." Jawabnya, "Immanuel! Allah besertamu, takkan tinggalkanmu!" Hatiku berdegub kencang bagai diserang cinta pada pandangan pertama. Bibir ini ingin berucap seperti Maria. "Sesungguhnya aku ini ham...." Kucoba namun tak sanggup. Fiat Maria ini terlalu berat. "Tidakkah Engkau mengerti kesusahanku?" tanyaku sambil berusaha membenarkan diri. Ia berkata lagi, "Immanuel! Allah besertamu, takkan tinggalkanmu!" Ah, degub itu kembali terasa dan bahkan semakin kencang. Dengan sisa kebebalan terakhir, kumenjerit sambil tersungkur di lantai nan dingin. "Aku tak sanggup. Terlalu pahit. Ijinkan aku melepas kuk dan mereguk kebebasan!" Sekali lagi dengan sangat lirih suara itu berkata, "Immanuel! Allah besertamu, takkan tinggalkanmu!"

Kini kehedakku tak dapat lagi menolak harmoni dengan kehendak-Nya. Ini natalku yang bersahaja. Kubelajar ketaatan di tengah kesusahan. Entah apa yang terjadi di depan. Ku mulai disanggupkan berkata, "Sesungguhnya aku ini ham..., ham..., hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Immanuel!

Selasa, 21 Desember 2010

IBUKU, PAHLAWAN IMANKU


1Timotius 1:5

Kebahagiaan seorang wanita seringkali diidentikkan dengan perannya menjadi seorang ibu. Itu sebabnya seorang wanita akan merasa lengkap jika ia telah melahirkan, merawat, mendidik dalam sekolah formal, menyaksikan ia mejadi seorang yang sukses dalam pekerjaan, menikah, dan menghasilkan para penerus keluarga. Akan tetapi, benarkah tugas dan kebahagiaan seorang ibu hanya sampai di situ saja? Kelahiran seorang anak dari buah kandungan seorang wanita memang adalah sebuah anugerah yang membawa kebahagiaan. Akan tetapi, anugerah yang membawa kebahagiaan sejati adalah ketika seorang ibu dapat memberikan warisan iman yang menghantar sang anak menjadi sukses di mata Tuhan.

Anugerah ini pernah dikecap oleh anak-beranak dalam keluarga Timotius. Ia adalah seorang anak yang lahir dari perkawinan campuran. Ibunya seorang Yahudi, sedangkan ayahnya seorang Yunani. Ia adalah seorang muda yang sukses di mata Tuhan karena telah dipilih oleh Paulus untuk menjadi teman seperjalanannya. Ia dipercayai untuk melakukan pelayanan-pelayanan yang tidak mudah (1Kor 4:17). Ia juga dikenal mempunyai iman yang tulus iklas, bukan pura-pura (ay. 5). Dari manakah Timotius mempunyai iman yang seperti itu? Iman memang berasal dari Allah. Namun, Allah juga menganugerahkan iman melalui alat-Nya. Begitu juga dengan Timotius. Imannya yang murni ternyata diwariskan mula-mula dari neneknya (Lois) kepada ibunya (Eunike) dan kemudian dari sang ibu kepada Timotius.

Proses mewariskan iman tersebut juga tidak mudah. Eunike yang menikah dengan seorang kafir tidak dengan begitu saja meninggalkan imannya hanya karena cinta. Ia tetap bertahan walau mungkin tidak mudah hidup dengan orang yang memiliki kebenaran yang berbeda. Ia tidak hanya mempertahankan imannya, melainkan juga mengajarkannya. Sebagai seorang ibu, Eunike memiliki peran yang benar. Ia tidak pernah berkata, “Mari kita membesarkan Timotius secara netral saja dan biarlah ia memutuskan imannya setelah cukup umur.” Keteguhan Eunike untuk mewariskan iman yang benar kepada Timotius adalah salah satu alasan yang membuat Timotius sukses di mata Tuhan.

Di bulan Desember ini kita merayakan hari ibu. Kiranya di hari yang spesial buat para ibu ini, para anak diingatkan kembali akan kasih seorang ibu yang besar, bukan karena ia mewariskan harta yang berlimpah dan memberi kasih yang memanjakan; melainkan karena memiliki dan mewariskan iman yang sejati kepada Allah yang benar. Selamat hari ibu kepada Mamaku tersayang, Lidyawati. Terima kasih untuk sebuah warisan iman, walau engkau tak pernah lulus Sekolah Dasar. Terima kasih karena di masa lampau Mama telah mengantarku ke Sekolah Minggu, juga memberi teladan doa dan baca Alkitab secara rutin. Akhirnya, selamat hari ibu kepada semua ibu yang berbahagia karena imannya.

Doa: Bapa di surga, terima kasih kami panjatkan untuk seorang ibu yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkan kami. Terima kasih untuk setiap derita, tetesan keringat, pengorbanan, dan air mata Ibu, yang karenanya kami beroleh warisan iman kepada-Mu. Ampuni kami jika selama ini tidak atau belum dapat memperlakukan ibu kami dengan benar karena telah menyepelekan warisan iman yang Engkau percayakan kepadanya.

JANGAN BIARKAN HAMBA BESAR KEPALA


Pedih...
Dihujani hujatan namun tak sanggup merintih
Langkahku kini tertatih-tatih
berjuang untuk bangkit dengan gigih

Tuan, sungguh hamba telah berusaha
Tetap berharap lewati semua asal Engkau beserta
Namun, pahit kenyataan terus-menerus menorehkan luka
Tolong, jangan biarkan hamba besar kepala

Berilah tanda yang telah lama hamba pinta
Kekuatan menimbang, mengambil putusan dengan hati lega
Tuntun kaki ini melangkah menjemput impian yang mana
Dan tolong, jangan biarkan hamba besar kepala

Tak mampu lagi hamba-Mu ini berkata-kata
Pandangan semakin kabur dibanjiri air mata
Hukum, hukumlah, hamba pasti kan terima
Asal, jangan biarkan menjadi besar kepala

Bandung, 19 Desember 2010

Rabu, 01 Desember 2010

MANA BOLEH ADA KETIDAKPUASAN? SEBALIKNYA, BERSYUKURLAH DALAM SEGALA KEADAAN

Akhir-akhir ini banyak ketidakadilan melintas dan bahkan membekas. Segala usaha untuk memperoleh bantuan dan perhatian manusia selalu kandas. Apalah daya karena memandang muka adalah ciri kental dunia, termasuk para pemuka yang di atas. Fakta membuat dirasa sah-sah saja untuk tidak puas.

Namun, hari ini muncul teguran dari sebuah pemandangan berharga. Di tengah guyuran hujan yang membasahi tubuh, terlihat sosok kumal wanita tua. Menadahkan gelas yang biasa dipakainya meminta-minta sedekah untuk menampung air hujan yang meluncur deras dari atap rumah tetangga. Hati berdebar menanti apa yang ia lakukan dengan itu semua.

Benarlah praduga bahwa ia meneguk air kotor kucuran atap demi menghilangkan lapar dan dahaga. Lagi-lagi rasa ngilu menyerang di dada. Hati luluh diingatkan bahwa tak seharusnya mudah terganggu dengan segala yang berkaitan dengan 'saya'. Setiap 'saya' yang mendapat limpahan kasih karunia seharusnya tahu panggilannya bagi kaum papa.

Ampuni hamba yang lengah, wahai Tuan. Terima kasih telah memberi sebuah peringatan. Mohon kekuatan penuh ketaatan untuk berkata kepada 'saya', "Mana boleh ada ketidakpuasan? Sebaliknya, bersyukurlah dalam segala keadaan!"

Selasa, 30 November 2010

SELANGKAH MAJU, SOBAT MUDAKU! ^^


"... Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." Filipi 2:3-4

Minggu, 28 November 2010 adalah moment yang perlu dicatat disini. Tiga dara yang manis dan cantik menapak selangkah keluar dari kotaknya. Gua tahu rasanya, Sobat mudaku. Ga nyamannya mengenakan rok yang membatasi gerak lincah kita. Ga demennya ngerasa terbatas, lemah dan centil dengan kain ringan, terbuka, dan melayang-layang itu. Sebaliknya, betapa serunya bertomboy-ria. Melanggar setengah batas kelemah-gemulaian demi menghirup kebebasan berekspresi. Bertahun-tahun gua tenggelam dalam kenikmatan itu.

Tentu itu tidak salah, Sobat. Toh, hidup ini adalah pilihan. Bagaimanapun kekaguman gua tetap mekar dalam relung-relung hati ini. Itulah saat engkau rela meninggalkan sejenak kenyamananmu sebagai hadiah kasih bagi seorang Kakak Rohani, Bapak Guru, dan Sobat gila-gilaan kita. Yah, itu pantas ia terima karena kasihnya, kebaikannya, dan sebagainya sesuai yang kau rasa. Kasihmu kepadanya sungguh luar biasa.

Bangga tentu saja tidak membuat gua lupa kebenaran. Gua berharap suatu saat nanti engkau tahu alasan yang benar dan sesuai mengapa kaum kita harus "demikian". Namun, fakta tetap fakta. Engkau tetap telah selangkah maju, Sobat mudaku!

Selasa, 23 November 2010

COBA SELAMI DERITA KORBAN MERAPI, DAPATI KETERBATASAN DIRI


Melihat Indonesia tak henti ditimpa bencana fisik dan moral, hati ini ikut miris-teriris. Gua berpikir pasti ada sesuatu yang bisa dikerjain untuk negeri tercinta, selain berdoa (bukan berarti berdoa itu tidak melakukan sesuatu loh). Makanya waktu ada seorang pemuda yang share mengenai keberangkatannya menjadi relawan kecil-kecilan di daerah bencana, jujur gua iri banget. Gua merasa raga ini bakalan terus-terusan terpenjara dalam cangkang kenyamanan pribadi dan tembok tebal gereja mewah, sementara ada saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang merana dihajar bencana.

Tapi,TUAN yang kuasa ternyata maha tahu dan maha pemurah. Diberinya sebuah kairos dalam kronos hidup gua. Berkat hati kasih umat, akhirnya gua pergi juga melawat wilayah letusan merapi. Dengan antusias, gua mendobrak batasan-batasan diri yaitu hal-hal yang gua ga demen antara lain: kelemahan fisik akibat menstruasi, naik mobil, duduk berlama-lama, panas, keringatan, debu, pakai masker, dan waktu persiapan pelayanan yang singkat.

Dua hari semalam, satu tim terdiri dari tujuh orang berpetualang makin mendekati merapi. Menatap ngeri gumpalan debu yang konon berpartikel tajam sekaligus beracun. Menganga lebar menyaksikan patahan-patahan pepohonan dan kerusakan materi. Mengelus dada mendengar kisah derita para korban. Ngilu sekali dada ini menyaksikan sejumlah anak-anak dengan tubuh bermandi debu merapi.

Tadinya, gua pikir dengan mempersiapkan pelayanan yang menghibur (children care) dan membawa bantuan logistik sudah cukup untuk mengurangi derita para korban. Pertanyaannya adalah ada berapa banyak korban yang sanggup ditolong dengan sejumlah dana yang telah dikumpulkan? Jawabannya udah pasti terbatas. Bukankah para korban tidak hanya menjalani waktu sekarang ini saja? Ada masa depan yang harus mereka jalani bersama keluarga, namun tanpa tempat tinggal, tanpa pekerjaan, tanpa harapan. Moral seperti apa yang sedang ditanamkan kepada para korban dengan pemberian bantuan? Kebergantungan terhadap belas-kasihan atau kegigihan menghadapi persoalan? Apakah cerita petualangan si Bundut (burung gendut bersama Bu Awan, Pak Matahari, Pak Gunung) dapat menghapus trauma akibat bencana?

Pertanyaan-pertanyaan yang ada menyingkapkan sebuah realita keterbatasan diri. Mau ga mau gua berkata pada diri sendiri, "You are not a hero! Jangan pernah berbangga karena telah menghirup debu merapi! Jangan pernah merasa telah cukup berkorban demi sesama! Apa yang Elo lakuin ga akan pernah cukup karena hanya Sang Pencipta yang sanggup!"

Gua pulang dengan kepala tertunduk. Gua putuskan untuk tidak memikirkan apa yang ga bisa gua kerjain? Fokus ini harus segera dialihkan pada apa yang bisa gua kerjain. Gua emang ga sanggup menanggung derita negeri ini sendirian. Tapi, mungkin gua bisa turut berperan serta mencetak anak-anak muda yang cinta Indonesia, anak-anak muda yang ga menganggap merah-putih dan garuda pancasila sebagai aksesoris yang 'cupu', anak-anak muda yang mau bertekuk lutut menaikkan doa bagi bangsa, anak-anak muda yang berpadu mengusap air mata ibu pertiwi. I'm not a hero. But, I can fight to create some. Alangkah indahnya tidak berjuang sendirian.


Kamis, 11 November 2010

INTEGRASI IMAN DALAM IBADAH (SIKAP HIDUP PENATALAYAN)


Roma 12:1-2

Topeng kaca adalah drama yang menceritakan tentang Kitajima Maya, seorang gadis kecil yang mempunyai seribu topeng. Yang dimaksud dengan topeng ini adalah topeng untuk memerankan berbagai macam tokoh. Maya adalah seorang gadis mungil yang berasal dari keluarga miskin, tidak cantik, polos, dan bahkan ceroboh. Ia punya seorang ibu yang berjualan mie dan selalu sakit-sakitan. Sejak kecil sudah biasa menjalani kehidupan yang sangat keras karena ia tidak bisa melakukan apa-apa selain akting. Itu sebabnya, ia berusaha keras untuk menjadi seorang aktris diatas panggung. Maya sebenarnya sangat berbakat, namun perjalanan jadi artis itu ternyata sangat tidak mudah karena seorang artis atau pemain drama selalu hidup dengan topeng kaca.

Disebut topeng karena seorang artis harus siap memerankan banyak karakter tokoh yang tidak sesuai dengan karakternya sendiri, mengekspresikan berbagai emosi yang bukan milik mereka. Topeng itu bagai terbuat dari kaca karena karakter dan emosi yang dikenakan di atas panggung itu sangat tipis, tembus pandang, dan rentan alias gampang retak. Ketika pribadi dan emosi terganggu atau tak terkontrol, topeng mereka akan retak, akting mereka terganggu karena perasaan pemain yang sesungguhnyalah yang akan keluar. Contohnya, suatu saat Maya Kitajima diminta memerankan sebuah boneka. Karena bakatnya, ia menghayati peran itu dengan luar biasa sehingga penonton mengira bahwa boneka yang diperankannya itu adalah boneka sungguhan, bukan manusia yang menjadi boneka. Akan tetapi, pada saat Maya mulai memikirkan ibunya yang sekarat, topeng kacanya pecah karena ia meneteskan air mata kesedihan. Tidak mungkin sebuah boneka dapat menangis bukan? Bagi gurunya, ia adalah aktris yang gagal. Itu sebabnya integrasi antara peran dan pemeran itu sangat penting.

Integrasi: [n] pembauran hingga menjadi kesatuan yg utuh atau bulat. Integrasi antara peran dan pemeran membuat seorang aktris melupakan dirinya dan secara total menjadi seperti perannya agar aktingnya dapat memikat dan memesona audience.

Saya pikir integrasi yang sama harus terjadi pada kita, sebagai orang percaya. Kita memang tidak memakai topeng kaca. Tapi, kita dikatakan bagai hidup di akuarium kaca. Artinya, hidup kita (menyangkut seluruh keberadaan diri kita, apa yang kita lakukan, katakan, pikirkan, rasakan, putuskan akan disaksikan dan dinilai audience.

Ada dua audience, yaitu yang tidak kelihatan (Tuhan) dan yang kelihatan (sesama). Audience pertama adalah Tuhan, yaitu SUTRADARA Agung, yang memberikan peran kepada hidup kita agar disaksikan oleh audience kedua, yaitu sesama kita. Untuk itulah diperlukan sebuah integrasi iman dalam hidup. Iman menyatakan hubungan kita dengan Tuhan dan itu harus dinyatakan kepada sesama kita.

Inilah yang dinyatakan oleh Paulus dalam firman yang kita baca tadi. Setelah Paulus menjelaskan tentang doktrin-doktrin penting iman Kristen (pasal 1-11), yaitu:
1. Manusia berdosa dan menerima hukuman murka Allah (pasal 1-3).
2. Allah mengasihi sehingga manusia dibenarkan karena iman kepada Yesus (pasal 3-10).
3. Predestinasi Allah atau konsep umat pilihan (pasal 11).
Maka di ayat 12, yang sudah kita baca tadi, Paulus langsung mengaplikasikan semua doktrin iman ini dalam spiritualitas Kristiani (praktik kerohanian Kristen). Aplikasi ini merupakan sebuah praktek iman, yaitu suatu ungkapan syukur anak-anak Tuhan sejati setelah mereka diselamatkan dan mengerti kedaulatan dan anugerah-Nya. Praktik iman tersebut diawali dengan sikap ibadah sejati kepada Tuhan.

Apa itu ibadah? Apakah ibadah identik dengan pergi ke gereja dan melayani saja? Tidak. Ibadah sejati bukan ibadah fenomenal (momen atau situasi tertentu), tetapi ibadah esensial (penting atau dasar). Ibadah inilah yang diajarkan Paulus mulai pasal 12 s/d 16 sebagai aplikasi atau respon secara praktis dari iman orang percaya.

Dua ayat pertama pada pasal 12 diawali dengan pengajaran penting Paulus tentang konsep ibadah sejati. Di ayat 1, Paulus memaparkan, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Dalam ayat ini, Paulus mendesak jemaat Roma untuk melakukan ibadah sejati. Dalam bahasa aslinya, nasihat ini diartikan sebagai sebuah nasihat yang penting karena diberikan demi kemurahan Allah. Kemurahan Allah bisa diterjemahkan sebagai belas kasihan Allah. Jadi, Paulus ingin menasihati jemaat Roma agar mereka beribadah secara benar kepada Allah, dengan mengingat belas kasihan-Nya yang telah memilih dan menetapkan mereka sebagai anak-anak-Nya.

Hal ini juga berlaku bagi kita saat ini. Mari mengingat bahwa Tuhan juga telah menyelamatkan kita dari maut. Oleh karena itu, biarlah kasih setia dan belas kasihan-Nya ini mendorong dan memimpin langkah hidup kita untuk makin memuliakan Tuhan selama-lamanya.

Lalu, nasihat penting apa yang diberikan Paulus? Paulus memberikan beberapa konsep penting tentang ibadah yang sejati:

Pertama, ibadah sejati adalah ibadah totalitas. Dikatakan bahwa ibadah sejati bukanlah ibadah fenomenal, atau ibadah pertunjukan. Artinya, kita bukan cuma kelihatan aktif di berbagai kegiatan gereja. Ibadah sejati adalah ibadah totalitas yang menyeluruh di dalam seluruh aspek hidup kita sehari-hari. Paulus di dalam ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup. Kata “mempersembahkan” dalam bahasa aslinya adalah kata kerja dalam bentuk aktif. Berarti, ibadah sejati adalah ibadah yang terjadi ketika kita secara aktif mempersembahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Itulah arti berserah total. Berserah adalah kita berani menyerahkan seluruh hidup kita dikuasai oleh Kristus sebagai Tuhan, Raja, dan Penguasa dari hidup kita. Ketika kita menyerahkan hidup, kita juga harus berani menyesuaikan hidup kita dengan kehendak Tuhan. Artinya, kita siap melupakan/menyangkal diri, seperti aktris profesional yang melupakan dirinya dan melebur dengan peran yang TUHAN kehendaki. Ketika kita berserah, di saat yang sama kita menyangkal diri untuk mengatakan tidak kepada kehendak kita dan mengatakan ya kepada kehendak-Nya.

Saya pernah mengetahui ada seseorang yang aktif terlibat melayani sebagai pemusik di komisi Pemuda. Ia dikenal begitu aktif melayani di gereja. Tapi, di luaran dia dikenal sebagai pemakai narkoba dan bahkan berani melakukan sex dengan pacarnya sebelum menikah. Itu artinya, ia tidak sepenuhnya berserah pada Tuhan. Ia hanya berikan dirinya waktu di gereja, selebihnya tidak. Ia hanya menuhankan Allah di gereja, selebihnya tidak.

Pertanyaannya, apakah selama ini pelayanannya dapat jadi berkat, padahal imannya tidak terintegrasi total dalam hidupnya atau ibadahnya? Kalau dilihat secara kasat mata, kemampuannya yang hebat memang membuat orang menikmati ibadah. Bisa jadi Tuhan pakai pelayanannya untuk jadi berkat buat orang lain. Akan tetapi, benarkah Tuhan ada dalam pelayanannya? Apakah pelayanannya berkenan di hadapan Tuhan? Nasihat Paulus tadi walaupun ditulis untuk jemaat Roma, namun sebenarnya lebih ditujukan untuk pribadi demi pribadi. Karena ibadah selain bersifat komunal, juga bersifat personal sehingga ibadah yang sejati adalah ketika Tuhan ditinggikan, baik secara komunal maupun personal. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa hanya menuhankan Allah di gereja, tapi tidak dalam hidup kita.

Ingat, fungsi pelayanan dalam ibadah adalah membawa orang lain untuk berjumpa dengan Tuhan. Jadi, bisakah seseorang yang dalam kehidupan pribadinya berperilaku semaunya sendiri dan tidak menganggap Tuhan itu ada dalam hidupnya, kemudian mau mengajak orang lain untuk berjumpa Tuhan dalam ibadah di gereja? Bisa kalau tidak ketahuan atau jemaatnya sudah dewasa secara rohani. Ingat, kita bisa jadi berkat sekaligus batu sandungan buat orang lain ketika mereka melihat hidup kita.

Jadi, sebagai pelayan-pelayan ibadah... kitalah yang pertama-tama jadi teladan mengenai ketundukan pada Tuhan, menjadi teladan mengenai relasi yang indah dan intim dengan Tuhan, menjadi teladan mengenai kebergantungan penuh kepada Tuhan. Sehingga kita bukan jadi pelayan-pelayan yang munafik atau NATO, supaya jemaat juga akan merasakan keindahan ibadah dengan TUHAN dan ibadah kita tidak sia-sia. Itu sebabnya selain latihan persiapan ibadah, kita perlu mempersiapkan diri dengan menjaga hidup. Ini juga berkaitan dengan esensi ibadah sejati yang kedua.

Kedua, ibadah sejati adalah ibadah yang kudus. Bukan saja sebagai persembahan yang hidup, Paulus juga menasihatkan jemaat Roma agar mereka mempersembahkan tubuh mereka sebagai persembahan yang kudus. Kudus berarti dipisahkan (separated) atau menjadi berbeda dengan dunia ini (ay. 2). Artinya, standart dari hidup kudus bukanlah hukum dunia ini, apalagi diri kita sendiri. Ingat, hidup kita telah ditebus sehingga bukan menjadi milik kita pribadi. Tuhan yang berhak atas hidup kita. Dari sejak semula memang demikian. Tapi, bukan berarti semua hukum di dunia ini tidak benar. Yang pasti, hukum yang benar tidak akan bertentangan dengan kebenaran Allah bukan? So, firman ini menunjukkan bahwa Roh Kudus yang telah menguduskan hidup kita, juga menuntut kita untuk mempersembahkan tubuh untuk dipakai bagi kemuliaan Tuhan.

Suatu ketika setelah sharing firman mengenai kekudusan hidup, ada yang berkata begini, “Karena saya belum bisa hidup kudus maka saya tidak mau melayani.” Sepertinya baik yah? Saya kemudian bertanya kepadanya, kira-kira kapan kamu akan menjadi kudus dan siap melayani? Dia ga bisa jawab karena faktanya kita ini sudah, sedang, dan akan dikuduskan. Artinya, di dalam hidup ini kita selalu akan memperjuangkan untuk hidup kudus. Bukan berarti jadi alasan untuk sengaja tidak kudus. Akan tetapi, pelayanan yang powerful adalah ketika kita dalam keadaan selalu berjuang untuk hidup kudus dalam segala aspeknya.

Artinya, kita telah mengalami sebuah proses yang layak dibagikan dan dipancarkan dalam pelayanan kita. Kita pribadi punya pengalaman rohani dengan TUHAN sehingga pelayanan kita akan menjadi hidup. Jika pelayanan kita hidup maka itu akan menjadi konsep yang ketiga, yaitu:

Ketiga, ibadah sejati adalah ibadah yang menyenangkan Allah. Nasehat Paulus mengenai ibadah yang sejati bukan hanya mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup dan kudus; melainkan juga yang berkenan kepada Allah. Kata “berkenan” dalam bahasa aslinya diterjemahkan sebagai menyenangkan Allah, dapat diterima Allah, atau memuaskan Allah.

Bagaimana ibadah bisa dikatakan menyenangkan Allah? Ibadah bisa menyenangkan Allah ketika ibadah dilakukan (baik di gereja ataupun kehidupan sehari-hari) bukan memuliakan diri, tetapi memuliakan Tuhan (God-centered worship). Sebaliknya, yang tidak menyenangkan Allah adalah ibadah yang memuliakan diri. Ibadah demikian adalah ibadah yang menggunakan segala cara untuk menyenangkan diri sebagai objek dan subjek ibadah. Ini dilakukan oleh orang-orang kafir pada zaman itu. Mereka biasa beribadah untuk mencari keuntungan sendiri.

Itu sebabnya, Paulus menunjukkan kepada jemaat Roma mengenai ibadah yang berbeda, yaitu yang berpusat pada Allah, yang menyenangkan dan memuliakan Dia saja (Soli Deo Gloria). Bukan hanya ibadah kita saja yang menyenangkan Allah, melainkan juga pelayanan kita. Di sinilah kita diingatkan untuk selalu menyelidiki motivasi pelayanan kita sedalam-dalamnya... apakah untuk menyenangkan diri sendiri atau untuk TUHAN semata.

Lalu, bagaimana kita menjalankan ibadah dan pelayanan yang memuliakan Tuhan? Ada sebuah slogan terkenal dari Rev. Dr. John S. Piper, “God is most glorified in us when we are most satisfied in Him.” Artinya, Allah paling dimuliakan di dalam kita ketika kita dipuaskan di dalam-Nya. Kata kita dipuaskan tidak berarti kitalah pusat ibadah. Dr. Piper menegaskan bahwa Allah itu paling dimuliakan di dalam kita BUKAN ketika kita (merasa) dipuaskan saja, tetapi ketika kita dipuaskan di dalam Dia.
Artinya, pertama-tama kita yang dipuaskan dengan hadirat Allah. Allah itu sebagai sumber kepuasan mutlak, yang di dalam-Nya, kita menemukan anugerah, belas kasihan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dll.

Hanya di dalam Dia saja kita semakin memuliakan-Nya. Ini mirip dengan apa yang dikatakan dalam Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 yang mengajar bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya. Jadi, ibadah dan pelayanan yang memuliakan Allah adalah ibadah dan pelayanan yang menikmati Allah.

Bagaimana menikmati Allah? Apakah itu seperti sedang pakai ekstasi yang membuat kita tidak sadarkan diri? TIDAK! Menikmati Allah adalah menikmati Pribadi Allah dan firman-Nya dengan kesadaran penuh. Menikmati Pribadi Allah berarti ada suatu pengenalan yang mendalam tentang Pribadi Allah dan apa yang dikehendaki-Nya dalam firman-Nya. Jadi, ibadah dan pelayanan kita tidak akan pernah dapat menyenangkan Allah ketika tidak didasari oleh konsep firman Tuhan yang benar.

Sebagai bukti, ada banyak orang yang mengklaim diri sebagai orang yang melayani Tuhan, tetapi sayangnya tanpa mengenal Pribadi yang dilayaninya. Mereka sibuk melayani sebagai WL, singers, pemusik, usher, kolektan, VG, operator media, dll; tetapi tidak pernah baca Alkitab, saat teduh, berdoa, dan bahkan datang ibadah. Sebab fakta menunjukkan ada yang datang ke gereja kalau ada jadwal pelayanan saja. Kalau ga ada jadwal, ga tahu pergi kemana. Ada yang mau melayani supaya terkenal atau unjuk gigi (aktualisasi diri), supaya dapat pacar, supaya tidak nganggur, dan berbagai alasan pribadi lainnya. Jika demikian kapan kita akan menikmati Allah? Tanpa menikmati Allah semua yang kita lakukan adalah hampa karena jauh dari sumber sukacita, sumber damai-sejahtera, sumber kasih, sumber pengampunan, dan bahkan sumber hidup itu sendiri.

Saat ini, firman TUHAN mengajak kita semua untuk merombak konsep pelayanan kita. Ingatlah, ketika kita melayani Tuhan, perhatikanlah siapa yang kita layani dan kenalilah Pribadi yang kita layani itu melalui firman Tuhan. Pelayanan tidak bisa dilepaskan dari firman Tuhan. Pelayanan yang mengabaikan konsep kebenaran firman Tuhan adalah pelayanan yang sia-sia dan antroposentris (berpusat kepada manusia). Dan tentu saja, Tuhan muak dengan pelayanan tersebut, karena kita sebenarnya sedang melayani diri kita sendiri, bukan Tuhan. Itu artinya kita cuma bawa nama Tuhan atau pakai topeng orang Kristen, tapi sebenarnya Kristen palsu, Atheis praktis, karena iman kita tidak terintegrasi dalam hidup, ibadah, dan pelayanan kita.

Firman ini juga menjadi peringatan buat setiap kita yang melayani ibadah untuk sungguh-sungguh mengikut TUHAN secara total. Itulah integrasi iman dalam ibadah, yaitu tidak ada dualisme hidup. Hidup kita sama luar dan dalam, kapan saja, di mana saja, di hadapan siapa saja. Pokoknya total. Sebab kita hidup dalam TUHAN dan Ia hidup dalam kita. Semboyannya, apa sih yang engga buat TUHAN? I’ll neve give up and always fulfilling my heart with love. I’ll give my best until the time to rest. I’ll be faithful until Your grace is full. Artinya, kita tidak akan menyerah; melainkan selalu memenuhi hati kita dengan kasih-Nya. Tidak ada yang membuat kita berhenti memuliakan TUHAN dalam hidup ini, selain daripada kematian. Tetap setia sampai kasih karunia Allah benar-benar sempurna ketika TUHAN datang untuk kedua kali.

Wow, keren bukan? Kita bisa ngerasain kok. Jemaat bisa melihat dan merasakan bedanya. Yes, they do. Mereka akan terpikat dan terpesona dengan kemuliaan TUHAN di dalam dan melalui pelayanan kita. Mereka tidak dipuaskan hanya dengan jenis musik apa yang dimainkan, siapa yang melayani, gimana kerennya wajah kita atau suara kita, ada teman atau tidak, gimana gedung gerejanya; melainkan mereka akan dipuaskan hanya dengan kehadiran Tuhan dalam ibadah dan dalam pelayanan kita. Sebagai responsnya, mereka rindu ketika melangkah keluar dari gereja, hidupnya akan berubah dan bertumbuh seperti yang TUHAN inginkan. Itu tujuannya akhirnya. Peran kita adalah menginspirasi jemaat lewat ibadah sehingga hidup mereka juga jadi ibadah yang hidup, kudus, dan berkenan pada Allah. Pada saat itulah, Sang SUTRADARA drama kehidupan kita akan berdiri dan memberikan standing applause dan berkata, “Baik sekali perbuatanmu, Hai hamba-Ku yang baik dan setia. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan Tuanmu!” Maukah kita suatu saat mengalaminya? Amin and Soli Deo Gloria!

Selasa, 09 November 2010

KISAH TEMPAYAN RETAK: MENGENALI TUJUAN DAN KEBAIKAN TUHAN DALAM KELEMAHAN PARA PELAYAN


Ada kisah mengharukan mengenai tempayan retak. Kisah ini dimulai dari seseorang yang punya dua buah tempayan, yang dipikul di pundaknya dengan menggunakan sebatang bambu. Salah satu dari tempayan itu retak, sedangkan yang satunya tak bercela dan selalu memuat air hingga penuh. Setibanya di rumah setelah menempuh perjalanan panjang dari sungai, air di tempayan yang retak selalu saja tinggal separuh. Hal ini berlangsung setiap hari sampai dua tahun lamanya, yaitu si empunya tempayan selalu membawa pulang air hanya satu setengah tempayan. Tentunya si tempayan yang utuh sangat bangga akan pencapaiannya. Namun tempayan yang retak merasa malu akan kekurangannya.

Kegagalan itu akhirnya membuat dia berbicara kepada si empunya, “Aku malu, sebab selalu ada air mengucur sia-sia melalui bagian tubuhku yang retak di sepanjang jalan menuju ke rumahmu.” Si empunya itu tersenyum, “Tidakkah kau lihat bunga beraneka warna di jalur yang kau lalui, namun tidak ada di jalur yang satunya? Aku sudah tahu kekuranganmu, jadi aku menabur benih bunga di jalurmu dan setiap hari dalam perjalanan pulang kau menyirami benih-benih itu. Selama dua tahun aku bisa memetik bunga-bunga cantik untuk menghias meja. Kalau kau tidak seperti itu, maka rumah ini tidak seasri seperti sekarang ini karena tentulah tidak ada bunga.”

Kisah ini mewakili realita hidup kita di dunia. Saya pikir tidak ada satupun manusia yang sempurna, setidaknya akibat dosa mula-mula. Kelemahan, keretakan, keterbatasan, ketidakmampuan, kecacatan, baik jasmani maupun mental adalah natur hidup kita yang tak sempurna. Itu semua seringkali dipandang negatif oleh sebagian besar orang dan bahkan menjadi unsur penghambat besar bagi mereka yang melayani. Akan tetapi, seharusnya tidak demikian bagi orang percaya. Tuhan berkata, "Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.(Yes 55:8-9)." Ia bahkan menambahkan, "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yer 29:11)." Di sini kita melihat bahwa penilaian kita sungguh tak dapat jadi ukuran. Bagai si empunya tempayan yang merancang sesuatu yang berguna bagi si retak, demikian Tuhan punya rencana indah atas hidup setiap pelayan-Nya, termasuk dalam kelemahan-kelemahan sekalipun.

Kelemahan bahkan menjadi suatu kesukaan buat Tuhan. Dalam kelemahan para pelayanlah, kuasa-Nya justru menjadi nyata sempurna (2Kor 12:9). Daud yang masih muda dan kecil-mungil menumbangkan raksasa Goliat. Musa yang rendah diri membebaskan dan menuntun umat Tuhan ke tanah perjanjian. Anak kecil dengan lima roti dan dua ikan menjadi pahlawan bagi 5000 orang lebih yang sedang kelaparan. If He can use anything, He can use you and me.

Sekarang aku bersyukur untuk sebuah gigi gingsul di antara deretan gigiku, yang telah menambah manis senyumku selama ini.

Terima kasih buat lidahku yang tidak fasih berbicara. Jika semua fasih bicara, siapa yang akan menjadi pendengar?

Terima kasih untuk tubuhku yang tidak proporsional. Keberadaannya membuat size busana jadi lebih berwarna. Berbahagialah para pengguna size L, XL, dst. Wakakakak...

Terima kasih buat papa-mamaku yang sederhana karena itulah aku tumbuh menjadi seorang pejuang.

Buat papaku yang telah mendidik anak-anaknya dengan keras, berbanggalah di surga sana. Anak-anakmu dalam kelemahannya masih ada dalam "track" sampai saat ini adalah karena didikanmu, omelanmu, dan pukulan sayangmu.

Buat mamaku yang tak berpendidikan tinggi, berbahagialah di rumah sana. Anak-anakmu dalam kelemahannya masih ada dalam "track" sampai saat ini karena tak pernah kekuarangan kasih sayang, selalu cukup dukungan hingga tak perlu terobsesi mencari-cari kasih yang tak pasti.

Buat semuanya yang pernah menyakitiku, sengaja ataupun tidak, kalian adalah anugerah Tuhan yang luar biasa. Terima kasih pernah menjadi tatah dan palu. Walau sakit, tapi dipakai Tuhan untuk membentuk keindahan di dalamku.

Buat semuanya yang pernah kusakiti, sengaja ataupun tidak, maafkanlah aku yang lemah. Kelemahanku ini membuktikan bahwa hanya Tuhan saja yang hebat dan sempurna.

Terima kasih terbesar kupersembahkan bagi Tuhan yang tanpa kelemahan dan keterbatasan.

D.O.M

D.O.M \(*_^)/


Deo optimo maximo, often abbreviated D.O.M., is a Latin phrase that originally meant "to the greatest and best god", referring to Jove, when the Romans were polytheists : IOVI OPTIMO MAXIMO (I O M). Centuries later, after the Romans had become monotheists via the adoption of Christianity, the phrase was used in reference to the Christian God, and meant "To God, most good, most great." Its use continued long after the fall of Roman civilization via Europe's retention of Latin as a scholarly and ecclesiastical language. Thus the phrase or its abbreviation can be found on many Renaissance-era churches and other buildings, especially over sarcophagi, particularly in Italy. It is also inscribed on bottles of Bénédictine liquor.

Retrieved from "http://en.wikipedia.org/wiki/Deo_optimo_maximo"

D.O.M (DEO OPTIMO MAXIMO)


Dua tahun masa pelayanan sebagai fulltimer udah hampir selesai. Gua harus jujur bahwa emang bukan dua tahun yang mudah. Bukan salah orang laen kalo gua ngerasa blom maksimal jadi berkat buat mereka yang udah TUAN percayakan. Masa-masa evaluasi diri dan sharing-sharing dari senior selalu mengindikasikan... bahwa ada sejumlah beban dan muatan pribadi yang blom gua lepas hingga berkat-NYA tertahan.

Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur (walo bubur itu sebenernya enak banget, luph u bubur Gibbas-Kebon Jati). Gua sadar bahwa menyesali 19 bulan yang telah lewat tiada guna. Gua prefer berdoa mohon ampun... 19 bulan telah jadi dumb bukan D.O.M. Gua prefer wawas diri... keberhargaan diri gua bukan semata berasal dari penilaian atau penghargaan dari orang laen. Apa yang kelihatan dan yang fana bukan ukuran kebahagiaan gua. So, gua musti prefer buat terus berjuang... hal-hal kecil yang ada di genggaman ini harus jadi D.O.M.

Mohon TUAN terima tubuh, pikiran, emosi, ambisi, kehendak, suara, energi, kesehatan, hati, dan semua potensi yang tak sempurna ini supaya jadi D.O.M. Tetap berjuang sampai TUJUAN!!!

Rabu, 27 Oktober 2010

BUKAN CINTA SATU MALAM


Atmosfir malam hari sering kali jadi mantra sihir buat Kyra Melody. Ditambah panorama pantai dan alunan musik slow jazz, maka lengkaplah sudah. Semuanya dapat dengan segera membiusnya masuk ke dalam dunia lamunan yang tak terjangkau dan tak terpahami oleh sekitarnya, seperti malam itu di pantai Jimbaran. Namun, buaian romantisme ternyata tak mencapai area parkir di mana Moolight Sonata mengistirahatkan motor kesayangannya. Di sanalah kesadaran Kyra merambat perlahan ke alam nyata.

”Aaaaaaaaargh! Lepaskan tangan Lo, Mon, atau gua tendang kaki Lo sekarang!”

”Eiiit, apaan sih? Cepet banget berubahnya? Tadi Elo yang duluan gandeng tangan gua, Tomboy!”

Moonlight Sonata melepaskan genggaman tangannya, lalu menarik ujung poni Kyra yang panjang menjuntai sampai menutupi dahi. Dalam hitungan detik setelah itu, ia berlari meninggalkan Kyra yang masih terbengong-bengong. Gadis tomboy itu rupanya masih belum sepenuhnya sadar hingga lambat meresponi ulah iseng Moonlight Sonata. Matanya menyorot tajam dan dahinya pun mengeryit tegas. Ia berusaha keras mencerna apa yang sedang terjadi di antara mereka berdua.

Tiba-tiba, Moonlight Sonata muncul dengan motor tunggangannya. Kyra segera duduk diboncengannya. Lalu, mereka pun meluncur menuju ke tempat kost Kyra yang ada di Denpasar Selatan. Di sepanjang perjalanan, kesenyapan merasuk dan menguasai. Mereka sibuk dengan alam pikiran masing-masing yang baru diguncang sensasi bertautnya dua hati. Nampaknya, Kyra masih berjuang menamai apa yang dirasakannya. Sementara Moonlight Sonata justru sedang memutar kembali memori keindahan semalam di Jimbaran.

Mencapai tempat tujuan, Kyra masih belum berhasil menyimpulkan apa-apa. Namun, setidaknya ia berhasil mendekteksi satu hal, bahwa ada perasaan nyaman berboncengan motor dengan Moonlight Sonata. Beberapa kali, kedua tangannya terdorong untuk memeluk punggung pria yang ada di hadapannya itu. Namun, ia segera mengurungkan niatnya karena merasa canggung dan malu.

”Ah, apa ini? Baru saja gua melepas sebuah rasa yang mendekam 17 tahun lamanya. Masakan kini harus berurusan dengan yang baru?” demikian hati Kyra bergemuruh karena penuh dengan pertanyaan. Berkali-kali ia menggelengkan kepala sebagai manifestasi dari hatinya yang berteriak, ”Arrrrrrgh, gua belum siap! Belum siap mengecap manisnya, pahitnya! Gua belum siaaaaaap!”

Begitu asiknya melamun, Kyra tak menyadari Moonlight Sonata telah ada di dekatnya. Wajahnya begitu dekat di samping telinga Kyra hingga suara baritonnya pun terdengar jelas mengingatkan, ”Ra, kita udah nyampai nih. Buka aja gerbangnya dan cari Kamar C!”

Suara Moonlight Sonata yang tiba-tiba itu mengagetkan jantung, namun sekaligus menghangatkan hati Kyra. Namun, bukan Kyra namanya jika tidak kreatif mengalihkan perhatian. Walau agak gelagapan, ia segera pura-pura melihat kamar yang dimaksud.

”Wah, itu kamarnya. Ada kamar mandinya di dalem ga? Kasurnya gimana? Apa barang-barang kiriman gua udah ada? Barang-barang gua baik-baik aja kan?” cerocos Kyra tanpa henti seraya turun dari motor.

”Ya, semua sudah di dalam dan disiapkan oleh pihak sekolah. Tenang, Lo ga akan hidup di sini setahun lamanya hanya dengan satu ransel biru butut itu,” sahut Moonlight Sonata sambil tersenyum melihat ulah sobatnya yang terlalu berlebihan itu.

”Enak aja, ransel ini punya nilai sejarah tahu!”

”Ya udah, sono masuk!”

”Elo ga mau liat-liat ke dalam? Gua buka gerbangnya dulu ya, biar motor primitip ini bisa masuk.”

”Eh, yang dibilang primitip ini udah jemput elo di bandara dan nganter makan di Jimbaran. Sana minta maaf sama si Kiky!”

“Apa? Kiky? Elo kasih nama motor ini Kiky? Alay sungguh, Cuy! Hahahaha!

”Puas yah ngetawain gua? Gua ngambek baru tahu rasa Lo. Kalo ngambek, gua biasanya suka laper tahu!”

“Kalo gitu maafkan gua. Please, jangan ngambek. Gua ga mau jadi bangkrut karena harus traktir elo dua kali malam ini. Hahahaha!” Di depan pintu kamar kostnya, Kyra sedang terpingkal-pingkal menertawakan Moonlight Sonata. Namun, tiba-tiba ia terhenyak diam ketika melihat roman muka serius dari sosok pria yang ada di hadapannya itu. Saat itu juga, keduanya kembali saling bertatapan.

”Ra, gua mau bicara serius. Jangan ketawa lagi yah. Gua harus jujur kalo hari ini ngerasain sesuatu. Bukan sesuatu yang baru sih. Sejak kita ketemu lagi lewat facebook dua tahun yang lalu, gua ngerasa ada sesuatu di sini,” kata Moonlight Sonata sambil menunjuk dadanya sendiri. ”Gua tahu Elo pernah punya perasaan yang begitu dalam pada Kak Laut Biru. Tapi, gua siap kok buat menunggu sampai Elo bener-bener bisa ngelupain dia.”

Pengakuan Moonlight Sonata seketika mengguncang hati Kyra. Ia tak menyiapkan diri untuk semuanya itu. Tak heran, ia diam seribu bahasa. Kepalanya tertunduk. Matanya tak sanggup lagi menatap mata pria yang tengah menantinya berespons.

”Sudahlah, gua tahu ini terlalu cepat dan tiba-tiba. Elo kan baru saja sampai di Bali. Ok, besok gua telpon Elo ya? Nitez, Ra. Selamat bobo!”

Lagi-lagi tanpa suara dan tanpa kata, hanya tertunduk, Kyra melangkah ke arah pintu kamarnya. Tangannya gemetaran ketika membuka pintu. Setelah pintu terbuka, ia tersenyum sejenak, mengucapkan terima kasih dan juga selamat malam kepada Moonlight Sonata. Detik itu, terjadi sesuatu yang paradoks. Suasana menjadi kaku, namun hati berbunga-bunga. Hening di luar, bergelora di dalam. Agar sihir khas romansa itu tak terlalu memabukkan, Kyra pun segera menutup pintu.

Deburan gelombang hatinya ternyata tetap tak kunjung sirna walau matanya tak melihat bayangan pria yang telah memberinya shock terapi itu. Dengan keyakinan bahwa Moonlight Sonata telah meninggalkan tempat kostnya, ia memberanikan diri untuk menumpahkan segala rasa. Di sandarkan punggungnya di daun pintu dan diucapkannya pelahan apa yang ada di dalam hatinya.

”Mon, gua berjanji akan mendoakanmu. Terima kasih untuk semuanya yah. Gua telah merelakan cinta lamaku pada gudang kenangan-kenangan indah. Hati ini telah siap menyonsong asa yang baru. Jika Tuhan mengijinkan, aku pasti akan memperjuangkannya bersamamu.”

Malam semakin larut. Rembulan nampak semakin cerah saja di tengah pekatnya langit. Suara lolongan anjing-anjing kampung mulai menggaung bersahutan. Di luar, nampak Moonlight Sonata tengah bangkit dari tempat duduknya, yaitu tepat di depan pintu kamar Kyra. Kakinya berjinjit-jinjit melangkah menuju tempat parkir. Ia kemudian menuntun motornya pelan-pelan keluar dari gerbang, seolah tak ingin Kyra tahu bahwa ia masih ada di sana dan mendengarkan pengakuan hatinya. Sesampai di jalan raya, barulah ia mengendarai motor itu sambil tersenyum bahagia dan membawa pelangi di hatinya.

Rabu, 06 Oktober 2010

To God Be The Glory


How can I say thanks for the things You have done for me
Things so underserved that You gave to prove Your love for me
The voices of million angels could not express my gratitude
All that I am and ever hope to be, I awe it all to Thee

Chorus:
To God be the glory, to God be the glory
To God be the glory for the things He has done
With His blood He has saved me
With His power He has raised me
To God be the glory for the things He has done

Bridge:
So, let me live my life, let it be pleasing Lord to Thee
And if I gain any praise, let it go to Calvary

JESUS LOVER OF MY SOUL (I'TS ALL ABOUT YOU)


It's all about You, Jesus
And all this is for You
For Your glory and your fame
It's not about me
As if You should do things my way
You alone are God
And I surrender to your ways

Jesus, lover of my soul
All consuming fire is in Your gaze
Jesus, I want you to know
I will follow you all my days
For no one else in history is like you
And history itself belongs to you
Alpha and Omega, You have loved me
And I will share eternity with You

Kamis, 30 September 2010

BEATIFUL SAVIOUR


Jesus, Beautiful Saviour,
God of all Majesty,
Risen king,
Lamb of God,
Holy and righteous,
Blessed redeemer,
Bright morning star

All the heavens shout your praise,
All creation bow to worship You

How wonderful, how beautiful,
Name above every name, exalted high
How wonderful, how beautiful,
Jesus your name, name above every name, Jesus

I will sing forever, Jesus I love you, Jesus I love you

Selasa, 28 September 2010

KETIKA …


Ketika yang kukasihi tidak memberi respons seperti yang aku inginkan, di sana aku belajar mengenai ketulusan.

Ketika aku merasa jalan di hadapanku tidak mulus dan ingin berhenti, di sanalah aku belajar mengenai kesetiaan.

Ketika kerja kerasku tak dihargai dan tak ada pujian, di sanalah aku belajar memandang hanya pada Tuhan.

Ketika hakku dilanggar dan kebutuhanku dianggap sepi, di sanalah aku belajar menghidupi anugerah. Tanpa anugerah tak pernah memiliki.

Ketika ada orang lain yg nampak lebih hebat, lebih cantik, lebih bahagia, lebih baik daripada aku; di sanalah aku belajar mengenai kerendahan hati. Menghargai diri dan orang lain, bebas dari perangkap kesombongan luar-dalam.

Ketika aku telah berjuang menggapai mimpi namun tetap gagal; di sanalah aku belajar untuk melepas, berserah, dan menanti waktu-Nya untuk... berjuang lagi.

Ketika aku terluka oleh kehilangan-kehilangan, di sanalah aku belajar bahwa sungguh-sungguh tidak ada yang kekal dalam hidup ini.

MENITI JEJAK SANG MARTIR


2
HARGA SEBUAH KENANGAN?


Belief is truth held in the mind; faith is a fire in the heart.
JOSEPH FORT NEWTON

Entah berapa lama pastinya aku ada di sini, dalam keremangan dan pasungan. Hidupku berlalu tanpa merasakan dengan nyata perputaran 24 jam. Pagi, siang, sore, atau malam tiada beda. Panas, dingin, hujan, atau cerah sama saja. Tiada matahari, bulan, atau bintang-bintang. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari nyala obor yang ada di dinding lorong. Itupun hanya berupa sorotan kecil yang berhasil menembus lubang jeruji berukuran 50 x 30 cm, tepat di pintu kayu bagian atas. Baru aku tahu terang itu apa. Terang itu indah.

Bagaimana akan kuhitung hari-hari, sementara ada empat dinding tebal yang membatasi jangkauan gerak dan pandang? Aku mengamati bahwa ada seorang penjaga yang secara berkala datang. Ia membuka pintu, melemparkan beberapa potong roti serta sebuah kantong berisi air dingin. Rasanya, sudah tiga kali kulihat petugas itu datang dan pergi. Itulah yang ku asumsikan sebagai tiga hari di luar sana. Baru aku tahu bebas itu apa. Bebas itu mahal.

Lalu, tempat apa ini? Aku tak tahu jelas. Seseorang telah menghantamkan gagang pedang di tengkuk hingga aku tak sadarkan diri beberapa waktu lamanya. Ketika membuka mata, aku telah ada di kamar yang lembab, pengap, dan penuh bau tak sedap ini. Kemungkinan besar, tempat ini adalah sebuah rumah tahanan yang terdiri dari beberapa kamar. Walau tak melihat, namun beberapa kali kudengar kegaduhan, tanda keberadaan para penghuni lain.

Sejujurnya, hati ini tak keruan tiap kali kudengar suara-suara itu. Ada tangisan memelas, ratapan pilu, teriakan histeris, rintihan kesakitan, dan tak ketinggalan gelegar amarah para penjaga. Seolah-olah menjadi sebuah pengumuman bahwa satu lagi penghuni akan masuk ruang pembantaian. Ketiga rekan satu selku juga merasakan yang sama. Kakek Simon akan segera memejamkan mata dengan amat rapat. Kedua tangannya yang terborgol bergetar keras. Lain halnya dengan Paman Leonardo. Ia akan segera menundukkan kepala dengan mulut yang berkomat-kamit seperti sedang memanjatkan doa. Sedangkan Thomas, yang dua tahun lebih tua dariku, akan memanggil-manggil nama Tuhan dengan suara setengah menjerit.

Aku bersyukur karena saat ini ketenangan tengah terjelma dalam kesenyapan. Ketiga orang itu pun menikmati tidur sebagai hiburan mewah pengusir lapar, sakit, bosan, dan ketidaknyamanan lainnya. Bagi mereka, mata yang terbuka hanya akan menyiksa. Kesadaran tak akan sanggup meredam gejolak jiwa yang rindu kebebasan. Sebaliknya, aku berharap tak akan segera terlelap. Masih banyak yang ingin kukenang dalam slide-slide memoriku, sebab hanya itu yang tersisa.

Sampai dititik ini, anda mungkin akan bertanya-tanya siapa aku dan apa yang sedang terjadi? Tanpa berpanjang-lebar, namaku Stefanus. 35 tahun sudah, aku berdiam di bumi ini. Aku adalah pria biasa saja. Kata orang, aku mewarisi kharisma bapa-bapa leluhur Israel. Ya, tak diragukan lagi bahwa darah Yahudi mengalir kental dalam diriku. Hanya saja, ada embel-embel keturunan Yahudi Diaspora di sana. Itu karena keluargaku termasuk dalam suku-suku yang terserak di wilayah bangsa lain. Kami fasih berbahasa Yunani dan akrab dengan budaya Helenis yang modern.

Perlu diketahui, bahwa kami tak pernah memilih untuk hidup jauh dari tanah leluhur. Sejarah kebebalan generasi pendahulu membuat kami kena murka Sang Pencipta. Mau tak mau, suka atau tidak; kami memang sempat menjadi orang asing di tanah perantauan. Namun, jangan sekali-kali berpikir bahwa para Yahudi Diaspora akan memungkiri garis keturunan ini. Sebaliknya, akan selalu ada kebanggaan menjadi Yahudi. Itulah yang mendorong keluarga besar kami meninggalkan rumah dan kembali ke Yerusalem, Kota Suci.

Ironisnya, ada kerabat yang masih melihat kami sebagai orang luar. Mereka adalah orang-orang kolot yang menjaga kemurnian SARA. Mereka menganggap sepi Keyahudian kami. Aku tak habis pikir. Otakku terus mempertanyakan semua itu. Apakah darah kami menjadi najis karena tinggal di perantauan? Apakah hubungan saudara dapat terputus karena kami menolak ritual legalis yang sebenarnya adalah maha karya kemunafikan? Berkenankah Allah pada belenggu fanatisme; sementara Ia sendiri telah berkorban demi mengaruniakan kemerdekaan? Sampai kapan mereka akan menutup pintu pada fakta, bahwa era telah berganti dan Mesias sudah datang? Lupakah mereka bahwa janji berkat umat pilihan bukan untuk digenggam erat dalam kesombongan; melainkan untuk disalurkan? Perilaku mereka sungguh mengesalkan, bahkan meresahkan.

Meski demikian, kami tak pernah menyesali keputusan untuk kembali. Di tanah inilah, kami mengecap kebahagian sejati; bukan karena gelimang harta atau tahta. Sukacita dan damai sejahtera, itulah yang timbul ketika ada di tengah-tengah persekutuan pengikut Jalan Tuhan atau Kristus kecil. Anda tak akan pernah mengira bahwa julukan itu sebenarnya adalah sebuah celaan bukan? Kami memang tak pernah menganggapnya demikian. Sebaliknya, sebagaimana seseorang akan bangga mirip dengan tokoh idolanya, kami pun bangga jadi cerminan Kristus.

Masih kuingat, betapa indah suasana pertemuan-pertemuan yang pernah kami ikuti. Usiaku sudah 12 tahun ketika pertama kali menghadirinya bersama kedua orang tua serta kedua kakakku, Yulius dan Alfeus. Di sana, kami mendengarkan pengajaran para rasul, mengidungkan puji-pujian Mazmur, menggelar perjamuan kudus, dan menaikkan doa-doa syukur. Kemuliaan di surga tercurah melimpah ketika kami menyembah. Kuasa Ilahi nyata dan mengalirkan mujizat. Semua orang hidup dalam kepenuhan kasih karunia, sehingga tiap-tiap pertemuan jadi titik balik perubahan hidup. Sebagai akibatnya, jumlah kami ditambahkan berlipat kali ganda.

Ada pula gaya hidup memberi dan berbagi. Bagi kami, itu adalah wujud iman. Jangan heran jika selalu ada dermawan-dermawan yang menjual milik kepunyaannya, lalu membagi-bagi hasilnya pada yang membutuhkan. Pak Yusuf dari Siprus adalah salah satu dari mereka. Dengan kemurahan, ia menjual ladang dan mempersembahkan uangnya di hadapan rasul-rasul. Dengan ketulusan, ia menyatakan bahwa hartanya adalah milik bersama. Tak pernah ada kata pengorbanan keluar dari bibirnya. Benarlah bahwa kami tak hanya dekat secara fisik. Kami juga lebur dalam kasih akan sesama, lebih dari akan harta.

Namun, sebagaimana langit yang tak selalu cerah; begitupun perguliran hidup tak selamanya indah. Kusadari bahwa perubahan demi perubahan harus dan akan terus terjadi. Bagiku, semua itu berawal dari sebuah batu. Batu ini memang batu biasa, layaknya batu-batu lain yang tergeletak di jalan dan diinjak orang. Bedanya adalah, aku terlalu sering dan terlalu erat menggenggamnya. Di dalamnya, kulihat bayangan masa lalu.

”Stefanus, cepat masuk ke dalam rumah!” Demikian ayahku berteriak sambil meraih dan menarik tanganku.

Selanjutnya, kami berdua berlari beriringan dan segera masuk ke dalam rumah. Aku merasa bingung dengan situasi tersebut. Semalam ayah tak pulang ke rumah. Lalu tiba-tiba saja, ia muncul dan membawaku pulang dengan tanpa alasan. Otakku penuh dengan tanda tanya karenanya. Namun, bibirku tetap mengatup, diam membisu. Hatiku yang memerintahkannya demikian karena kulihat wajah ayah yang lelah dan tegang.

”Kita harus segera berkemas dan pergi!” Lagi-lagi kudengar suara ayah. Kali ini, suaranya bergetar laksana gempa yang biasa menggoncang tanah Palestina.

Rupanya seluruh keluarga dan kak Tabitha, tunangan kak Yulius, sudah berkumpul menunggu kedatangan kami berdua. Melihat semua sudah berkumpul dan menampakkan ekspresi kecemasan, aku tak dapat lagi menahan bibirku.

”Bisakah Ayah menjelaskan kepadaku apa yang sedang terjadi?” kataku tak kalah cemas.

Sorot matanya seketika memandang tajam ke arahku. Kutelan ludah, namun tak bisa karena rongga mulutku terasa begitu kering. Kutundukkan kepala sejenak sambil menghela nafas, mengatur keseimbangan tubuh dan jiwa. Lalu, kulihat ayah mulai merogoh kantong kulit usang yang terikat di pinggangnya. Tiba-tiba, ia melemparkan sesuatu ke arahku. Refleks, kutangkap benda itu dengan tangan kananku.

Ternyata itu adalah sebuah batu. Warnanya abu-abu bersemu hitam kemerahan. Agak sedikit lengket permukaannya. Apakah itu darah yang telah membeku? Walau merasa geli, tetap kupandangi batu itu dengan teliti. Kubolak-balik dengan kedua tangan secara bergantian, lalu kembali kutatap wajah orang yang telah membuatku hadir di muka bumi ini.

”Bagus, kau cukup tangkas rupanya,” katanya sambil tersenyum kecil. Namun, senyum itu segera lenyap dan kembali berganti dengan ketegangan. ”Aku rasa badai sedang menghantam kita, Anakku. Semua anggota pengikut Jalan Tuhan harus siap menderita.” lanjutnya lagi sambil memandang kami satu demi satu.

Suasana hening seperti air yang seketika membeku diterpa angin dingin. Penjelasan ayah benar-benar singkat dan padat, namun bisa menjawab pertanyaan mengenai apa yang akan segera kami hadapi.

”Benarkah Diaken Stefanus telah tiada, Ayah?” kali ini Kak Alfeus angkat bicara dan memecah kesenyapan.

”Ya, ia telah tiada sebagai seorang martir. Ia adalah pahlawan, Anakku.”

”Rupanya api kebencian telah membakar dan melenyapkan akal sehat mereka, sehingga tega menumpahkan darah yang tak bersalah,” sahut Kak Yulius dengan nada marah yang tertahan. ”Pemuda itu! Aku tak akan pernah lupa wajah datar tak berperasaan itu, ketika ia melempar batu pertama ke kepala Diaken Stefanus. Dasar pembunuh berdarah dingin!” lanjutnya dengan geram.

Ibu dan kak Tabitha tetap tak bersuara. Mereka hanya saling berpelukan. Tak lama, air mata duka sudah tak terbendung lagi dan kemudian meleleh satu-satu di pipi halus mereka. Raut cantik kedua mutiara rumah kami itu memang masih ada di sana, namun nampak kurang bercahaya oleh karena duka. Aku tertegun. Anganku melayang membayangkan wajah orang yang disebut Diaken Stefanus itu.

”Hei, masih menatap batu itu lagi kau rupanya.” Suara kakek Simon yang serak dan berat otomatis membuyarkan tayangan masa lalu yang baru saja hendak kubongkar dari laci ingatanku.

”Ah, Kakek sudah bangun,” kataku sambil tetap memandangi batu itu. ”Saya merindukan keluarga saya, Kek. Kakek tahu kan, betapa saya mengasihi mereka?”

”Aku tahu dan sangat mengerti perasaanmu. Tapi, bukankah kenangan itu tak dapat dipilah? Sisihkan yang bahagia dan buang yang menoreh luka? Bisakah kau melakukannya? Sebaliknya, kulihat kepedihan yang amat sangat tergambar di wajahmu, setiap kali memandang batu itu. Sadarlah, masa lalu tak akan pernah terulang dan hadir kembali secara nyata!”

Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir tua dan keriput itu benar adanya. Akan tetapi, kupikir ia tak sungguh-sungguh memahami apa yang kualami. Entah mengapa, rasa kesal mulai merayapi hatiku. Makin lama, makin membesar bagai sebuah ledakan yang tak terhentikan.

”Saya rela!” kataku dengan sedikit ketus. “Saya tahu kepedihan akan kembali menyayat perasaan. Tetapi, saya rela! Jawablah, Kek! Adakah yang pernah siap kehilangan anggota keluarganya sekaligus dengan sekali tebas? Adakah saksi pembantaian seribu jiwa yang mampu hidup dengan tenang? Apakah saya tak pantas berduka karena semua itu? Duka ini demikian dalam bukan hanya karena sebuah kenangan pahit. Jiwa inilah yang sedang bergolak sebab ada yang menginjak-injak kebenaran di luar sana. Nurani inilah yang sedang bergerak mendesak untuk bertindak. Hati inilah yang sedang mengerang karena ternyata tiada daya untuk mengadakan perlawanan. Apakah kakek sungguh-sungguh mengerti perasaan saya?”

Mata kakek Simon meredup. Binar wajahnya menghilang sesaat. Tak lama, kudengar tarikan dan hembusan nafasnya yang berat. Aku sadar telah memberondongnya dengan kalimat-kalimat kasar bermuatan emosi. Itu sungguh tak pantas karena dia bukanlah musuhku. Namun apalah daya? Ludah yang telah keluar tak mungkin dijilat kembali. Bahkan air mata pun tak dapat kubendung. Lelehan hangat mulai menitik membasahi garis pipiku yang keras.

Seorang pria muda menangis di hadapan kakek tua berusia 75 tahun? Apa kata dunia? Persetan dengan dunia! Aku mungkin sedang rapuh hingga membutuhkan air mata ini untuk membuat hatiku lega. Kupikir ia pun memahaminya.

”Ya, menangislah. Menangislah, Anakku. Tumpahkan semua yang menyesaki dadamu itu,” kata kakek Simon.

Kepalaku tertuduk. Harga diriku terlalu tinggi untuk membiarkan orang lain melihat genangan air mataku. Itu sebabnya aku tak menyadari kapan ia menyeret kedua kakinya yang terpasung untuk melangkah mendekat. Aku hanya merasakan bahwa kehadirannya lebih hangat dari sebuah selimut kulit domba. Beberapa waktu kemudian, emosiku mencair. Kutegakkan kepala. Kuhapus titik air mata yang tersisa dan kuperlihatkan ketegaran seorang Stefanus.

”Maafkan kata-kata saya,” kataku dengan tulus. “Saya hanya tak ingin kehilangan jejak di tengah gejolak. Terima kasih untuk pengertian dan perhatian Kakek.”

Ia tersenyum mengumbar garis-garis keriput di wajahnya, lalu mengucapkan serangkaian kalimat yang tak kan pernah terlupakan.

”Tak apa, Anak Muda. Aku tahu kau telah mengalami sesuatu yang berat. Kita semua senasib di sini. Aku pun menyaksikan para pasukan penentang Tuhan itu membunuh anak-cucuku satu per satu. Leonardo kehilangan isteri dan puteranya yang masih berusia empat tahun. Sedangkan Thomas, ia tak pernah tahu bagaimana nasib keluarganya, masih hidup atau sudah mati. Meskipun begitu, aku bangga padamu.”

“Bangga? Untuk apa, Kek?” tanyaku penasaran.

“Bangga pada keberanianmu menghadapi mereka. Sejujurnya, aku sempat bertanya dalam hati. Pantaskah seorang anak muda sepertimu mengalami ini demi sebuah batu? Pantaskah engkau membayarnya sedemikian mahal yaitu dengan kebebasanmu, semangatmu, hidupmu, masa depanmu? Semua itu hanya untuk sebuah kenangan? Ternyata bukan. Bukan sekedar demi sebuah kenangan, melainkan demi sebuah kebenaran.”

Ya, aku tengah melangkah di sebuah titian yang bersahaja, yaitu kebenaran. Bukan tak ada maksud, ayah memberiku nama Stefanus. Ada suatu harapan yang indah di dalamnya, lebih dari sekadar rasa kagum pada sosok pemimpin yang adalah pejuang kebenaran itu. Dengan mewariskan batu ini, ia ingin agar aku menapaki jejak Stefanus. Entah perjuangannya atau kemartirannya.

MENITI JEJAK SANG MARTIR


1
PROLOG


Terhenyak diam, aku membisu di tengah kegelapan
Larut dalam kesibukan dunia pemikiran
Ada yang bergolak dan meresahkan
Isu-isu kehidupan berputar-putar tak keruan

Buka hati-nurani, tajamkan penglihatan, pasang baik-baik pendengaran
Tangkap fenomena sekitar yang digagahi kejahatan dan penderitaan
Pemimpin tak punya penglihatan, rakyat kritis gelagapan
Dunia saat ini dan akan datang butuh figur-figur yang berdiri di depan

Semua karena ego zaman
Merasa sanggup mandiri, pinggirkan Tuhan
Maka kuminta hikmat untuk ambil dan lepaskan
Sebab tak semua jahat atau merugikan

Percintaan memang cerita yang menawan, mendebarkan, mengharukan
Namun, generasi dapat terhanyut lalu lupa kenyataan
Bahwa hidup ini sedang menjejak bumi, bukan melayang-layang di awan
Peradaban harus maju menyongsong perubahan

Cerdas teknologi dan materi memang menjanjikan kemudahan, kenikmatan
Akan memabukkan bila tak bijak menggunakan
Terlena dan lupa bahwa hidup adalah perjuangan
Rapuh dan tak berdaya hadapi tantangan

Sadar, sadarilah, hai para musafir kehidupan
Yang fana dan yang abadi tak pernah sejalan-setujuan
Pilih, putuskan di antara dua jalan
Dan jawablah sebagai bahan pertimbangan

Apakah dari yang jahat dapat timbul kebaikan?
Apakah dari yang lemah dapat menghasilkan kekuatan?
Apakah dari yang rendah dapat menyandang kehormatan?
Apakah dari yang menderita dapat menjamin pengharapan?

Kubuka buku kehidupan dan mencari jawaban
Memusatkan perhatian pada sebuah panggung drama keteladanan
Menghayati sepenggal kisah sosok yang menyilaukan
Menyungkil kenangan demi harta kekekalan

Mari tinggalkan sejenak hingar-bingar perayaan
Berhenti sekadar menikmati goresan tinta dari rumah kedukaan
Jangan abaikan langkah-langkah kebajikan yang telah ditinggalkan
Lalu meniti jejak yang sama sampai ke tujuan

Deo optimo maximo
To God, the best, the greatest

Jumat, 27 Agustus 2010

A Letter for Kyra: A Best Friend Letter


Dear Kyra Melody,

Trust you are as wonderful as I am today. How is it going at your end? You haven't told me many things, Kyra, so long to hear your stories :) Thanks for so many lessons you've taught me, the air when I couldn't breath, the words when I couldn't speak, the tears when I hardly spill out of my own, the helping hands when I thought I don't deserve any, the chances when I have given up on me. I hope I say this line in a perfect time and place, I love you, sis :)

Kyra, on August 24th 2010 I met him. We had dinner in a pizza restaurant near our place. You were right, I felt nervous when he picked me up. My anxiety level rose while i was on his bike. And you know what, I couldn't get good sleep the nite before the date ha ha.. Kyra, we spent our first 30 minutes without having any conversation, just silly and quick question-answer time. I was forcing my brain to pick a topic, I dig, dig, and dig it deeper but found nothing. I remained silent.. Until, the pizza's coming.

Kyra, I don't remember much of his words since all I did was enjoying his voice. I really didn't want to miss a sec of the moment. Precious time. I actually heard every line of what he said. He couldn't stop talking. He really dominated all the conversation we had. It's fine actually, since all I wanted to do is to hear his voice, near me. That's enough for me :) However, I was a bit frustrated by his words. He said so many things I didn't want to hear. The past, the reasons, the things between us, and so many things I really didn't prepare to hear. I was thinking to leave him abruptly but then I told myself to not to be a coward, I have to face it, like it or not!

Kyra, he kept talking, talking, talking, and talking, while I was keep silent and smile, silent and smile, and, silent and smile. He was a bit worry by my silence, he knew I was hiding lot of things. I couldn't see his eyes, I didn't want him to read my mind, am telling you, he's good at mind reading. All I did most of the nite are just avoiding eye contact, less speaking, pulling his leg just to disturb him. Call me lame, I was trying to defend myself from him.

Kyra, he succeeded to make me believe that I was wrong this whole time. I felt very silly, stupid, and small. He is way too far ahead from me. I've been very self-centered. Shame on me.

Kyra, the nite I texted you, I said I was scared and worried about my feelings. I meant, I'm worried if I couldn't control my feeling after the dinner. The worries came true. I couldn't control my feeling. Just like what you said, it's like polars attraction, also opposition. The thing got more uncontrolled when he said those awaited line, "Look into my eyes, til' now, the moment we're talking, I love you still." Shocked inside, tried to look cool outside. I almost cried at the moment. It seemed unfair to me. I wasn't prepared.

Kyra, I didn't say anything to respond since he didn't ask me any, I also want to keep the thing between us worked. I wanna stay in my own territory, remain still. Anyway, we didn't continue the conversation deeper. We talked another topic til the time to go home. I could sense the ice between us broke lil by lil, not all, but it kept continue progressively.

Kyra, I invited him to get in the house. It's like a dream came true to have him inside the house. It's a huge progress I suppose. We continued our chat til' midnite then I asked him to go home since he has office the next day. It's amazing how I could let him go when all I wanted him to stay longer. Now I understand what love is :)

Kyra, needless to tell you what I've been feeling inside my heart after. Needless to tell you how many tears I've been shedding. I asked God lot of questions last nite, but He hasn't answered me yet. I need to be more patient and focus to what I've decided before I spent the nite with him. Though I've been very confused, I say this in my prayer "Dear God, thank You, for letting me to have such a wonderful moment with him. Thank You for the precious time. Thank You for the feeling. And thank You for whatever You've planned me. I believe You are my Source of Needs, my Greatest Life-Planner, and my life is in Your hands." To be honest, Kyra, not an easy task. I am learning to rearrange the scrambled puzzle. I am learning, Kyra, and won't stop trying :)

Kyra, hope I'm not bored you with my lame life stories. You've been very wonderful to me. Sorry for the sudden calls, messages, texts, asking you to get online or simply just asking for opinions. I feel bad bout it most of the time, but keeps continue to do it he he..

Kyra, you haven't telling me bout your life these days. I'm scared whether I'm no longer trustable or.. Anyway, I'm still waiting for you to let me in sometimes :) You know me better, Kyra.

Hence, let me tell you again how much I love you, I pray for you and our plan in the future. Blessed those who believe in His plan and let Him mould our lives. Soli Deo Gloria. Amen

Take care. God Bless you, Kyra.





Queen - sister in Christ :)


From The Unspoken Truth

Rabu, 25 Agustus 2010

CERITA CINTA


Sebagaimana ribuan cerita lainnya, perjalanan sepasang insan yang dimabuk cinta juga dimulai dengan dua kata, “pada mulanya.” Pada mulanya, ada dua buah planet yang berbeda, namun terlihat begitu indah dan serasi dari bumi.

Adalah Mars, bagian dari sistem solar kita yang dikenal sebagai the red planet (planet merah). Itu sebabnya kita melihat langit nan biru di luar sana dapat berubah menjadi oranye kemerah-merahan karena pantulan warna dari permukaannya. Permukaan Mars sesungguhnya adalah padang gurun, namun sangat dingin.

Lainnya adalah Venus, planet terdekat dengan bumi. Permukaan Venus merupakan bebatuan yang kering dan panas. Ia nampak sangat cantik dengan sinar matahari yang memantul melebihi terangnya banyak bintang.

Itulah pria dan perempuan, yaitu cahaya rupa Allah yang disatukan dalam ikatan cinta. Allah berkata: "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej 2:24)." Wow, tak salahkah Allah bahwa asam di gunung dan garam di laut dipertemukan-Nya dalam sebuah belanga untuk menghasilkan masakan yang istimewa? Ya, itu benar adanya. Sepasang pria dan wanita dipersatukan dalam keberbedaan agar mereka bertumbuh menjadi makin sempurna.

Bagaimana tidak, mereka merepresentasikan dua hal yang berbeda namun satu jua dan tak terpisahkan. Pria merepresentasikan Allah yang mengasihi umat, yaitu yang direpresentasikan oleh wanita. Representasi ini bukanlah pengesahan kedudukan siapa yang lebih tinggi dari siapa. Representasi ini lebih memeragakan KASIH terindah sepanjang masa. Kasih yang tak pernah luluh-lantak oleh apapun juga.

Seharusnya memang tak akan berakhir sampai maut yang memisahkan, walau ada dua kepribadian yang berbeda. Pahami dan hayatilah:

Pria adalah the Head of the house (kepala rumah tangga). Sebagaimana Mars yang beriklim keras dan dingin, pria adalah sosok yang keras dan kuat di luar, namun sesungguhnya rapuh di dalam. Ia berpikir global dan luas bagai sebuah padang gurun.

Lain halnya dengan si cantik Venus. Ialah the Queen of the house (ratu rumah tangga). Venus yang dipenuhi bebatuan menghantar para wanita menjadi pribadi yang tabah dan keras, walau secara fisik nampak lemah. Ia berpikir detail sehingga nampak begitu rumit bagai jalinan benang ruwet.

Tak heran jika tugas mereka berbeda namun saling melengkapi demi kebaikan adanya.

Dengan naturnya, pria bertugas sebagai Nahkoda Kapal:
1. Pencari nafkah.
2. Pengatur arah rumah tangga.
3. Memelihara kesejahteraan rumah tangga.
4. Menjaga keseimbangan kebahagiaan keluarga.

Di sisi lain yang melengkapi, wanita bertugas sebagai Menteri Dalam Negeri:
1. Menguasai seluruh rumah tangga.
2. Mengatur tatanan rumah tangga.
3. Mendukung kesuksesan suami.
4. Mendidik anak-anak (khususnya pada masa balita).

Keduanya disatukan untuk menjemput cinta yang dapat langgeng seumur hidup, sampai uban menjuntai menghiasi kepala, sampai bintik-bintik hitam bersatu dengan keriput mewarnai permukaan kulit, dan sampai maut memisahkan mereka.

Denpasar, 20 September 2008

Selasa, 24 Agustus 2010

BELENGGU


Dalam kegelapan, betapa jernih pikiran
Sesak dada dijejali peringatan-peringatan
Telah lama terlena dan keenakan
Patah semangat juang, tak jadi teladan
Menghampiri dosa, Tuan terlupakan

Kelambu sangat rapat, tak seorang tahu
Hati nista berbekas lubang paku
Sesal lambat datang, kesempatan berlalu
Bayang-bayang kutuk sudah memburu
Benarlah bahwa mati lebih baik ketimbang hidup terpasung-terbelenggu

Betapa merindu segera lepas
Namun lagi-lagi jatuh terhempas
Ringkih dan terlalu berat menarik nafas
Beruntung nurani tahu hanya satu Pahlawan Pembebas
Kini tarik tangan ini dari kubangan, Tuan yang di atas!

From MMK Youth Manusia dan Dosa

Kamis, 12 Agustus 2010

Bosscha Membuatku Nampak Begitu Kecil; Bapa Membuatku Merasa Begitu Besar


25 Juni 2009 ...
"Misi luar angkasa... blast off!" Ya, serombongan astronot (mostly junior astronout) lepas landas dari balik dinding gereja yang megah menuju dinding lain yang membuka tirai cakrawala. Bosscha adalah nama keren dari sebuah tempat yang telah membingkai tata surya dalam sebentuk layar LCD dan sebentuk tabung yang dinamai teleskop. Walau amat sangat jauh dari keasliannya, namun toh tetap dapat memperkenalkan gambaran umum dari kedalaman relung-relung semesta kepada para laskar cilik yang sedang belajar menatap dunia di hadapannya. What amazing place!

Setelah beberapa hari sebelumnya memulai petualangan dengan berkenalan dan berpesta bersama "BIANGNYA," perjalanan para laskar cilik menuju Bosscha diharapkan mampu memperlihatkan kejeniusan SANG PENCIPTA dan bagaimana IA sesungguhnya telah, sedang, dan akan selalu terlibat secara akrab dalam setiap detil keberadaan semesta. Tujuan ini sama sekali tak terdistorsi oleh keinginan memandang indahnya bintang karena Teleskop Zeiss Besar itu tak akan efektif memamerkan panorama perbintangan yang mempesona mata di pagi hari nan cerah. Bahkan duduk berdesak-desakkan dan bertumpuk-tumpukkan di sebuah ruang kotak kecil tak mampu membelokkan perhatian mereka dari layar LCD yang menyajikan gambar seluk-beluk luar angkasa. What amazing journey!

Entah mengerti atau tidak, sadar ataupun tidak. Derajad ketegangan pada kornea mata dan bibir yang mengaga tak akan berdusta, bahwa ada ketakjuban yang besar ketika mereka diperhadapkan dengan kreatifitas tangan ALLAH, THE RULER OF UNIVERSE. Pantaslah sang nabi besar berkata: "Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara mereka keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya? Satupun tiada yang tak hadir, oleh sebab Ia maha kuasa dan maha kuat (Yesaya 40:26)." Dan sang biduan bernyanyi: "Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya (Mazmur 19:2)."

Perjalanan misi luar angkasa dimulai dengan memperkenalkan planet-planet keluarga bumi, lalu pada empat planet berikutnya yang dijuluki planet keluarga Jupiter. Jajaran planet-planet super raksasa tersebut diperkecil dan disesuaikan begitu rupa ukurannya agar kami dapat menikmati keindahan bentuk utuhnya. Wow! Para penghuni luar angkasa yang luar biasa ini nyata-nyata diperlihatkan tak sendirian melanglang buana di balik misteriusnya langit.

Semuanya itu diperlihatkan bagai sejumlah pernak-pernik mikro debu dan gas yang beraneka bentuk, warna, serta fungsinya. Mereka saling berinteraksi melalui gaya gravitasi dan dinamika ini menyebabkan tarikan debu-debu mikro lainnya hingga timbulah sistem dengan struktur yang kompleks. Proses tersebutlah yang melahirkan obyek-obyek langit nan eksotik seperti sebuah planet, bintang atau galaksi. Amazing! Tak dapat disangkal bahwa semua itu merupakan suatu kala dengan langkah hidup yang jauh di luar jangkauan pencapaian ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.

Bayangkan saja salah satu diantaranya yaitu Matahari! Diameter Matahari sekitar 1.390.000 km. Sementara diameter Bumi sekitar 12.740 km. Bila Bumi dimasukkan dalam Matahari, Matahari bisa menampung sebanyak 109 Bumi. Kebayangkah sebesar apa? Suhu inti Matahari berkisar dari 15.000.000 derajat Celsius pada inti dalam, sedangkan pada inti luar mencapai 7.000.000 derajat Celsius. Dan suhu pada permukaan matahari hanya 6.000 derajat Celsius. Tinggal di Bumi dengan suhu 35-40 derajat Celcius saja sudah membuat kita kepanasan dan bermandikan keringat. So, kebayangkah gimana panasnya?

Namun demikian, bintang pribadi kita itu ternyata kurang luar biasa dalam banyak hal. Ia tidak begitu besar dan tidak terlalu panas karena ada bintang-bintang lain yang jauh lebih dahsyat besarnya dan panasnya. Kalau matahari saja sudah begitu dahsyat besarnya, kebayangkah what a small me? Or can I say us? Hal ini sudah lama disadari si penyanyi: "Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya (Mazmur 8:4-5)?"

Sekalipun disebutkan bahwa manusia makin pandai membaca gejala-gejala unik perhiasan langit (bintang), pandai meramal energi yang dibangkitkan dalam tungku nuklir si penghasil panas (matahari). Namun, kondisi tata surya tentu tak seenteng yang kita bayangkan. Matahari sendiri disebutkan sering berubah-ubah. Gangguan-gangguan dalam permukaannya saja dapat mempengaruhi seluruh tata surya. (Catatan sejarah pernah menyebutkan bahwa pada 1989 pernah terjadi badai matahari yang menyebabkan padamnya listrik seprovinsi Quebec. Peristiwa yang sama melelehkan kumparan-kumparan stasiun transformator di Salem, New Jersey, serta menimbulkan kebakaran dan susut daya sekawasan.)

Belum lagi ancaman hujan meteor yang setidaknya dapat memuntahkan seratus meteor dalam satu jam ke arah bumi, tempat kita hidup dan bernaung. Jika sebuah batu meteor saja dapat melubangi bumi dan menimbulkan kawah meteorit yang hebat, apalagi seratus? kebayangkah what a fragile life! Or can I say our life?

Seperti kata sang pujangga dan diamini dengan fakta dari Bosscha, siapakah kita manusia? Kita ini begitu kecil dan hina. Hanya saja sang pujangga tak berhenti pada fakta sebagaimana yang dipaparkan oleh Bosscha. Ia pun tidak meratapi nasib diri sedemikian rupa hingga runtuhlah peradaban dan harga diri kita sebagai manusia. Gurat-gurat kebanggaan justru terlukis begitu nyata dalam bait-bait lagu selanjutnya: "Namun ALLAH membuat manusia hampir sama seperti diri-NYA, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat, membuatnya berkuasa atas buatan tangan-NYA (Mazmur 8:6-7)."

Syair-syair indah ini menjelaskan bagaimana tiap-tiap penghuni tata surya tidak saling bertabrakan satu dengan lainnya; melainkan dengan rapi berkendara di jalurnya masing-masing. Hingga lalu-lintas di Bandung pun ga ada apa-apanya jika dibandingkan dengan lintasan orbit mereka yang tertib dan sama sekali tak memerlukan bantuan Polisi lalu lintas jagad raya. Bahkan tak ada traffic light di sana. Mata siapakah yang begitu jeli mengawasi jalannya kehidupan luar angkasa nan rumit, selain mata BAPA?

Jelaslah sudah mengapa harus ada Jupiter, planet terbesar di Bima Sakti. Tempatnya begitu tepat hingga menjadi sebuah payung pelindung raksasa bagi bumi. Kalau saja ia tak di tempatnya, maka bumi akan dihantam komet seribu kali lebih sering daripada biasanya. Amazing! Kekaguman pada Jupiter yang kuabadikan dalam sebuah nama untuk ikan cupang kesayanganku perlu dikembalikan berlipat kali ganda kepada SOSOK mengagumkan dibalik keberadaan planet raksasa itu. Tangan siapakah yang menatanya begitu rupa, selain tangan BAPA?

Sesungguhnya, fakta-fakta yang ada membuktikan bahwa alam semesta yang begitu luas tersebut diciptakan khusus untuk mendukung hidup dan kehidupan kita, manusia. Terlebih dari itu, BAPA mencurahkan segenap keberadaan diri-NYA di dalam ANAK-NYA, YESUS, untuk memberi kehidupan yang lebih luas dan kekal dibanding luas dan kekalnya semesta. Itu sebabnya dengan penuh sayang, SANG TUAN PENYAYANG yang telah menghinakan diri-NYA sendiri berkata dengan lembut: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16)."

Aliran nafas yang keluar dari bibir-NYA itu kemudian seolah menjadi nafas hidup abadi yang dihembuskan ke dalam bibir rohani kita, yaitu yang percaya dan mengandalkan-Nya semata untuk memperolehnya. Hidup bahkan menjadi lebih hidup ketika karya sastra agung yang hidup itu dengan lantang menyatakan: "Tetapi kalian adalah bangsa yang terpilih, imam-imam yang melayani raja, bangsa yang kudus, khusus untuk Allah, umat Allah sendiri. Allah memilih kalian dan memanggil kalian keluar dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang-Nya yang gemilang, dengan maksud supaya kalian menyebarkan berita tentang perbuatan-perbuatan-Nya yang luar biasa (1Petrus 2:9)." Kasih siapakah yang begitu besar dan rela dicurahkan sepenuhnya kepada mahluk hina yang tak pantas menerimanya, selain kasih BAPA?

Apapun keadaan kita, ingatlah betapa besar dan mulianya kita di mata BAPA. Kasih-NYA yang begitu hebat itu meletakkan kepercayaan yang begitu besar kepada para laskar cilik dan yang mengirim mereka untuk berbagi waktu serta kesenangan pada laskar-laskar cilik lain yang tak berayah maupun beribu. Operation kids to kids memang tak akan sempurna berjalan. Namun, ketulusan menyambut kepercayaan BAPA dan perjuangan dalam proses keserupaan dengan ANAK-NYA adalah tujuan utama yang hendak dicapai dalam MISI LUAR ANGKASA.

Hmmh, beribu-ribu syukur kupanjatkan pada-NYA. Bosscha memang membuatku nampak begitu kecil; namun BAPA membuatku merasa begitu besar. Soli Deo Gloria!