Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Selasa, 28 September 2010

MENITI JEJAK SANG MARTIR


2
HARGA SEBUAH KENANGAN?


Belief is truth held in the mind; faith is a fire in the heart.
JOSEPH FORT NEWTON

Entah berapa lama pastinya aku ada di sini, dalam keremangan dan pasungan. Hidupku berlalu tanpa merasakan dengan nyata perputaran 24 jam. Pagi, siang, sore, atau malam tiada beda. Panas, dingin, hujan, atau cerah sama saja. Tiada matahari, bulan, atau bintang-bintang. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari nyala obor yang ada di dinding lorong. Itupun hanya berupa sorotan kecil yang berhasil menembus lubang jeruji berukuran 50 x 30 cm, tepat di pintu kayu bagian atas. Baru aku tahu terang itu apa. Terang itu indah.

Bagaimana akan kuhitung hari-hari, sementara ada empat dinding tebal yang membatasi jangkauan gerak dan pandang? Aku mengamati bahwa ada seorang penjaga yang secara berkala datang. Ia membuka pintu, melemparkan beberapa potong roti serta sebuah kantong berisi air dingin. Rasanya, sudah tiga kali kulihat petugas itu datang dan pergi. Itulah yang ku asumsikan sebagai tiga hari di luar sana. Baru aku tahu bebas itu apa. Bebas itu mahal.

Lalu, tempat apa ini? Aku tak tahu jelas. Seseorang telah menghantamkan gagang pedang di tengkuk hingga aku tak sadarkan diri beberapa waktu lamanya. Ketika membuka mata, aku telah ada di kamar yang lembab, pengap, dan penuh bau tak sedap ini. Kemungkinan besar, tempat ini adalah sebuah rumah tahanan yang terdiri dari beberapa kamar. Walau tak melihat, namun beberapa kali kudengar kegaduhan, tanda keberadaan para penghuni lain.

Sejujurnya, hati ini tak keruan tiap kali kudengar suara-suara itu. Ada tangisan memelas, ratapan pilu, teriakan histeris, rintihan kesakitan, dan tak ketinggalan gelegar amarah para penjaga. Seolah-olah menjadi sebuah pengumuman bahwa satu lagi penghuni akan masuk ruang pembantaian. Ketiga rekan satu selku juga merasakan yang sama. Kakek Simon akan segera memejamkan mata dengan amat rapat. Kedua tangannya yang terborgol bergetar keras. Lain halnya dengan Paman Leonardo. Ia akan segera menundukkan kepala dengan mulut yang berkomat-kamit seperti sedang memanjatkan doa. Sedangkan Thomas, yang dua tahun lebih tua dariku, akan memanggil-manggil nama Tuhan dengan suara setengah menjerit.

Aku bersyukur karena saat ini ketenangan tengah terjelma dalam kesenyapan. Ketiga orang itu pun menikmati tidur sebagai hiburan mewah pengusir lapar, sakit, bosan, dan ketidaknyamanan lainnya. Bagi mereka, mata yang terbuka hanya akan menyiksa. Kesadaran tak akan sanggup meredam gejolak jiwa yang rindu kebebasan. Sebaliknya, aku berharap tak akan segera terlelap. Masih banyak yang ingin kukenang dalam slide-slide memoriku, sebab hanya itu yang tersisa.

Sampai dititik ini, anda mungkin akan bertanya-tanya siapa aku dan apa yang sedang terjadi? Tanpa berpanjang-lebar, namaku Stefanus. 35 tahun sudah, aku berdiam di bumi ini. Aku adalah pria biasa saja. Kata orang, aku mewarisi kharisma bapa-bapa leluhur Israel. Ya, tak diragukan lagi bahwa darah Yahudi mengalir kental dalam diriku. Hanya saja, ada embel-embel keturunan Yahudi Diaspora di sana. Itu karena keluargaku termasuk dalam suku-suku yang terserak di wilayah bangsa lain. Kami fasih berbahasa Yunani dan akrab dengan budaya Helenis yang modern.

Perlu diketahui, bahwa kami tak pernah memilih untuk hidup jauh dari tanah leluhur. Sejarah kebebalan generasi pendahulu membuat kami kena murka Sang Pencipta. Mau tak mau, suka atau tidak; kami memang sempat menjadi orang asing di tanah perantauan. Namun, jangan sekali-kali berpikir bahwa para Yahudi Diaspora akan memungkiri garis keturunan ini. Sebaliknya, akan selalu ada kebanggaan menjadi Yahudi. Itulah yang mendorong keluarga besar kami meninggalkan rumah dan kembali ke Yerusalem, Kota Suci.

Ironisnya, ada kerabat yang masih melihat kami sebagai orang luar. Mereka adalah orang-orang kolot yang menjaga kemurnian SARA. Mereka menganggap sepi Keyahudian kami. Aku tak habis pikir. Otakku terus mempertanyakan semua itu. Apakah darah kami menjadi najis karena tinggal di perantauan? Apakah hubungan saudara dapat terputus karena kami menolak ritual legalis yang sebenarnya adalah maha karya kemunafikan? Berkenankah Allah pada belenggu fanatisme; sementara Ia sendiri telah berkorban demi mengaruniakan kemerdekaan? Sampai kapan mereka akan menutup pintu pada fakta, bahwa era telah berganti dan Mesias sudah datang? Lupakah mereka bahwa janji berkat umat pilihan bukan untuk digenggam erat dalam kesombongan; melainkan untuk disalurkan? Perilaku mereka sungguh mengesalkan, bahkan meresahkan.

Meski demikian, kami tak pernah menyesali keputusan untuk kembali. Di tanah inilah, kami mengecap kebahagian sejati; bukan karena gelimang harta atau tahta. Sukacita dan damai sejahtera, itulah yang timbul ketika ada di tengah-tengah persekutuan pengikut Jalan Tuhan atau Kristus kecil. Anda tak akan pernah mengira bahwa julukan itu sebenarnya adalah sebuah celaan bukan? Kami memang tak pernah menganggapnya demikian. Sebaliknya, sebagaimana seseorang akan bangga mirip dengan tokoh idolanya, kami pun bangga jadi cerminan Kristus.

Masih kuingat, betapa indah suasana pertemuan-pertemuan yang pernah kami ikuti. Usiaku sudah 12 tahun ketika pertama kali menghadirinya bersama kedua orang tua serta kedua kakakku, Yulius dan Alfeus. Di sana, kami mendengarkan pengajaran para rasul, mengidungkan puji-pujian Mazmur, menggelar perjamuan kudus, dan menaikkan doa-doa syukur. Kemuliaan di surga tercurah melimpah ketika kami menyembah. Kuasa Ilahi nyata dan mengalirkan mujizat. Semua orang hidup dalam kepenuhan kasih karunia, sehingga tiap-tiap pertemuan jadi titik balik perubahan hidup. Sebagai akibatnya, jumlah kami ditambahkan berlipat kali ganda.

Ada pula gaya hidup memberi dan berbagi. Bagi kami, itu adalah wujud iman. Jangan heran jika selalu ada dermawan-dermawan yang menjual milik kepunyaannya, lalu membagi-bagi hasilnya pada yang membutuhkan. Pak Yusuf dari Siprus adalah salah satu dari mereka. Dengan kemurahan, ia menjual ladang dan mempersembahkan uangnya di hadapan rasul-rasul. Dengan ketulusan, ia menyatakan bahwa hartanya adalah milik bersama. Tak pernah ada kata pengorbanan keluar dari bibirnya. Benarlah bahwa kami tak hanya dekat secara fisik. Kami juga lebur dalam kasih akan sesama, lebih dari akan harta.

Namun, sebagaimana langit yang tak selalu cerah; begitupun perguliran hidup tak selamanya indah. Kusadari bahwa perubahan demi perubahan harus dan akan terus terjadi. Bagiku, semua itu berawal dari sebuah batu. Batu ini memang batu biasa, layaknya batu-batu lain yang tergeletak di jalan dan diinjak orang. Bedanya adalah, aku terlalu sering dan terlalu erat menggenggamnya. Di dalamnya, kulihat bayangan masa lalu.

”Stefanus, cepat masuk ke dalam rumah!” Demikian ayahku berteriak sambil meraih dan menarik tanganku.

Selanjutnya, kami berdua berlari beriringan dan segera masuk ke dalam rumah. Aku merasa bingung dengan situasi tersebut. Semalam ayah tak pulang ke rumah. Lalu tiba-tiba saja, ia muncul dan membawaku pulang dengan tanpa alasan. Otakku penuh dengan tanda tanya karenanya. Namun, bibirku tetap mengatup, diam membisu. Hatiku yang memerintahkannya demikian karena kulihat wajah ayah yang lelah dan tegang.

”Kita harus segera berkemas dan pergi!” Lagi-lagi kudengar suara ayah. Kali ini, suaranya bergetar laksana gempa yang biasa menggoncang tanah Palestina.

Rupanya seluruh keluarga dan kak Tabitha, tunangan kak Yulius, sudah berkumpul menunggu kedatangan kami berdua. Melihat semua sudah berkumpul dan menampakkan ekspresi kecemasan, aku tak dapat lagi menahan bibirku.

”Bisakah Ayah menjelaskan kepadaku apa yang sedang terjadi?” kataku tak kalah cemas.

Sorot matanya seketika memandang tajam ke arahku. Kutelan ludah, namun tak bisa karena rongga mulutku terasa begitu kering. Kutundukkan kepala sejenak sambil menghela nafas, mengatur keseimbangan tubuh dan jiwa. Lalu, kulihat ayah mulai merogoh kantong kulit usang yang terikat di pinggangnya. Tiba-tiba, ia melemparkan sesuatu ke arahku. Refleks, kutangkap benda itu dengan tangan kananku.

Ternyata itu adalah sebuah batu. Warnanya abu-abu bersemu hitam kemerahan. Agak sedikit lengket permukaannya. Apakah itu darah yang telah membeku? Walau merasa geli, tetap kupandangi batu itu dengan teliti. Kubolak-balik dengan kedua tangan secara bergantian, lalu kembali kutatap wajah orang yang telah membuatku hadir di muka bumi ini.

”Bagus, kau cukup tangkas rupanya,” katanya sambil tersenyum kecil. Namun, senyum itu segera lenyap dan kembali berganti dengan ketegangan. ”Aku rasa badai sedang menghantam kita, Anakku. Semua anggota pengikut Jalan Tuhan harus siap menderita.” lanjutnya lagi sambil memandang kami satu demi satu.

Suasana hening seperti air yang seketika membeku diterpa angin dingin. Penjelasan ayah benar-benar singkat dan padat, namun bisa menjawab pertanyaan mengenai apa yang akan segera kami hadapi.

”Benarkah Diaken Stefanus telah tiada, Ayah?” kali ini Kak Alfeus angkat bicara dan memecah kesenyapan.

”Ya, ia telah tiada sebagai seorang martir. Ia adalah pahlawan, Anakku.”

”Rupanya api kebencian telah membakar dan melenyapkan akal sehat mereka, sehingga tega menumpahkan darah yang tak bersalah,” sahut Kak Yulius dengan nada marah yang tertahan. ”Pemuda itu! Aku tak akan pernah lupa wajah datar tak berperasaan itu, ketika ia melempar batu pertama ke kepala Diaken Stefanus. Dasar pembunuh berdarah dingin!” lanjutnya dengan geram.

Ibu dan kak Tabitha tetap tak bersuara. Mereka hanya saling berpelukan. Tak lama, air mata duka sudah tak terbendung lagi dan kemudian meleleh satu-satu di pipi halus mereka. Raut cantik kedua mutiara rumah kami itu memang masih ada di sana, namun nampak kurang bercahaya oleh karena duka. Aku tertegun. Anganku melayang membayangkan wajah orang yang disebut Diaken Stefanus itu.

”Hei, masih menatap batu itu lagi kau rupanya.” Suara kakek Simon yang serak dan berat otomatis membuyarkan tayangan masa lalu yang baru saja hendak kubongkar dari laci ingatanku.

”Ah, Kakek sudah bangun,” kataku sambil tetap memandangi batu itu. ”Saya merindukan keluarga saya, Kek. Kakek tahu kan, betapa saya mengasihi mereka?”

”Aku tahu dan sangat mengerti perasaanmu. Tapi, bukankah kenangan itu tak dapat dipilah? Sisihkan yang bahagia dan buang yang menoreh luka? Bisakah kau melakukannya? Sebaliknya, kulihat kepedihan yang amat sangat tergambar di wajahmu, setiap kali memandang batu itu. Sadarlah, masa lalu tak akan pernah terulang dan hadir kembali secara nyata!”

Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir tua dan keriput itu benar adanya. Akan tetapi, kupikir ia tak sungguh-sungguh memahami apa yang kualami. Entah mengapa, rasa kesal mulai merayapi hatiku. Makin lama, makin membesar bagai sebuah ledakan yang tak terhentikan.

”Saya rela!” kataku dengan sedikit ketus. “Saya tahu kepedihan akan kembali menyayat perasaan. Tetapi, saya rela! Jawablah, Kek! Adakah yang pernah siap kehilangan anggota keluarganya sekaligus dengan sekali tebas? Adakah saksi pembantaian seribu jiwa yang mampu hidup dengan tenang? Apakah saya tak pantas berduka karena semua itu? Duka ini demikian dalam bukan hanya karena sebuah kenangan pahit. Jiwa inilah yang sedang bergolak sebab ada yang menginjak-injak kebenaran di luar sana. Nurani inilah yang sedang bergerak mendesak untuk bertindak. Hati inilah yang sedang mengerang karena ternyata tiada daya untuk mengadakan perlawanan. Apakah kakek sungguh-sungguh mengerti perasaan saya?”

Mata kakek Simon meredup. Binar wajahnya menghilang sesaat. Tak lama, kudengar tarikan dan hembusan nafasnya yang berat. Aku sadar telah memberondongnya dengan kalimat-kalimat kasar bermuatan emosi. Itu sungguh tak pantas karena dia bukanlah musuhku. Namun apalah daya? Ludah yang telah keluar tak mungkin dijilat kembali. Bahkan air mata pun tak dapat kubendung. Lelehan hangat mulai menitik membasahi garis pipiku yang keras.

Seorang pria muda menangis di hadapan kakek tua berusia 75 tahun? Apa kata dunia? Persetan dengan dunia! Aku mungkin sedang rapuh hingga membutuhkan air mata ini untuk membuat hatiku lega. Kupikir ia pun memahaminya.

”Ya, menangislah. Menangislah, Anakku. Tumpahkan semua yang menyesaki dadamu itu,” kata kakek Simon.

Kepalaku tertuduk. Harga diriku terlalu tinggi untuk membiarkan orang lain melihat genangan air mataku. Itu sebabnya aku tak menyadari kapan ia menyeret kedua kakinya yang terpasung untuk melangkah mendekat. Aku hanya merasakan bahwa kehadirannya lebih hangat dari sebuah selimut kulit domba. Beberapa waktu kemudian, emosiku mencair. Kutegakkan kepala. Kuhapus titik air mata yang tersisa dan kuperlihatkan ketegaran seorang Stefanus.

”Maafkan kata-kata saya,” kataku dengan tulus. “Saya hanya tak ingin kehilangan jejak di tengah gejolak. Terima kasih untuk pengertian dan perhatian Kakek.”

Ia tersenyum mengumbar garis-garis keriput di wajahnya, lalu mengucapkan serangkaian kalimat yang tak kan pernah terlupakan.

”Tak apa, Anak Muda. Aku tahu kau telah mengalami sesuatu yang berat. Kita semua senasib di sini. Aku pun menyaksikan para pasukan penentang Tuhan itu membunuh anak-cucuku satu per satu. Leonardo kehilangan isteri dan puteranya yang masih berusia empat tahun. Sedangkan Thomas, ia tak pernah tahu bagaimana nasib keluarganya, masih hidup atau sudah mati. Meskipun begitu, aku bangga padamu.”

“Bangga? Untuk apa, Kek?” tanyaku penasaran.

“Bangga pada keberanianmu menghadapi mereka. Sejujurnya, aku sempat bertanya dalam hati. Pantaskah seorang anak muda sepertimu mengalami ini demi sebuah batu? Pantaskah engkau membayarnya sedemikian mahal yaitu dengan kebebasanmu, semangatmu, hidupmu, masa depanmu? Semua itu hanya untuk sebuah kenangan? Ternyata bukan. Bukan sekedar demi sebuah kenangan, melainkan demi sebuah kebenaran.”

Ya, aku tengah melangkah di sebuah titian yang bersahaja, yaitu kebenaran. Bukan tak ada maksud, ayah memberiku nama Stefanus. Ada suatu harapan yang indah di dalamnya, lebih dari sekadar rasa kagum pada sosok pemimpin yang adalah pejuang kebenaran itu. Dengan mewariskan batu ini, ia ingin agar aku menapaki jejak Stefanus. Entah perjuangannya atau kemartirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar