Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Jumat, 25 September 2009

Berpuasa Sebagai Gaya Hidup Orang Merdeka



Nast: Matius 9:14-17

Rubrik Fenomena dalam majalah Bahana ed. Juni 2008 vol. 206 menyebutkan ada dua gaya hidup yang berbenturan dengan iman Kristen, yaitu Hedonisme dan Konsumerisme. Hedonisme adalah budaya yang menyatakan bahwa kenikmatan pribadi merupakan nilai hidup tertinggi dan utama; sedangkan konsumerisme merupakan sikap hidup yang menikmati kesenangan. Mottonya: ”Lebih baik membeli daripada membuat sendiri, lebih suka mengonsumsi daripada memproduksi, hidup untuk makan dan bukan makan untuk hidup.”

Cocok sekali bukan? Kedua-duanya menekankan kenikmatan dan kesenangan dalam hidup. Padahal, iman Kristen yang dicetuskan dan diteladankan oleh Tuhan kita, YESUS KRISTUS dalam Matius 16:24 justru menyatakan yang sebaliknya: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.”
Itu sebabnya dikatakan bahwa hidup manusia semakin lama semakin individualis, egois, dan materialistis sehingga disiplin-disiplin rohani yang mempertebal iman mulai ditinggalkan. Salah satu disiplin rohani klasik yang mulai ditinggalkan oleh orang Kristen adalah ”puasa” sehingga puasa lebih dikenal sebagai lambang spiritualitas dari agama lain.

Namun demikian, tidak semua orang Kristen meninggalkan puasa. Ada juga yang sangat rajin puasa untuk menghadapi serangan Hedonisme dan Konsumerisme. Akan tetapi, puasa yang dilakukan cenderung mengarah kepada dua ekstrem:

Pertama, puasa dilakukan sebagai ritual agama yang wajib karena menganggap tubuh, makanan, dan hal-hal jasmani itu jahat/sesuatu yang setara dengan dosa. Jadi, puasa adalah bagian dari komitmen untuk hidup menderita atau menyiksa diri (askese) agar roh dibebaskan dari hal-hal yang jahat tsb. Saya pikir, puasa yang demikian ini sangat tidak manusiawi. Bukankah tubuh kita adalah ciptaan Tuhan yang dikatakan-Nya ”sungguh amat baik” (Kejadian 1:31)? Dan siapakah kita sehingga berani mengatakan tubuh ini jahat/sesuatu yang setara dengan dosa?

Memang sejak kejatuhan manusia dalam dosa, tubuh ini telah menjadi budak dan jajahan dosa. Akan tetapi, bukankah Tuhan YESUS sudah menebusnya dengan tubuh dan darah-Nya sendiri di atas kayu salib? Ya, setiap orang yang percaya kepada-Nya menikmati hidup sebagai orang-orang tebusan yang merdeka. Alam ini bahkan diciptakan Tuhan untuk dikelola dan digunakan bagi hidup kita, sehingga menikmati makan dan minum adalah salah satu cara untuk menghargai dan mensyukuri tubuh yang sudah Tuhan bentuk sedemikian baiknya. Bagaimana dengan mereka yang punya sakit-sakit tertentu dan tidak bisa berpuasa? Apakah mereka akan masuk neraka karena tidak bisa puasa?

Kedua, puasa dilakukan supaya kelihatan rohani/saleh; supaya dipuji orang;
atau supaya doa-doa permohonan kita dikabulkan Tuhan; sehingga kalau tidak sedang bergumul, boro-boro puasa, ke gereja aja malas. Kalau demikian, apa bedanya puasa kita dengan puasa agama-agama lain? Sama saja, ga ada bedanya, yaitu puasa yang egois/berpusat pada diri sendiri. Kalau sudah demikian, kita bukan lagi orang merdeka karena kita sedang diperbudak oleh hawa nafsu kedagingan kita sendiri.

Jadi, puasa itu sebenarnya perlu dilakukan atau tidak sih? Kalau perlu bagaimana caranya? Apakah 40 hari 40 malam seperti Tuhan YESUS ataukah sebulan penuh? Sehari penuh atau setengah hari? Apakah selama puasa boleh minum air putih? Apakah boleh melakukan puasa lain, yang tidak berpantang makan dan minum? Misalnya: puasa rokok, puasa nonton TV/Bioskop, puasa mengakses internet, atau puasa makan daging (vegetarian). Apakah selama puasa kita harus selalu mengurung diri di kamar, berkumpul di gereja, atau boleh melakukan berbagai aktifitas pekerjaan yang lain?

Saat ini saya tidak akan menunjukkan bagaimana cara/teknis berpuasa sedetail itu karena tidak semua orang mengerti arti pentingnya puasa. Firman Tuhan yang kita baca tadi, lebih berfokus untuk mengubah paradigma/pandangan/sikap sehingga kita mengerti esensi/prinsip dasar/makna puasa yang bukan sekedar ritual agama biasa, apalagi yang egois/berpusatkan pada diri sendiri; melainkan sebagai gaya hidup orang tebusan yang bebas-merdeka dari perhambaan dosa dan diri sendiri.

Apakah esensi/prinsip dasar/makna dari puasa sebagai gaya hidup orang merdeka?
1. Puasa adalah disiplin rohani yang mempererat persekutuan kita dengan TUHAN YESUS (ay. 14-15).
Tuhan adalah sosok SENIMAN AGUNG yang menopang seluruh kehidupan dari semua ciptaan-Nya. Manusia sesungguhnya tak dapat hidup tanpa Tuhan karena pada dasarnya manusia memang memiliki relasi kebergantungan yang begitu kuat pada Penciptanya. Manusia butuh untuk mengenal dan hidup lebih dekat dengan Tuhan. Itulah sesungguhnya tujuan semula dari diadakannya ritual-ritual/kegiatan-kegiatan keagamaan, yaitu membangun sebuah persekutuan yang intim dan indah dengan Tuhan.

YESUS adalah manifestasi/penampakan Tuhan dalam rupa manusia, yaitu Tuhan itu sendiri sehingga tidaklah berlebihan kalau disebutkan bahwa persekutuan yang intim dan indah dengan YESUS adalah fokus dari puasa kita. Konsep inilah yang sudah luntur dari hidup keagamaan orang Yahudi, sehingga di ayat 14 dikisahkan murid-murid Yohanes datang dan bertanya kepada YESUS: ”Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Pertanyaan tersebut menunjukkan betapa teguhnya mereka berpegang pada Hukum Taurat, yang mewajibkan mereka untuk menjalankan tiga tindakan besar keagamaan yaitu: memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa (lih. Mat. 6:1-18).

Tidaklah mengherankan jika mereka langsung berespon ketika melihat murid-murid YESUS tidak menjalankan puasa sesuai dengan tradisi/kebiasaan yang berlaku. Lalu YESUS menjawab mereka dengan cara yang sangat mereka mengerti, yaitu dengan memakai perumpamaan mengenai adat/tradisi pernikahan Yahudi. Setelah hari pernikahan, biasanya akan diadakan pesta/resepsi selama seminggu penuh bagi pasangan mempelai orang Yahudi. Pada waktu itu, kedua mempelai diperlakukan bak raja dan ratu, bukan semalam, melainkan seminggu penuh. Selama seminggu itu mereka mengadakan open-house/buka pintu bagi para teman dekat/sahabat mempelai. Tidak ada yang berpuasa/berdiet, tidak ada muka-muka yang muram dan murung. Yang ada hanyalah gelak-canda dan tawa-ria dalam kemeriahan pesta-pora.

Ya, bagi orang Yahudi, pesta perkawinan bukanlah waktunya untuk berpuasa. Puasa pada masa PL identik dengan kedukaan/ratapan. Oleh karena itu, berpuasa ditengah pesta hanya akan membawa kemurungan. Pesta perkawinan adalah waktunya untuk berbagian dalam kebahagian dan sukacita bersama sang mempelai. Setelah pesta itu selesai, barulah mereka kembali kepada realita hidup. Yang biasanya hidup susah dan sederhana kembali dalam kesusahan dan kesederhanaannya.

Dalam perumpamaan tersebut, YESUS menggambarkan diri-Nya sebagai Sang Mempelai, sedang para murid-Nya adalah para sahabat mempelai itu. Oleh karena itu, selama masih ada persekutuan dengan YESUS, maka para murid tidak perlu berpuasa. Kesulitan dan tantangan mengikut Yesus pasti ada. Akan tetapi di dalam kehadiran YESUS, para murid seharusnya hidup dengan getaran sukacita yang bergelora. Itulah natur kebersamaan dengan YESUS. Beda dengan para murid Yohanes. Bagi mereka, kesedihan sudah tiba karena pada saat itu Yohanes sedang dipenjarakan.

Jadi, YESUS sebenarnya bukan menolak puasa atau mau melawan Hukum Taurat. Ia justru ingin menunjukkan prinsip hidup keagamaan yang benar. Selama ini, orang Yahudi terus berpuasa untuk menantikan Mesias yang berasal dari Tuhan. Begitu ketatnya hingga mereka melupakan prinsip yang utama, yaitu persekutuan dengan Tuhan. Begitu kakunya hingga menjadi sebuah selaput tebal yang menutupi mata hati mereka. Sebagai akibatnya, mereka tidak tahu bahwa Mesias yang berasal dari Tuhan dan yang adalah Tuhan itu sendiri sudah datang dalam diri YESUS. Bukankah dengan demikian penantian dan puasa mereka jadi sia-sia saja? Patut disayangkan, mereka pada akhirnya tidak menjadi bagian dari kerajaan surga karena tidak mengenal dan memiliki persekutuan yang indah dengan YESUS, Sang Raja kerajaan sorga.

Sebaliknya, para murid Yesus telah mengenal, menyambut, dan bahkan tinggal bersama-sama dengan Sang Mesias setiap hari. Jadi, untuk apa mereka bersusah hati? Tetapi akan tiba waktunya, di mana YESUS Sang Mempelai akan direnggut dari sisi mereka sebagaimana Yohanes direnggut dari sisi para muridnya. Ya, tak lama lagi YESUS akan disalibkan, mati, bangkit, dan naik ke sorga. Pada saat itulah, para murid akan berpuasa karena begitu merindukan persekutuan yang indah dengan YESUS. Bukan puasa yang mengikat dan menyiksa diri agar dibebaskan dari jajahan bangsa lain dan mendapatkan keselamatan karena itu namanya menyogok Tuhan.

Mari kita bercermin dari cerita khayalan mengenai si Cecep. Suatu hari si Cecep meninggal dan hendak masuk ke gerbang kerajaan surga. Pintu itu dijaga oleh dua orang malaikat berpedang api.
Malaikat: Apa yang membuatmu berpikir engkau layak masuk ke sini?
Cecep: (Dengan senyum lebar) Tiga minggu lalu, saya memberikan uang seratus ribu kepada orang cacat.
Malaikat: Apa lagi?
Cecep: (Dengan senyum lebih lebar lagi) Dua minggu lalu, saya memberikan uang seratus ribu kepada seorang tunawisma.
Malaikat: Apa lagi?
Cecep: (Dengan senyum yang paling lebar dan sambil membusungkan dada) Seminggu lalu, saya menyumbangkan uang seratus ribu kepada orang panti asuhan.
Malaikat: Tunggu sebentar! (Ia masuk ke dalam dan kemudian keluar lagi) Saya telah membahas kasusmu dengan Sang Raja dan pendapat-Nya sama seperti pendapatku. Ini uangmu yang tiga ratus ribu dan pergilah ke neraka karena Sang Raja tidak suka sogokan.

Ya, Tuhan YESUS tidak suka sogokan. Oleh karena itu, percuma saja kalau kita melakukan puasa sebagai sogokan, supaya kita merasa tenang karena sudah menimbun banyak pahala di sorga, dan kita yakin akan selamat dengan itu, atau berpuasa supaya Tuhan senang sehingga doa-doa permohonan kita segera dijawab dan dikabulkan. Bukan, bukan itu yang menyukakan hati Tuhan. Semua itu cuma ritual hampa dan egois.
Kita ini sudah merdeka. Kita tidak perlu menyiksa diri hanya untuk selamat atau dapat berkat. Keselamatan dan berkat sudah diberikan menjadi hak dan warisan kita. Itulah fokus kedatangan dan pengorbanan YESUS di atas kayu salib. Yesaya 59:2 mengatakan: ”Tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga tidak mendengar, ialah segala dosamu.”

Allah itu kudus adanya sehingga dosa adalah suatu kejijikan bagi-Nya. Dosalah yang menghalangi persekutuan kita dengan ALLAH. Akan tetapi, Yesus sudah datang untuk memerdekakan manusia dari kuk perhambaan dosa yang mengikat dan merusak hubungan manusia dengan Tuhan. YESUS rela turun dari sorga yang nyaman ke dunia yang tidak aman untuk menjadi jembatan agar kita dapat bebas bersekutu dengan Tuhan. Tidakkah itu adalah sesuatu yang istimewa buat kita?

Setiap orang percaya yang sudah mengenal YESUS harus memiliki persekutuan yang erat dengan Dia. YESUS memang secara fisik tidak ada di sini dan tidak dapat kita lihat. Akan tetapi, Ia berjanji akan datang lagi untuk kedua kali, sebagai RAJA segala raja. Suatu saat nanti, Ia akan datang untuk menjemput dan mengijinkan kita untuk bertemu dengan Dia secara nyata. Saat ini, kita sedang dalam masa penantian. Untuk itulah kita harus berpuasa. Kita masih tinggal di dunia yang penuh dengan dosa, kejahatan, dan kesukaran. Oleh karena itu, kita perlu lebih setia dan tekun beribadah, berdoa, serta berpuasa sementara menantikan saat kedatangan YESUS yang indah dan mulia. Bukan puasa dukacita/ratapan; melainkan yang menyukakan dan yang membuat Tuhan tersenyum... yaitu puasa yang berpusatkan pada Tuhan, yang merendahkan diri demi meninggikan Tuhan, yang menahan diri untuk mendapatkan berkat jasmani demi mengharapkan hasil-hasil rohani yang memuliakan Tuhan, yang mengendalikan diri dari hawa nafsu kedagingan demi mengijinkan Tuhan untuk menguasai diri kita secara utuh. Itulah puasa sebagai gaya hidup orang merdeka.

Suatu kali saya pernah bergumul tentang hidup dan pelayanan saya. Saya sungguh-sungguh merasa sangat lemah, lelah, dan sensitif. Kalau ada yang tidak sesuai dengan idealisme saya, saya merasa kecewa luar biasa. Saya sempat sedih dan merasa sendiri.
Ada yang bertanya pada saya: “Kamu lagi BT ya?” Yang lain berkata: “Ah, kamu pasti lagi BTT (butuh tatih tayang).” Akan tetapi dalam hati kecil saya, saya menjawab: “Saya sudah mendapat kasih sayang yang cukup dari keluarga dan teman-teman dekat saya. Saya juga sudah berjuang melayani dengan penuh semangat dan ketulusan. Istilahnya, saya sudah habis-habisan. Akan tetapi, mengapa saya tetap merasa masih ada yang kurang. Saya merasa masih belum memiliki sesuatu yang dapat membuat pelayanan saya penuh arti.

Dalam proses, akhirnya saya mendapati bahwa saya bukan sedang BT atau BTT, melainkan BTTT (butuh tatih tayang Tuhan). Untuk itulah, saya memutuskan untuk melakukan puasa yang bukan mengikat. Bukan sekedar supaya pelayanan saya berhasil; melainkan untuk mengendalikan diri sendiri dari hawa nafsu, emosi, dan perasaan-perasaan yang menghancurkan.

Saya mencoba untuk berjuang mengatasi perasaan kecewa dan semua ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan orang lain dengan tidak makan dan minun. Tidak hanya itu saja, ditengah melakukan aktifitas sehari-hari saya berusaha menyediakan waktu-waktu khusus untuk berdoa, berbincang-bincang, curhat, memohon ampun, dan meminta kepekaan akan kehendak Tuhan bagi saya. Saya berusaha mengawali, menjalani, dan mengakhiri hari bukan dengan obsesi-obsesi, harapan-harapan, atau kebutuhan-kebutuhan pribadi saya; melainkan dengan Tuhan. Hasilnya sangat luar biasa. Saya disegarkan dan diigatkan kembali bahwa kebutuhan saya yang utama adalah mengecap Air Hidup yang hanya di dapatkan dari persekutuan yang erat dengan Tuhan Yesus.

Puasa ternyata bukanlah sekedar tidak makan dan minum, atau tidak menikmati sesuatu yang kita sukai. Puasa pertama-tama haruslah menjadi sebuah disiplin rohani yang menekan hawa nafsu kedagingan yang mengikat. Tidak makan dan minum adalah salah satu cara untuk menekan hawa nafsu kedagingan. Jadi, puasa bukanlah masalah boleh makan atau tidak, berapa lama melakukannya, dan bagaimana caranya; karena intinya bukanlah puasanya. Puasa hanyalah alat/sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mengasah kepekaan akan kehadiran Tuhan. Puasa adalah disiplin rohani yang mempererat persekutuan kita dengan Tuhan.

Persekutuan yang erat dengan YESUS akan membangun persekutuan yang erat dengan sesama kita. Saya mengamini bahwa puasa tidak hanya akan mendekatkan kita dengan Tuhan; tetapi juga dapat mencapai hasil-hasil yang bermanfaat dalam hidup sesama kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengabaikan esensi/prinsip dasar/makna kedua dari puasa sebagai gaya hidup orang merdeka.
Apakah itu?

2. Berpuasa adalah disiplin pribadi yang membentuk karakter Kristen (ay. 16-17).
Mari kita kembali pada budaya Hedonisme dan Konsumerisme yang sangat menjunjung tinggi kenikmatan. Fakta menunjukkan bahwa orang-orang yang hidup di zaman ini nampak sudah sangat dipengaruhi dan bahkan dirasuki oleh keduanya. Sekarang ini, orang tidak hanya mulai meninggalkan disiplin rohani; melainkan juga menanggalkan kasih. Kasih sebagai karakter Kristen sudah mulai memudar sehingga Pdt. Eka Darmaputera pernah menyebutkan kalau konflik-konflik gereja itu ternyata lebih parah daripada konflik-konflik di luar gereja. Tidak hanya itu saja, dikatakan bahwa
para pemimpinnya mengalami krisis integritas. Jemaatnya sibuk dengan dirinya sendiri.
Para majelis dan aktifisnya hanya mengejar target pelaksanaan program-program rutin gereja, tanpa menengok ke sekitarnya. Tidak mengherankan jika disebutkan bahwa gereja telah semakin kehilangan pengaruhnya di dunia kontemporer ini. Situasi seperti ini sungguh-sungguh tidak menunjukkan natur gereja sebagai kesatuan tubuh Kristus yang terdiri dari orang-orang merdeka.

Situasi yang sama juga terjadi pada orang-orang Yahudi, khususnya pada para murid Yohanes dan orang Farisi sebagaimana yang disebutkan oleh firman Tuhan tadi. Mereka disebutkan sebagai orang-orang yang terhisap dalam masa PL karena masih mempertahankan tradisi-tradisi yang lama. Tradisi-tradisi yang mereka katakan sebagai hukum Tuhan padahal mereka telah salah menafsirkannya dan bahkan menyalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka hidup benar demi menyenangkan Tuhan. Mereka sangat menantikan Mesias yang diharapkan dapat membebaskan mereka dari jajahan bangsa lain. Akan tetapi semuanya itu tidak pernah kesampaian karena ujung-ujungnya adalah "pokoknya" tradisi. Mereka tidak tahu apa arti dari semua kegiatan agama yang mereka lakukan sehingga tanpa sadar memenjarakan diri sendiri dalam kerangkeng tradisi. Mereka bahkan tidak tahu kalau PL sudah berlalu dan berganti dengan PB. Janji Tuhan sudah diperbaharui dalam kedatangan YESUS ke tengah-tengah dunia sehingga tradisi lama tentunya tidak cocok untuk zaman yang baru.

Itulah makna dari dua perumpamaan Tuhan Yesus mengenai menambalkan kain yang baru pada kain yang tua dan mengisi air anggur baru dalam kantong kulit yang tua. Kain yang baru dan air anggur baru adalah zaman PB/zaman anugerah. Pada zaman ini, YESUS datang membawa anugerah karena manusia tak pernah sanggup menyelamatkan dirinya sendiri. Kain yang tua dan kantong kulit yang tua adalah zaman PL/zaman hukum Taurat. Zaman ini sangat mementingkan hukum perbuatan baik karena YESUS belum datang.
Kain baru jangan ditambalkan ke kain lama. Kain baru ya kain baru bukan tambalan. Kain yang lama harus diganti dengan yang baru. Demikian juga dengan anggur baru. Anggur baru tidak boleh dimasukkan kantong kulit yang tua karena anggur itu akan tumpah sia-sia. Kantong tua yang sudah tidak elastis gampang pecah akibat tekanan gas yang dihasilkan oleh proses fermentasi anggur. Kantong baru yang lebih kuat dan elastis, itu baru cocok.

Pada prinsipnya, PB ada bukan untuk menambal/menghilangkan kelemahan-kelemahan hukum Taurat. Oleh karena itu, konsep lama harus ditanggalkan dan diganti dengan yang baru. Jangan dicampur-campur karena akan merusak konsep yang baru. Sukacita adalah mendapatkan anugerah dari Allah dalam persekutuan dengan YESUS Kristus itulah yang seharusnya mereka pengang sehingga konsep lama yang menonjolkan pengorbanan diri sendiri demi tradisi harus dihapus. Dengan demikian, pusat hidup mereka seharusnya adalah YESUS; bukan diri sendiri. Mereka seharusnya ikut Yesus; bukan tradisi. Mereka seharusnya membentuk karakter Kristen; bukan mental jajahan. Itu tidak mudah karena mereka harus mengubah pola pikir, perilaku, dan kebiasaan lama yang sudah mendarah daging.

Untuk membuat patung dari sebongkah batu. Diperlukan alat tatah, palu, dan benda-benda tajam lainnya. Batu yang bentuknya tak beraturan itu di tatah, di pahat dan diukir dengan besi sedemikian rupa. Kalau batu itu bisa berbicara, mungkin ia akan menjerit setiap kali tatah itu mengoyak dirinya: “Aduuh, sakit. Hentikan, hentikan!” Tentu saja sang pemahat tidak akan berhenti karena batu itu akan tetap jadi batu. Dengan telaten, ia terus menatah, memahat, dan mengukir sampai menjadi sebuah patung yang indah.

Itulah esensi/prinsip dasar/makna puasa sebagai gaya hidup orang merdeka, yaitu membentuk karakter Kristen yang sesuai dengan zaman anugerah ini. Ya, melalui puasa kita menatah, memahat, dan mengukir karakter Kristus dalam diri kita. Karakter YESUS adalah pola/patrun manusia sempurna yang harus kita contoh dan tiru. Ia tidak pernah mengumbar nafsu, melainkan selalu mengoyak hati-Nya untuk berbelas kasih kepada orang-orang kecil yang lemah dan terpinggirkan seperti kita. Ia tidak pernah menuntut dan memaksa dengan kuat-kuasa-Nya agar kita melayani-Nya, melainkan justru mengorbankan diri dan melayani kita.

Namun, sayangnya kita yang seringkali kurang menghargai-Nya dan mengatakan: ”Ah saya sudah terbiasa menikmati kasih Tuhan dan untuk itu saya sungguh bersyukur. Sudah lama saya tahu kalau Tuhan YESUS itu baik, jadi kalau lagi susah, butuh apa-apa, atau ada acara-acara besar di gereja tinggal adakan doa puasa saja. Berkorban tidak makan sehari penuh, kalau perlu seminggu penuh, atau kalau kurang yah sebulan penuh tidak jadi masalah; yang penting Tuhan menolong kita. Setelah pergumulan kita selesai, maka selesailah pula puasa kita. Puasa itu tidak perlu setiap waktu apalagi jadi gaya hidup. Rajin ke gereja, memuji Tuhan, mendengar kotbah, dan melayani dengan semangat sudah cukup untuk menyenangkan hati Tuhan.

Akan tetapi, Senin s/d Sabtu kembali jadi bos yang semena-mena dan suka menghakimi di kantor. Senin s/d Sabtu kembali jadi pegawai yang bekerja dengan melakukan berbagai kecurangan. Senin s/d Sabtu jadi siswa/mahasiswa yang suka menyontek.
Senin s/d Sabtu kembali jadi budak hawa nafsu dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik seperti: bergosip, berbohong, omong kotor, fitnah, marah tanpa pengendalian diri, egois, mau menang sendiri, merasa benar sendiri, suka ngambek, iri hati, serakah, hidup untuk diri sendiri, suka menyakiti hati orang lain, dll.
Semua itu menandakan tidak adanya perubahan hidup di dalam diri kita. Tidak adanya perubahan hidup menandakan tidak adanya kelahiran baru. Kalau sudah begitu, maka sia-sialah puasa, ibadah, dan pelayanan kita karena tidak ada YESUS di dalam diri kita.

Elmer L. Towns dalam Puasa untuk Melakukan Terobosan Rohani menyatakan bahwa tujuan Allah untuk puasa adalah perubahan hidup. Kita bisa melihatnya dalam Yesaya 58:3-4 yang mengatakan: Pada hari puasamu engkau masih tetap melakukan sesukamu, dan kamu memeras tenaga semua buruhmu. Puasamu berakhir dengan berbantah dan berkelahi serta memukul satu sama lain dengan tinju yang jahat. Kamu tidak dapat berpuasa dengan caramu seperti sekarang ini dan berharap suaramu akan di dengar di tempat tinggi.

Saat ini gereja dan bangsa ini sedang menjerit untuk adanya orang yang mempunyai karakter dan integritas. Yaitu orang-orang yang mendapat kesembuhan secara emosional dan memperoleh kekuatan di dalam Kristus untuk mengalahkan kebiasaan-kebiasaan yang penuh dosa dan merusak. Orang-orang yang mendisiplin diri untuk dapat menghadirkan kasih KRISTUS ke tengah dunia sekarang ini, yaitu YESUS-YESUS MASA KINI.

Sampai pada pergumulan mengenai bagian ini, saya mendapat tamparan dari TUHAN. Bukan melalui kotbah atau KKR Pendeta terkenal, melainkan melalui seorang nenek tua-renta. Saya memanggilnya Ibu Robin atau Mbah Robin mungkin lebih cocok karena usianya sudah 75 tahun. Ia adalah seorang wanita tua yang kurus. Badannya nampak sangat kecil jika dibandingkan dengan saya. Pada siang hari, ia biasanya lewat di gang tempat kost saya. Dengan langkah terseret-seret, ia berjalan menyusuri gang sambil memungut bunga-bunga kamboja Bali yang luruh di atas aspal. Tak jarang ia harus menunduk, menbungkuk, dan meringkuk untuk memungut bunga-bunga yang jatuh di selokan. Sesekali, ia memberanikan diri untuk minta ijin masuk ke kos-kosan untuk mengambil bunga yang akan dikeringkan sebagai bahan lulur katanya.

Nenek yang gampang dikenali karena tiga gigi yang nongol keluar ini mengatakan bahwa ia punya banyak anak. Akan tetapi, mereka semua jijik padanya. Itu sebabnya, ia mengembara mencari nafkah untuk merawat ayahnya dan mencukupi hidupnya sendiri.
Kalau ada yang memberi uang, ia bisa membeli makanan. Kalau tidak, ia tidak pernah berniat untuk meminta-minta. Dengan tubuhnya yang renta, ia menyusuri jalanan untuk memunguti bunga.

Ketika melihat-Nya, mulanya saya miris dan menjadi sedih. Saya mulai membayangkan diri saya yang mulai menua dan menjadi sepertinya. Itu membuat saya menangis dan berteriak kepada Tuhan: Tuhan, bagaimana kalau saya sudah menjadi tua seperti itu? Apakah saya akan sendiri dan ditinggalkan? Saat ini, saya sengaja tidak makan dan minum karena puasa. Tetapi suatu saat kelak, apakah saya akan menjadi hamba Tuhan yang puasa karena tidak ada yang dapat dimakan? Saya sudah habis-habisan melayani Engkau, tolong pelihara saya!

Itulah contoh kain lama, kantong kulit tua, pola pikir lama, yaitu mental jajahan yang dikuasai oleh hawa nafsu kedagingan yang egois. Seketika firman Tuhan ini bergaung dalam jiwa saya dan mengubahkan pola pikir yang egois itu. Saya mulai menatap sepatu silver saya dan berkata: "Sepatu itu harganya Rp. 114 ribu. Rp. 114 ribu bisa jadi nasi jinggo berapa ya? 114 ribu dibagi 2 ribu, sama dengan 57 bungkus nasi untuk Mbah Robin. 57 bungkus nasi sama dengan 19 hari tanpa kelaparan buat dia.
Oleh karena itu, saya berkomitmen bahwa selama puasa saya akan menyisihkan uang makan dan uang jajan saya untuk disimpan lalu diberikan kepada mereka yang membutuhkan.

