Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Selasa, 30 November 2010

SELANGKAH MAJU, SOBAT MUDAKU! ^^


"... Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." Filipi 2:3-4

Minggu, 28 November 2010 adalah moment yang perlu dicatat disini. Tiga dara yang manis dan cantik menapak selangkah keluar dari kotaknya. Gua tahu rasanya, Sobat mudaku. Ga nyamannya mengenakan rok yang membatasi gerak lincah kita. Ga demennya ngerasa terbatas, lemah dan centil dengan kain ringan, terbuka, dan melayang-layang itu. Sebaliknya, betapa serunya bertomboy-ria. Melanggar setengah batas kelemah-gemulaian demi menghirup kebebasan berekspresi. Bertahun-tahun gua tenggelam dalam kenikmatan itu.

Tentu itu tidak salah, Sobat. Toh, hidup ini adalah pilihan. Bagaimanapun kekaguman gua tetap mekar dalam relung-relung hati ini. Itulah saat engkau rela meninggalkan sejenak kenyamananmu sebagai hadiah kasih bagi seorang Kakak Rohani, Bapak Guru, dan Sobat gila-gilaan kita. Yah, itu pantas ia terima karena kasihnya, kebaikannya, dan sebagainya sesuai yang kau rasa. Kasihmu kepadanya sungguh luar biasa.

Bangga tentu saja tidak membuat gua lupa kebenaran. Gua berharap suatu saat nanti engkau tahu alasan yang benar dan sesuai mengapa kaum kita harus "demikian". Namun, fakta tetap fakta. Engkau tetap telah selangkah maju, Sobat mudaku!

Selasa, 23 November 2010

COBA SELAMI DERITA KORBAN MERAPI, DAPATI KETERBATASAN DIRI


Melihat Indonesia tak henti ditimpa bencana fisik dan moral, hati ini ikut miris-teriris. Gua berpikir pasti ada sesuatu yang bisa dikerjain untuk negeri tercinta, selain berdoa (bukan berarti berdoa itu tidak melakukan sesuatu loh). Makanya waktu ada seorang pemuda yang share mengenai keberangkatannya menjadi relawan kecil-kecilan di daerah bencana, jujur gua iri banget. Gua merasa raga ini bakalan terus-terusan terpenjara dalam cangkang kenyamanan pribadi dan tembok tebal gereja mewah, sementara ada saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang merana dihajar bencana.

Tapi,TUAN yang kuasa ternyata maha tahu dan maha pemurah. Diberinya sebuah kairos dalam kronos hidup gua. Berkat hati kasih umat, akhirnya gua pergi juga melawat wilayah letusan merapi. Dengan antusias, gua mendobrak batasan-batasan diri yaitu hal-hal yang gua ga demen antara lain: kelemahan fisik akibat menstruasi, naik mobil, duduk berlama-lama, panas, keringatan, debu, pakai masker, dan waktu persiapan pelayanan yang singkat.

Dua hari semalam, satu tim terdiri dari tujuh orang berpetualang makin mendekati merapi. Menatap ngeri gumpalan debu yang konon berpartikel tajam sekaligus beracun. Menganga lebar menyaksikan patahan-patahan pepohonan dan kerusakan materi. Mengelus dada mendengar kisah derita para korban. Ngilu sekali dada ini menyaksikan sejumlah anak-anak dengan tubuh bermandi debu merapi.

Tadinya, gua pikir dengan mempersiapkan pelayanan yang menghibur (children care) dan membawa bantuan logistik sudah cukup untuk mengurangi derita para korban. Pertanyaannya adalah ada berapa banyak korban yang sanggup ditolong dengan sejumlah dana yang telah dikumpulkan? Jawabannya udah pasti terbatas. Bukankah para korban tidak hanya menjalani waktu sekarang ini saja? Ada masa depan yang harus mereka jalani bersama keluarga, namun tanpa tempat tinggal, tanpa pekerjaan, tanpa harapan. Moral seperti apa yang sedang ditanamkan kepada para korban dengan pemberian bantuan? Kebergantungan terhadap belas-kasihan atau kegigihan menghadapi persoalan? Apakah cerita petualangan si Bundut (burung gendut bersama Bu Awan, Pak Matahari, Pak Gunung) dapat menghapus trauma akibat bencana?

Pertanyaan-pertanyaan yang ada menyingkapkan sebuah realita keterbatasan diri. Mau ga mau gua berkata pada diri sendiri, "You are not a hero! Jangan pernah berbangga karena telah menghirup debu merapi! Jangan pernah merasa telah cukup berkorban demi sesama! Apa yang Elo lakuin ga akan pernah cukup karena hanya Sang Pencipta yang sanggup!"

Gua pulang dengan kepala tertunduk. Gua putuskan untuk tidak memikirkan apa yang ga bisa gua kerjain? Fokus ini harus segera dialihkan pada apa yang bisa gua kerjain. Gua emang ga sanggup menanggung derita negeri ini sendirian. Tapi, mungkin gua bisa turut berperan serta mencetak anak-anak muda yang cinta Indonesia, anak-anak muda yang ga menganggap merah-putih dan garuda pancasila sebagai aksesoris yang 'cupu', anak-anak muda yang mau bertekuk lutut menaikkan doa bagi bangsa, anak-anak muda yang berpadu mengusap air mata ibu pertiwi. I'm not a hero. But, I can fight to create some. Alangkah indahnya tidak berjuang sendirian.


Kamis, 11 November 2010

INTEGRASI IMAN DALAM IBADAH (SIKAP HIDUP PENATALAYAN)


Roma 12:1-2

Topeng kaca adalah drama yang menceritakan tentang Kitajima Maya, seorang gadis kecil yang mempunyai seribu topeng. Yang dimaksud dengan topeng ini adalah topeng untuk memerankan berbagai macam tokoh. Maya adalah seorang gadis mungil yang berasal dari keluarga miskin, tidak cantik, polos, dan bahkan ceroboh. Ia punya seorang ibu yang berjualan mie dan selalu sakit-sakitan. Sejak kecil sudah biasa menjalani kehidupan yang sangat keras karena ia tidak bisa melakukan apa-apa selain akting. Itu sebabnya, ia berusaha keras untuk menjadi seorang aktris diatas panggung. Maya sebenarnya sangat berbakat, namun perjalanan jadi artis itu ternyata sangat tidak mudah karena seorang artis atau pemain drama selalu hidup dengan topeng kaca.

Disebut topeng karena seorang artis harus siap memerankan banyak karakter tokoh yang tidak sesuai dengan karakternya sendiri, mengekspresikan berbagai emosi yang bukan milik mereka. Topeng itu bagai terbuat dari kaca karena karakter dan emosi yang dikenakan di atas panggung itu sangat tipis, tembus pandang, dan rentan alias gampang retak. Ketika pribadi dan emosi terganggu atau tak terkontrol, topeng mereka akan retak, akting mereka terganggu karena perasaan pemain yang sesungguhnyalah yang akan keluar. Contohnya, suatu saat Maya Kitajima diminta memerankan sebuah boneka. Karena bakatnya, ia menghayati peran itu dengan luar biasa sehingga penonton mengira bahwa boneka yang diperankannya itu adalah boneka sungguhan, bukan manusia yang menjadi boneka. Akan tetapi, pada saat Maya mulai memikirkan ibunya yang sekarat, topeng kacanya pecah karena ia meneteskan air mata kesedihan. Tidak mungkin sebuah boneka dapat menangis bukan? Bagi gurunya, ia adalah aktris yang gagal. Itu sebabnya integrasi antara peran dan pemeran itu sangat penting.

Integrasi: [n] pembauran hingga menjadi kesatuan yg utuh atau bulat. Integrasi antara peran dan pemeran membuat seorang aktris melupakan dirinya dan secara total menjadi seperti perannya agar aktingnya dapat memikat dan memesona audience.

Saya pikir integrasi yang sama harus terjadi pada kita, sebagai orang percaya. Kita memang tidak memakai topeng kaca. Tapi, kita dikatakan bagai hidup di akuarium kaca. Artinya, hidup kita (menyangkut seluruh keberadaan diri kita, apa yang kita lakukan, katakan, pikirkan, rasakan, putuskan akan disaksikan dan dinilai audience.

Ada dua audience, yaitu yang tidak kelihatan (Tuhan) dan yang kelihatan (sesama). Audience pertama adalah Tuhan, yaitu SUTRADARA Agung, yang memberikan peran kepada hidup kita agar disaksikan oleh audience kedua, yaitu sesama kita. Untuk itulah diperlukan sebuah integrasi iman dalam hidup. Iman menyatakan hubungan kita dengan Tuhan dan itu harus dinyatakan kepada sesama kita.

Inilah yang dinyatakan oleh Paulus dalam firman yang kita baca tadi. Setelah Paulus menjelaskan tentang doktrin-doktrin penting iman Kristen (pasal 1-11), yaitu:
1. Manusia berdosa dan menerima hukuman murka Allah (pasal 1-3).
2. Allah mengasihi sehingga manusia dibenarkan karena iman kepada Yesus (pasal 3-10).
3. Predestinasi Allah atau konsep umat pilihan (pasal 11).
Maka di ayat 12, yang sudah kita baca tadi, Paulus langsung mengaplikasikan semua doktrin iman ini dalam spiritualitas Kristiani (praktik kerohanian Kristen). Aplikasi ini merupakan sebuah praktek iman, yaitu suatu ungkapan syukur anak-anak Tuhan sejati setelah mereka diselamatkan dan mengerti kedaulatan dan anugerah-Nya. Praktik iman tersebut diawali dengan sikap ibadah sejati kepada Tuhan.

Apa itu ibadah? Apakah ibadah identik dengan pergi ke gereja dan melayani saja? Tidak. Ibadah sejati bukan ibadah fenomenal (momen atau situasi tertentu), tetapi ibadah esensial (penting atau dasar). Ibadah inilah yang diajarkan Paulus mulai pasal 12 s/d 16 sebagai aplikasi atau respon secara praktis dari iman orang percaya.

Dua ayat pertama pada pasal 12 diawali dengan pengajaran penting Paulus tentang konsep ibadah sejati. Di ayat 1, Paulus memaparkan, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Dalam ayat ini, Paulus mendesak jemaat Roma untuk melakukan ibadah sejati. Dalam bahasa aslinya, nasihat ini diartikan sebagai sebuah nasihat yang penting karena diberikan demi kemurahan Allah. Kemurahan Allah bisa diterjemahkan sebagai belas kasihan Allah. Jadi, Paulus ingin menasihati jemaat Roma agar mereka beribadah secara benar kepada Allah, dengan mengingat belas kasihan-Nya yang telah memilih dan menetapkan mereka sebagai anak-anak-Nya.

Hal ini juga berlaku bagi kita saat ini. Mari mengingat bahwa Tuhan juga telah menyelamatkan kita dari maut. Oleh karena itu, biarlah kasih setia dan belas kasihan-Nya ini mendorong dan memimpin langkah hidup kita untuk makin memuliakan Tuhan selama-lamanya.

Lalu, nasihat penting apa yang diberikan Paulus? Paulus memberikan beberapa konsep penting tentang ibadah yang sejati:

Pertama, ibadah sejati adalah ibadah totalitas. Dikatakan bahwa ibadah sejati bukanlah ibadah fenomenal, atau ibadah pertunjukan. Artinya, kita bukan cuma kelihatan aktif di berbagai kegiatan gereja. Ibadah sejati adalah ibadah totalitas yang menyeluruh di dalam seluruh aspek hidup kita sehari-hari. Paulus di dalam ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa kita harus mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup. Kata “mempersembahkan” dalam bahasa aslinya adalah kata kerja dalam bentuk aktif. Berarti, ibadah sejati adalah ibadah yang terjadi ketika kita secara aktif mempersembahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Itulah arti berserah total. Berserah adalah kita berani menyerahkan seluruh hidup kita dikuasai oleh Kristus sebagai Tuhan, Raja, dan Penguasa dari hidup kita. Ketika kita menyerahkan hidup, kita juga harus berani menyesuaikan hidup kita dengan kehendak Tuhan. Artinya, kita siap melupakan/menyangkal diri, seperti aktris profesional yang melupakan dirinya dan melebur dengan peran yang TUHAN kehendaki. Ketika kita berserah, di saat yang sama kita menyangkal diri untuk mengatakan tidak kepada kehendak kita dan mengatakan ya kepada kehendak-Nya.

Saya pernah mengetahui ada seseorang yang aktif terlibat melayani sebagai pemusik di komisi Pemuda. Ia dikenal begitu aktif melayani di gereja. Tapi, di luaran dia dikenal sebagai pemakai narkoba dan bahkan berani melakukan sex dengan pacarnya sebelum menikah. Itu artinya, ia tidak sepenuhnya berserah pada Tuhan. Ia hanya berikan dirinya waktu di gereja, selebihnya tidak. Ia hanya menuhankan Allah di gereja, selebihnya tidak.

Pertanyaannya, apakah selama ini pelayanannya dapat jadi berkat, padahal imannya tidak terintegrasi total dalam hidupnya atau ibadahnya? Kalau dilihat secara kasat mata, kemampuannya yang hebat memang membuat orang menikmati ibadah. Bisa jadi Tuhan pakai pelayanannya untuk jadi berkat buat orang lain. Akan tetapi, benarkah Tuhan ada dalam pelayanannya? Apakah pelayanannya berkenan di hadapan Tuhan? Nasihat Paulus tadi walaupun ditulis untuk jemaat Roma, namun sebenarnya lebih ditujukan untuk pribadi demi pribadi. Karena ibadah selain bersifat komunal, juga bersifat personal sehingga ibadah yang sejati adalah ketika Tuhan ditinggikan, baik secara komunal maupun personal. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kita tidak bisa hanya menuhankan Allah di gereja, tapi tidak dalam hidup kita.

Ingat, fungsi pelayanan dalam ibadah adalah membawa orang lain untuk berjumpa dengan Tuhan. Jadi, bisakah seseorang yang dalam kehidupan pribadinya berperilaku semaunya sendiri dan tidak menganggap Tuhan itu ada dalam hidupnya, kemudian mau mengajak orang lain untuk berjumpa Tuhan dalam ibadah di gereja? Bisa kalau tidak ketahuan atau jemaatnya sudah dewasa secara rohani. Ingat, kita bisa jadi berkat sekaligus batu sandungan buat orang lain ketika mereka melihat hidup kita.

Jadi, sebagai pelayan-pelayan ibadah... kitalah yang pertama-tama jadi teladan mengenai ketundukan pada Tuhan, menjadi teladan mengenai relasi yang indah dan intim dengan Tuhan, menjadi teladan mengenai kebergantungan penuh kepada Tuhan. Sehingga kita bukan jadi pelayan-pelayan yang munafik atau NATO, supaya jemaat juga akan merasakan keindahan ibadah dengan TUHAN dan ibadah kita tidak sia-sia. Itu sebabnya selain latihan persiapan ibadah, kita perlu mempersiapkan diri dengan menjaga hidup. Ini juga berkaitan dengan esensi ibadah sejati yang kedua.

Kedua, ibadah sejati adalah ibadah yang kudus. Bukan saja sebagai persembahan yang hidup, Paulus juga menasihatkan jemaat Roma agar mereka mempersembahkan tubuh mereka sebagai persembahan yang kudus. Kudus berarti dipisahkan (separated) atau menjadi berbeda dengan dunia ini (ay. 2). Artinya, standart dari hidup kudus bukanlah hukum dunia ini, apalagi diri kita sendiri. Ingat, hidup kita telah ditebus sehingga bukan menjadi milik kita pribadi. Tuhan yang berhak atas hidup kita. Dari sejak semula memang demikian. Tapi, bukan berarti semua hukum di dunia ini tidak benar. Yang pasti, hukum yang benar tidak akan bertentangan dengan kebenaran Allah bukan? So, firman ini menunjukkan bahwa Roh Kudus yang telah menguduskan hidup kita, juga menuntut kita untuk mempersembahkan tubuh untuk dipakai bagi kemuliaan Tuhan.

Suatu ketika setelah sharing firman mengenai kekudusan hidup, ada yang berkata begini, “Karena saya belum bisa hidup kudus maka saya tidak mau melayani.” Sepertinya baik yah? Saya kemudian bertanya kepadanya, kira-kira kapan kamu akan menjadi kudus dan siap melayani? Dia ga bisa jawab karena faktanya kita ini sudah, sedang, dan akan dikuduskan. Artinya, di dalam hidup ini kita selalu akan memperjuangkan untuk hidup kudus. Bukan berarti jadi alasan untuk sengaja tidak kudus. Akan tetapi, pelayanan yang powerful adalah ketika kita dalam keadaan selalu berjuang untuk hidup kudus dalam segala aspeknya.

Artinya, kita telah mengalami sebuah proses yang layak dibagikan dan dipancarkan dalam pelayanan kita. Kita pribadi punya pengalaman rohani dengan TUHAN sehingga pelayanan kita akan menjadi hidup. Jika pelayanan kita hidup maka itu akan menjadi konsep yang ketiga, yaitu:

Ketiga, ibadah sejati adalah ibadah yang menyenangkan Allah. Nasehat Paulus mengenai ibadah yang sejati bukan hanya mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup dan kudus; melainkan juga yang berkenan kepada Allah. Kata “berkenan” dalam bahasa aslinya diterjemahkan sebagai menyenangkan Allah, dapat diterima Allah, atau memuaskan Allah.

Bagaimana ibadah bisa dikatakan menyenangkan Allah? Ibadah bisa menyenangkan Allah ketika ibadah dilakukan (baik di gereja ataupun kehidupan sehari-hari) bukan memuliakan diri, tetapi memuliakan Tuhan (God-centered worship). Sebaliknya, yang tidak menyenangkan Allah adalah ibadah yang memuliakan diri. Ibadah demikian adalah ibadah yang menggunakan segala cara untuk menyenangkan diri sebagai objek dan subjek ibadah. Ini dilakukan oleh orang-orang kafir pada zaman itu. Mereka biasa beribadah untuk mencari keuntungan sendiri.

Itu sebabnya, Paulus menunjukkan kepada jemaat Roma mengenai ibadah yang berbeda, yaitu yang berpusat pada Allah, yang menyenangkan dan memuliakan Dia saja (Soli Deo Gloria). Bukan hanya ibadah kita saja yang menyenangkan Allah, melainkan juga pelayanan kita. Di sinilah kita diingatkan untuk selalu menyelidiki motivasi pelayanan kita sedalam-dalamnya... apakah untuk menyenangkan diri sendiri atau untuk TUHAN semata.

Lalu, bagaimana kita menjalankan ibadah dan pelayanan yang memuliakan Tuhan? Ada sebuah slogan terkenal dari Rev. Dr. John S. Piper, “God is most glorified in us when we are most satisfied in Him.” Artinya, Allah paling dimuliakan di dalam kita ketika kita dipuaskan di dalam-Nya. Kata kita dipuaskan tidak berarti kitalah pusat ibadah. Dr. Piper menegaskan bahwa Allah itu paling dimuliakan di dalam kita BUKAN ketika kita (merasa) dipuaskan saja, tetapi ketika kita dipuaskan di dalam Dia.
Artinya, pertama-tama kita yang dipuaskan dengan hadirat Allah. Allah itu sebagai sumber kepuasan mutlak, yang di dalam-Nya, kita menemukan anugerah, belas kasihan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dll.

Hanya di dalam Dia saja kita semakin memuliakan-Nya. Ini mirip dengan apa yang dikatakan dalam Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 yang mengajar bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati-Nya selama-lamanya. Jadi, ibadah dan pelayanan yang memuliakan Allah adalah ibadah dan pelayanan yang menikmati Allah.

Bagaimana menikmati Allah? Apakah itu seperti sedang pakai ekstasi yang membuat kita tidak sadarkan diri? TIDAK! Menikmati Allah adalah menikmati Pribadi Allah dan firman-Nya dengan kesadaran penuh. Menikmati Pribadi Allah berarti ada suatu pengenalan yang mendalam tentang Pribadi Allah dan apa yang dikehendaki-Nya dalam firman-Nya. Jadi, ibadah dan pelayanan kita tidak akan pernah dapat menyenangkan Allah ketika tidak didasari oleh konsep firman Tuhan yang benar.

Sebagai bukti, ada banyak orang yang mengklaim diri sebagai orang yang melayani Tuhan, tetapi sayangnya tanpa mengenal Pribadi yang dilayaninya. Mereka sibuk melayani sebagai WL, singers, pemusik, usher, kolektan, VG, operator media, dll; tetapi tidak pernah baca Alkitab, saat teduh, berdoa, dan bahkan datang ibadah. Sebab fakta menunjukkan ada yang datang ke gereja kalau ada jadwal pelayanan saja. Kalau ga ada jadwal, ga tahu pergi kemana. Ada yang mau melayani supaya terkenal atau unjuk gigi (aktualisasi diri), supaya dapat pacar, supaya tidak nganggur, dan berbagai alasan pribadi lainnya. Jika demikian kapan kita akan menikmati Allah? Tanpa menikmati Allah semua yang kita lakukan adalah hampa karena jauh dari sumber sukacita, sumber damai-sejahtera, sumber kasih, sumber pengampunan, dan bahkan sumber hidup itu sendiri.

Saat ini, firman TUHAN mengajak kita semua untuk merombak konsep pelayanan kita. Ingatlah, ketika kita melayani Tuhan, perhatikanlah siapa yang kita layani dan kenalilah Pribadi yang kita layani itu melalui firman Tuhan. Pelayanan tidak bisa dilepaskan dari firman Tuhan. Pelayanan yang mengabaikan konsep kebenaran firman Tuhan adalah pelayanan yang sia-sia dan antroposentris (berpusat kepada manusia). Dan tentu saja, Tuhan muak dengan pelayanan tersebut, karena kita sebenarnya sedang melayani diri kita sendiri, bukan Tuhan. Itu artinya kita cuma bawa nama Tuhan atau pakai topeng orang Kristen, tapi sebenarnya Kristen palsu, Atheis praktis, karena iman kita tidak terintegrasi dalam hidup, ibadah, dan pelayanan kita.

Firman ini juga menjadi peringatan buat setiap kita yang melayani ibadah untuk sungguh-sungguh mengikut TUHAN secara total. Itulah integrasi iman dalam ibadah, yaitu tidak ada dualisme hidup. Hidup kita sama luar dan dalam, kapan saja, di mana saja, di hadapan siapa saja. Pokoknya total. Sebab kita hidup dalam TUHAN dan Ia hidup dalam kita. Semboyannya, apa sih yang engga buat TUHAN? I’ll neve give up and always fulfilling my heart with love. I’ll give my best until the time to rest. I’ll be faithful until Your grace is full. Artinya, kita tidak akan menyerah; melainkan selalu memenuhi hati kita dengan kasih-Nya. Tidak ada yang membuat kita berhenti memuliakan TUHAN dalam hidup ini, selain daripada kematian. Tetap setia sampai kasih karunia Allah benar-benar sempurna ketika TUHAN datang untuk kedua kali.

Wow, keren bukan? Kita bisa ngerasain kok. Jemaat bisa melihat dan merasakan bedanya. Yes, they do. Mereka akan terpikat dan terpesona dengan kemuliaan TUHAN di dalam dan melalui pelayanan kita. Mereka tidak dipuaskan hanya dengan jenis musik apa yang dimainkan, siapa yang melayani, gimana kerennya wajah kita atau suara kita, ada teman atau tidak, gimana gedung gerejanya; melainkan mereka akan dipuaskan hanya dengan kehadiran Tuhan dalam ibadah dan dalam pelayanan kita. Sebagai responsnya, mereka rindu ketika melangkah keluar dari gereja, hidupnya akan berubah dan bertumbuh seperti yang TUHAN inginkan. Itu tujuannya akhirnya. Peran kita adalah menginspirasi jemaat lewat ibadah sehingga hidup mereka juga jadi ibadah yang hidup, kudus, dan berkenan pada Allah. Pada saat itulah, Sang SUTRADARA drama kehidupan kita akan berdiri dan memberikan standing applause dan berkata, “Baik sekali perbuatanmu, Hai hamba-Ku yang baik dan setia. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan Tuanmu!” Maukah kita suatu saat mengalaminya? Amin and Soli Deo Gloria!

Selasa, 09 November 2010

KISAH TEMPAYAN RETAK: MENGENALI TUJUAN DAN KEBAIKAN TUHAN DALAM KELEMAHAN PARA PELAYAN


Ada kisah mengharukan mengenai tempayan retak. Kisah ini dimulai dari seseorang yang punya dua buah tempayan, yang dipikul di pundaknya dengan menggunakan sebatang bambu. Salah satu dari tempayan itu retak, sedangkan yang satunya tak bercela dan selalu memuat air hingga penuh. Setibanya di rumah setelah menempuh perjalanan panjang dari sungai, air di tempayan yang retak selalu saja tinggal separuh. Hal ini berlangsung setiap hari sampai dua tahun lamanya, yaitu si empunya tempayan selalu membawa pulang air hanya satu setengah tempayan. Tentunya si tempayan yang utuh sangat bangga akan pencapaiannya. Namun tempayan yang retak merasa malu akan kekurangannya.

Kegagalan itu akhirnya membuat dia berbicara kepada si empunya, “Aku malu, sebab selalu ada air mengucur sia-sia melalui bagian tubuhku yang retak di sepanjang jalan menuju ke rumahmu.” Si empunya itu tersenyum, “Tidakkah kau lihat bunga beraneka warna di jalur yang kau lalui, namun tidak ada di jalur yang satunya? Aku sudah tahu kekuranganmu, jadi aku menabur benih bunga di jalurmu dan setiap hari dalam perjalanan pulang kau menyirami benih-benih itu. Selama dua tahun aku bisa memetik bunga-bunga cantik untuk menghias meja. Kalau kau tidak seperti itu, maka rumah ini tidak seasri seperti sekarang ini karena tentulah tidak ada bunga.”

Kisah ini mewakili realita hidup kita di dunia. Saya pikir tidak ada satupun manusia yang sempurna, setidaknya akibat dosa mula-mula. Kelemahan, keretakan, keterbatasan, ketidakmampuan, kecacatan, baik jasmani maupun mental adalah natur hidup kita yang tak sempurna. Itu semua seringkali dipandang negatif oleh sebagian besar orang dan bahkan menjadi unsur penghambat besar bagi mereka yang melayani. Akan tetapi, seharusnya tidak demikian bagi orang percaya. Tuhan berkata, "Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.(Yes 55:8-9)." Ia bahkan menambahkan, "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan (Yer 29:11)." Di sini kita melihat bahwa penilaian kita sungguh tak dapat jadi ukuran. Bagai si empunya tempayan yang merancang sesuatu yang berguna bagi si retak, demikian Tuhan punya rencana indah atas hidup setiap pelayan-Nya, termasuk dalam kelemahan-kelemahan sekalipun.

Kelemahan bahkan menjadi suatu kesukaan buat Tuhan. Dalam kelemahan para pelayanlah, kuasa-Nya justru menjadi nyata sempurna (2Kor 12:9). Daud yang masih muda dan kecil-mungil menumbangkan raksasa Goliat. Musa yang rendah diri membebaskan dan menuntun umat Tuhan ke tanah perjanjian. Anak kecil dengan lima roti dan dua ikan menjadi pahlawan bagi 5000 orang lebih yang sedang kelaparan. If He can use anything, He can use you and me.

Sekarang aku bersyukur untuk sebuah gigi gingsul di antara deretan gigiku, yang telah menambah manis senyumku selama ini.

Terima kasih buat lidahku yang tidak fasih berbicara. Jika semua fasih bicara, siapa yang akan menjadi pendengar?

Terima kasih untuk tubuhku yang tidak proporsional. Keberadaannya membuat size busana jadi lebih berwarna. Berbahagialah para pengguna size L, XL, dst. Wakakakak...

Terima kasih buat papa-mamaku yang sederhana karena itulah aku tumbuh menjadi seorang pejuang.

Buat papaku yang telah mendidik anak-anaknya dengan keras, berbanggalah di surga sana. Anak-anakmu dalam kelemahannya masih ada dalam "track" sampai saat ini adalah karena didikanmu, omelanmu, dan pukulan sayangmu.

Buat mamaku yang tak berpendidikan tinggi, berbahagialah di rumah sana. Anak-anakmu dalam kelemahannya masih ada dalam "track" sampai saat ini karena tak pernah kekuarangan kasih sayang, selalu cukup dukungan hingga tak perlu terobsesi mencari-cari kasih yang tak pasti.

Buat semuanya yang pernah menyakitiku, sengaja ataupun tidak, kalian adalah anugerah Tuhan yang luar biasa. Terima kasih pernah menjadi tatah dan palu. Walau sakit, tapi dipakai Tuhan untuk membentuk keindahan di dalamku.

Buat semuanya yang pernah kusakiti, sengaja ataupun tidak, maafkanlah aku yang lemah. Kelemahanku ini membuktikan bahwa hanya Tuhan saja yang hebat dan sempurna.

Terima kasih terbesar kupersembahkan bagi Tuhan yang tanpa kelemahan dan keterbatasan.

D.O.M

D.O.M \(*_^)/


Deo optimo maximo, often abbreviated D.O.M., is a Latin phrase that originally meant "to the greatest and best god", referring to Jove, when the Romans were polytheists : IOVI OPTIMO MAXIMO (I O M). Centuries later, after the Romans had become monotheists via the adoption of Christianity, the phrase was used in reference to the Christian God, and meant "To God, most good, most great." Its use continued long after the fall of Roman civilization via Europe's retention of Latin as a scholarly and ecclesiastical language. Thus the phrase or its abbreviation can be found on many Renaissance-era churches and other buildings, especially over sarcophagi, particularly in Italy. It is also inscribed on bottles of Bénédictine liquor.

Retrieved from "http://en.wikipedia.org/wiki/Deo_optimo_maximo"

D.O.M (DEO OPTIMO MAXIMO)


Dua tahun masa pelayanan sebagai fulltimer udah hampir selesai. Gua harus jujur bahwa emang bukan dua tahun yang mudah. Bukan salah orang laen kalo gua ngerasa blom maksimal jadi berkat buat mereka yang udah TUAN percayakan. Masa-masa evaluasi diri dan sharing-sharing dari senior selalu mengindikasikan... bahwa ada sejumlah beban dan muatan pribadi yang blom gua lepas hingga berkat-NYA tertahan.

Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur (walo bubur itu sebenernya enak banget, luph u bubur Gibbas-Kebon Jati). Gua sadar bahwa menyesali 19 bulan yang telah lewat tiada guna. Gua prefer berdoa mohon ampun... 19 bulan telah jadi dumb bukan D.O.M. Gua prefer wawas diri... keberhargaan diri gua bukan semata berasal dari penilaian atau penghargaan dari orang laen. Apa yang kelihatan dan yang fana bukan ukuran kebahagiaan gua. So, gua musti prefer buat terus berjuang... hal-hal kecil yang ada di genggaman ini harus jadi D.O.M.

Mohon TUAN terima tubuh, pikiran, emosi, ambisi, kehendak, suara, energi, kesehatan, hati, dan semua potensi yang tak sempurna ini supaya jadi D.O.M. Tetap berjuang sampai TUJUAN!!!