Itulah contoh dari kain baru, anggur baru, pola pikir baru, yaitu sikap hidup orang merdeka yang dilingkupi oleh anugerah. Puji Tuhan, akhirnya saya mengerti makna puasa sebagai gaya hidup orang merdeka untuk dapat dibagikan di sini. Puasa demikian telah lama dilakukan oleh Seorang Pendeta dari gerejanya Elmer Towns, penulis buku Puasa untuk Melakukan Terobosan Rohani. Pendeta itu mengumpulkan sejumlah besar uang melalui puasa yang dilakukannya. Tak lama kemudian, seluruh gereja itu pun berpuasa. Dan apa yang terjadi? Allah turut campur tangan dalam masa krisis nasional di daerah di mana gereja itu berada. Sungguh luar biasa.

Yesaya 58:6-7 mengatakan: Berpuasa yang Allah kehendaki ialah supaya kita membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepas tali-tali kuk, supaya kita memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya kita memecah-mecah roti bagi yang lapar dan membawa ke rumah kita orang telanjang, supaya kita memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudara kita sendiri. Firman Tuhan ini mengajak kita semua sebagai orang-orang yang merdeka untuk berpuasa. Bukan sekedar tidak makan dan minum; melainkan puasa yang menguasai diri sebagai gaya hidup orang merdeka demi menghadirkan Kristus, demi menjadikan diri sebagai YESUS-YESUS Masa Kini. Puasa yang memiliki dua dimensi, yaitu vertikal dan horisontal, yang pada prinsipnya:
1. Puasa adalah disiplin rohani yang mempererat persekutuan kita dengan TUHAN YESUS (ay. 14-15).
2. Puasa adalah disiplin pribadi yang membentuk karakter Kristen (ay. 16-17).

Tidak mudah? Pasti. Akan tetapi, Tuhan telah berjanji dalam Yesaya 58: 8-12 bahwa Ia akan membuat terang kita merekah seperti fajar, Ia akan mendengar seruan doa kita, Ia akan menuntun kita senantiasa, memuaskan hati kita dengan aliran Air Hidup, memperbaharui kekuatan kita ... sampai akhirnya kelak kita berjumpa lagi dengan YESUS dalam kemuliaan Surga.

DOAKU UNTUK MENJADI YESUS MASA KINI
By Marc Estes, JESUS TODAY (Yesus Masa Kini)

Ya, YESUS
Aku mau memulai hari ini dengan bersyukur kepada-Mu
atas kesempatan untuk minum dari Air Hidup-Mu.
Aku juga bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah memberiku
kehormatan untuk menyembah-Mu dalam roh dan kebenaran.
Sulit dipahami kalau ada orang yang telah mengecap Air Hidup-Mu,
tetapi masih haus akan segala hal yang lain, selain diri-Mu.
Namun, aku juga telah minum dari sumur-sumur
kesenangan, keberhasilan, dan keinginan daging.
Aku menyadari bahwa kesegaran dari sumur yang lain itu
menyebabkan aku kehilangan pandangan akan rencana-Mu yang mulia bagi hidupku.
Juga menutupi penglihatanku dalam memandang orang lain
seperti Engkau memandang mereka.
Aku mengaku pada hari ini
bahwa ada kalanya aku merasa tidak layak.
Ada banyak kebutuhan yang mengelilingiku setiap waktu, setiap hari.
Perasaan yang menguasaiku ini menyebabkan aku
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang hadir di tengah jalanku.
Aku ingin Engkau mengganti mataku yang dikuasai hal-hal duniawi ini
dan biarlah aku dikuasai oleh cara pandang seperti diri-Mu.
Ubahlah mata fanaku ini dan gantilah dengan mata yang tidak egois.
Biarlah aku mengganti mata jasmani ini dengan mata rohani dari-Mu
sehingga aku dapat menyampaikan tujuan hidup dalam hidup orang lain.
Yang terutama, ya YESUS, beri aku mata injil.
Tolong aku untuk dapat melihat orang lain seperti Engkau melihat mereka.
Amin
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar