Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Selasa, 22 September 2009

My Soulmate


Nast: Kejadian 2:18-25

As I said before, menjadi “lajang” ternyata bukanlah pilihan hidup bagi sebagian besar orang. Bukankah kita telah terbiasa menetapkan target untuk menikah di usia tertentu? Artinya, mungkin ada ketakutan/kekuatiran terhadap suatu jalan hidup yang dinamakan “menjomblo” atau melajang. Berbagai upaya rela dilakukan agar tidak mendapatkan predikat jomblo. Di antaranya adalah dengan cara mempercantik penampilan fisik, mengikuti sekolah pengembangan kepribadian, mengasah diri dengan berbagai keahlian (musik, seni, olah raga, dll), pamer harta dan kepandaian, sampai-sampai serangam kepolisian pun dipakai supaya bisa sukses TTP (tebar-tebar pesona). Ada pula yang pakai cara kekerasan/paksaan dan bahkan melibatkan kuasa kegelapan. Ya, cinta ditolak maka dukun bertindak. Bahasa mandarinnya: “Wo ai ni, ni pu yao, wo paksa” (Aku cinta kamu, kamu tidak mau, aku paksa kamu).

Pertanyaannya, mengapa sih sebagian besar orang memilih tidak melajang sehingga dunia kita ini dikenal sebagai dunianya para pasangan? Pdt. Sucipto Subeno menyebutkan beberapa alasan yang biasa diumbar kaum muda, namun sebenarnya tidak tepat.

Banyak orang menikah lantaran merasa harus menikah. Dengan kata lain, menikah adalah naluri atau panggilan alam sehingga disebut aib/abnormal kalau sampai diusia tertentu seseorang belum menikah. Akibatnya, banyak orang yang menikah karena dikejar-kejar umur dan bukan karena ada sebuah tujuan di dalamnya. Kalau begitu, apa bedanya kita dengan binatang? Sorry to say, hanya binatang yang menikah karena naluri atau panggilan alam.

Sebagian lain menikah karena ingin punya anak (prokreasi). Dengan kata lain, tujuan akhirnya adalah hanya untuk memproduksi dan membesarkan anak. Itu sebabnya ada pasangan yang saling menyalahkan kalau tidak punya anak. Tujuan ini juga biasa dipakai sebagai alasan untuk berpoligami. Menikah lebih dari satu kali supaya dapat anak, padahal di luar sana ada begitu banyak anak terlantar yang perlu uluran kasih kita. Sungguh sebuah tujuan yang sangat dangkal bukan?

Lainnya lagi menikah supaya ga kesepian sehingga pacar, suami/istri diharapkan dapat menjadi sahabat yang akan menemani dan membahagiakan kita seumur hidup. Tujuan ini bukan 100% salah. Memang persahabatan adalah salah satu bagian dari hubungan kasih antara dua sejoli. Akan tetapi bukan hanya itu saja. Kalau itu yang ditonjolkan maka orang bisa dengan gampang mengeluarkan kata “putus” atau “cerai” hanya dengan alasan sudah ga cocok lagi, sudah tidak ada cinta, atau dia sudah tidak bisa membahagiakan saya lagi. Kata putus dan cerai diucapkan segampang mengatakan “I love you,” “be my valentine,” atau “will you marry me?”

Kesalahan yang paling parah, pacaran atau menikah dianggap hanya sebagai sarana pelampiasan nafsu seksual. Yah, daripada ganti-ganti pasangan kan mending sama pacar sendiri. Toh, ntar juga menikah. Atau daripada berzinah kan mending menikah? Habis gimana lagi, udah kebelet neeh. Gue ga tahan lagi menyimpan hasrat terpendam ini lama-lama.

Seks memang dirancang untuk kita nikmati. Akan tetapi, itu bukan alasan utama dan terutama. Kalau kita pacaran atau menikah hanya untuk seks, kita bisa saja dengan tanpa perasaan meninggalkan pasangan kita dan kehilangan rasa cinta kalau ia tak dapat lagi memuaskan hasrat kita—mungkin karena sakit penyakit atau perubahan fisik. Coba sebutkan manusia mana sih yang akan selalu sehat dan tidak berubah fisiknya, sejalan dengan bertambahnya usia?

Firman Tuhan yang kita baca tadi menunjukkan bahwa Allah mengadakan hubungan cinta-kasih sepasang manusia tidak lama setelah Ia menciptakan manusia pertama. Artinya berpasang-pasangan, pacaran, dan menikah merupakan rancangan atau panggilan Allah, bukan karena naluri manusia atau panggilan alam. Allah punya tujuan ketika menciptakan manusia berpasang-pasangan. Jadi, apa sih tujuan Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan? Setidaknya ada dua tujuan:

1. Untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Ya, untuk kebaikan kita. Tahu lagu “S’mua Baik” kan? Memang benar bahwa sejak dari semula Allah selalu merancangkan apa yang baik bagi manusia karena kebaikan adalah natur Allah itu sendiri. Dalam kitab Kejadian kita bisa melihat bahwa Ia menciptakan manusia pertama dalam bentuk seorang pria. Ia kemudian mengatakan bahwa Adam, si pria itu adalah “sungguh amat baik (1:31).” Ia menempatkan Adam di sebuah taman indah bernama Firdaus dan menyediakan baginya semua hal yang terbaik untuk dimakan dan diminum, hal-hal terindah untuk dirasakan, dan hal-hal paling ajaib untuk dilihat. Allah menyatakan diri-Nya kepada moyang kita itu dan selalu memperhatikannya. Tidak hanya itu saja, Allah juga mempercayakan bumi dan taman indah itu untuk ia kelola.

Meskipun begitu, bagian yang udah kita baca tadi justru menunjukkan kali pertama Allah menyatakan ada yang “tidak baik” dalam diri pria yang bernama Adam itu (lih. 2:18). Apa yang tidak baik? Mari kita perhatikan selengkapnya. Allah berkata, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.” Artinya, Allah melihat bahwa pria membutuhkan makhluk yang sepadan dengan dirinya. Kisah selanjutnya sungguh indah, yaitu Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara (ay. 19). Bayangkan betapa ramainya pesta pertama Adam dengan berbagai jenis marga-satwa itu. Ia pasti sangat menikmati bermain, memberi mereka makan, dan menamai mereka untuk pertama kalinya.

Meskipun unsur pembentuk manusia, segala jenis binatang hutan, dan burung-burung di udara itu sama-sama dari “tanah,” namun Allah tetap tidak melihat adanya kesepadanan. Ya, meskipun taman itu sudah lebih padat penghuninya dan lebih hidup suasananya, namun Allah tetap tidak puas karena Ia melihat bahwa Adam masih tetap seorang diri saja. Di malam hari ketika semuanya sedang tidur, Adam terlihat meringkuk sendiri persis seperti Pungguk di atas pohon yang merindukan bulan. Matanya yang sayu menatap langit yang gelap. Hatinya yang sepi mulai dikuasai oleh kesunyian. Paduan suara indah dari si Jangkrik semakin membuat perasaan romantisnya meluap-luap. “Aku merindukan sesuatu. Tetapi, aku tak tahu apa itu,” begitu keluh si Adam. Coba ada sesuatu yang bisa menghangatkan hatiku seperti sang surya pagi. Andai saja ada yang bisa menyegarkan jiwaku seperti titik-titik embun di pagi hari.

Perasaan rindu yang tak berbatas itu rupanya membuat Adam merasa lelah dan mengantuk sehingga ia tidak sadar bahwa Allah sebenarnya sedang bekerja dengan membuatnya tertidur. Allah tidak ingin membiarkan yang tidak baik itu berlama-lama ada dalam diri manusia maka hal terindah di dunia itu pun terjadilah. Dengan penuh kasih, Allah mengambil salah satu rusuknya dan membentuk seorang penolong yang sepadan dengan dia (ay. 20).

Sepadan itu ternyata tidak berarti sama persis semuanya. Kalau sama persis, itu namanya jeruk makan jeruk. Sepadan artinya dari spesies yang sama, namun beda model yaitu seorang “wanita.” Sama tapi beda, beda tapi sama. Itulah pria dan wanita. Walau keduanya berbeda, namun sama-sama spesial/unik; sama-sama serupa dan segambar dengan Allah. Ya, wanita hadir di dunia ini karena inisiatif Allah yang sangat mengasihi Pria. Allah menghendaki pria dan wanita saling mengisi dan melengkapi satu dengan lain. Apa yang kurang pada pria ditutupi oleh wanita. Apa yang lemah pada wanita ditopang oleh pria. Saling mengasihi dan menguatkan. Itu sebabnya ketika Allah membawa wanita pertama itu ke hadapannya, Adam begitu senang karena rindunya tak bertepuk sebelah tangan. Dengan girang ia berkata, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. My soulmate.”

Mereka berdua pun menyatu menjadi satu daging yang tak terpisahkan, menjadi belahan jiwa alias soulmate. Mereka berdua benar-benar telanjang tanpa malu-malu. Tidak ada yang mereka tutup-tutupi satu dengan yang lain. Keberbedaan, kebaikan dan kelemahan masing-masing tidak ada yang disembunyikan. Ketelanjangan dan keterbukaan ini menciptakan ikatan batin yang begitu dalam dan tak terpisahkan.

Ini adalah dua benda berbahan plastik yaitu kotak plastik dan mangkuk plastik, bukan? Bagaimana jika keduanya disatukan? Tetap saja dua. Bentuknya aneh lagi. Kalau ini apa? Dua benda yang berbahan plastik juga. Sama dong dengan yang tadi. Tapi, bagaimana jadinya bila mereka disatukan? Wow, klop dan cocok. Kita sekarang cuma ngeliat satu benda yaitu sebuah kotak makan plastik. Bentuknya jadi bagus ya? Bahannya sama, bentuk dan warnanya beda, tapi klop dan kelihatan indah.

Itulah tujuan Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu, menyatukan dua hati yang berbeda dalam satu ikatan kasih dan demi kebaikan. ”Demi kebaikan” mereka bukan berarti aman dan mesra terus tanpa berantem; melainkan adanya keterbukaan untuk menerima kelemahan/kelebihan dari tiap-tiap pribadi yang berbeda. Untuk bisa begitu, karakter-karakter, kebiasaan-kebiasaan, selera-selera, pribadi-pribadi, dan ego-ego yang berbeda itu harus dibuka dan kemudian dilebur dengan kerendahan hati. Dengan begitu pria dan wanita bisa menyatu dan saling melengkapi.

Kesatuan itu ternyata lama-lama bisa menimbulkan ikatan batin jika dihiasi dengan kesetiaan. Itu sebabnya kata putus atau cerai seharusnya bukan sesuatu yang mudah untuk dikatakan. Kalau kita benar-benar mencintai dia, maka ada keterikatan kuat yang tidak dapat digambarkan oleh kata-kata. Sehingga kalau kita putus apalagi cerai, ada sesuatu yang sedang dicabut dari diri kita dan rasanya pasti sangat sakit sekali. Itu sebabnya kita ga boleh main-main dalam berpacaran. Ga boleh asal pilih dan asal tembak saja karena dia cantik/ganteng, karena dia pintar dan kaya, karena merasa cocok dan nyambung ngomongnya, atau merasa sudah waktunya dan malu dibilang jomblo terus.

Kesalahan klasik yang sering dilakukan oleh banyak pasangan adalah memilih PH dengan kacamata fisik dan apa yang kelihatan oleh mata. Kalau masih remaja mungkin bisa dimaklumi (walau tetep aja ga bener sih coz sedari muda kudu belajar ga liat sesuatu dari luar saja). Akan tetapi sebagai pemuda-pemudi yang sudah dewasa, kita harus lebih teliti dan berhikmat lagi. Kita harus mulai mencari dan menyesuaikan diri dengan tujuan Allah mula-mula ketika Ia merancangkan kisah cinta sepasang manusia.

Ingat, Allah yang merancang manusia untuk berpasang-pasangan. Rancangan itu adalah untuk kebaikan kita. Jadi kita tidak seharusnya gampang berkata “kita putus aja” segampang berkata “I love you.” Kita juga tidak boleh asal bilang “will you marry me” dan “pokoknya cerai” begitu saja tanpa tanya-tanya Tuhan. Bayangkan betapa sedihnya Allah jika kita sembarangan pilih PH tanpa berdoa kepada-Nya, atau jika kita gampang jadian dan putus dengan semboyan “mati satu tumbuh seribu.” Itu berarti kita tidak menghargai Tuhan.

Berpasang-pasangan merupakan sebuah anugerah sekaligus panggilan Allah bagi satu pria dan satu wanita; bukan satu pria dengan empat wanita, satu wanita dengan dua pria, pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Oleh karena itu, memilih pasangan hidup dan menikah harus disesuaikan dengan rancangan Allah; bukan direkayasa/diada-adakan sendiri. Pdt. Subeno dengan tegas menguraikan bahwa pernikahan yang tidak melibatkan Tuhan tidak akan mencapai titik maksimal kebahagiaan dan maksud dari pernikahan itu sendiri. Kepuasan seksual dan kenyamanan sementara mungkin bisa di dapat, tetapi itu bukan titik maksimal kebahagiaan, sebab titik maksimal kebahagiaan adalah damai sejahtera yang terjadi karena adanya keselarasan kehendak kita dengan kehendak Allah.

Kita ini seperti Adam yang terbatas dan ga tahu apa-apa. Itu sebabnya, kita perlu Tuhan yang maha tahu. Ia tahu siapa yang terbaik buat setiap kita. Ini bukan berarti jodoh itu adalah takdir. Ga ada yang namanya jodoh itu turun dari langit dan tiba-tiba nongol gitu aja. Dulu sih cuma ada satu pria dan satu wanita, jadi ga ada pilihan lain. Itulah yang terbaik karena pemberian Tuhan. Saat ini kita diberi kehendak bebas untuk memilih karena manusia sudah bejibun banyaknya sehingga bebas tidak berarti bisa pilih seenaknya. Jangan sampai udah terlanjur menikah baru sadar kalau dia bukan PH kita. Itu udah terlambat namanya. Oleh karena itu, kita tetap harus buka mata baik-baik untuk melihat dan mengamati. Selanjutnya, melipat tangan dan berdoa untuk melibatkan Tuhan. Lebih jauh lagi, buka telinga hati kita untuk mendengar kehendak Tuhan dan bersiap untuk taat apapun itu. Terakhir, kenali damai sejahtera Allah di antara perasaan-perasaan pribadi.

Sharing dikit nih. Mulanya saya tidak mau pacaran sembarangan atau memilih bergumul lebih dulu karena takut mengalami putus cinta. Akan tetapi setelah memahami hal ini, saya tidak pernah menyesal karena memang seharusnya tidak mudah memutuskan untuk berpacaran yang sesuai maksud dan tujuan Allah. Apalagi selain untuk kebaikan, Allah merancang manusia untuk berpasang-pasangan karena memiliki tujuan lain yang juga sangat indah yaitu:

2. Untuk kemuliaan Allah.
Kita pasti sudah berulang kali mendengar bahwa manusia diciptakan untuk memuliakan Allah. Tugas memuliakan Allah ini bukan sekedar sebuah kewajiban karena kita memang diciptakan untuk itu. Ya, kita hidup untuk membuat Allah tersenyum puas, termasuk ketika berpacaran ataupun menikah. Tujuan ini ditangkap oleh kitab Kejadian dengan menyebutkan kisah di mana Allah berkenan memberi mandat budaya kepada Adam dan Hawa, yaitu untuk beranak-cucu dan bertambah banyak; memenuhi, menaklukkan, dan menguasai bumi (1:26-28). Artinya, Allah ingin agar manusia menjadi wakil-Nya untuk menempati, menjaga, dan mengelola bumi ini. Dengan kata lain, manusia hidup untuk melayani Allah. Biar lebih jelas, mari kita perhatikan garis besar narasi berikut:

Adam di taman ditugasin untuk kelola (2:4-17)
I Tak ada pohon karena ga ada yang kelola (4-6)
II Manusia diciptakan dan Taman pepohonan di tanam (7-14)
III Manusia ditugaskan untuk mengola

Allah perbaiki kondisi untuk pemberian tugas (2:18-25)
I Adam membutuhkan rekan (18)
II Hewan tidak cocok jadi rekan (19-20)
III Allah ambil rusuk Adam (21)
IV Rekan ditemukan dalam diri Hawa (22-24)
V Adam dan Hawa jadi rekan (25)

Berdasarkan garis besar tersebut, kita melihat bahwa Allah memandang Adam ga bakalan mampu melakukan tugas yang Allah berikan ketika Hawa belum ada di sisinya. Itu sebabnya, untuk memperbaiki kondisi pemberian tugas tersebut Allah memberikan seorang rekan duet yang cocok. Duet Adam dan Hawa tidak hanya berhenti sampai pada pacaran dan pernikahan mereka saja. Keberadaan mereka sebagai belahan jiwa diarahkan untuk membentuk sebuah keluarga. Keluarga inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal terjadinya masyarakat dunia. Itulah mandat budaya. Adam dan Hawa ditugaskan untuk membentuk keluarga yang takut Allah.

Melalui keluarga pertama ini muncullah generasi demi generasi masyarakat yang menjadi pahlawan-pahlawan iman seperti: Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Daud, dan sampai akhirnya Yesus Kristus. Itu artinya, bangsa yang diberkati untuk menjadi berkat itu mulanya berakar dari benih Adam dan Hawa juga. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa peran keluarga pertama itu cukup besar bagi pekerjaan Allah dan bagi dunia. Salah memilih PH bisa berakibat fatal karena pengaruhnya bukan hanya bagi keluarga itu sendiri; melainkan juga pada tatanan masyarakat. Keluarga bisa menghasilkan budaya, hukum, konsep nilai, dan juga perilaku di dalam masyarakat. Bandingkan betapa besarnya pengaruh keluarga pada masyarakat dengan adat tertentu, mis: masyarakat Batak, Toraja, Minang, Tionghoa, Jawa, Dayak, dsb.

Di Alkitab sendiri yaitu dalam Kejadian 6:1-8 kita dapat melihat contohnya. Ketika anak-anak Allah mulai mencari PH sekehendak hati mereka sendiri maka muncullah sebuah masyarakat yang jahat hingga Allah ingin dan telah menghancurkan mereka. Sebaliknya, keluarga yang melayani Tuhan akan menjadi terang dan garam dengan menyatakan imannya. Peran ini pernah diperlihatkan oleh Nuh dan keluarganya. Karena ada keluarga Nuh yang takut akan Allah, maka peradaban manusia bisa berlanjut setelah dunia ini disapu dengan air bah.

Kesimpulannya, Adam dan Hawa disatukan bukan semata-mata supaya enak dilihat atau agar mereka bisa bersahabat, bukan juga untuk sekedar melampiaskan hasrat seksual, hanya untuk menghasilkan keturunan, atau hanya untuk kepuasan yang mereka nikmati sendiri. Mereka dipanggil menjadi satu daging untuk melayani sehingga kemuliaan Tuhan dinyatakan atas dunia. Ketika kemuliaan Tuhan nyata maka dosa akan dihapuskan dari dunia. Ketika dosa dihapuskan maka ada persekutuan yang indah antara manusia dengan Allah. Itulah tujuan mula-mula dan utama mengapa Allah menciptakan kita berpasang-pasangan. Jadi, panggilan Tuhan lebih penting daripada cita-cita manusia dan persekutuan dengan Tuhan adalah lebih tinggi daripada pernikahan manusia.

Ketika akan mulai mempersiapkan kotbah ini saya sempat merasa kuatir tidak dapat menghidupinya. Akan tetapi, saya justru bersyukur dan semakin dikuatkan setelah selesai mempersiapkannya. Rupanya mimpi saya mengenai seorang PH bukanlah sebuah hal yang menyimpang. Saya pernah bermimpi untuk mempunyai seorang PH yang terbaik dari Tuhan. Jika saat masih sendiri saya bisa melayani Tuhan dengan baik, maka ketika menikah, saya rindu dapat semakin luar biasa melayani Tuhan bersama dengan pasangan saya. Ketika saya dan dia melayani sendiri-sendiri bisa jadi berkat bagi sebuah pelayanan. Akan tetapi ketika kami bersatu melayani Tuhan, Kerajaan Maut terguncang karena takut dan gentar terhadap kuasa Allah yang kami nyatakan dan Kerajaan surga terguncang karena sukacita sebab nama Tuhan dimuliakan. Duet seperti ini jelas lebih hebat dari pasangan Batman and Robin yang sukses menghancurkan kejahatan di Gotham City.

Kalau membuat saya ga bisa melayani dan semakin jauh dari Tuhan, jauh dari kebahagiaan, serta jauh dari damai sejahtera yang sejati, untuk apa saya menikah? Lebih baik dengan sabar menanti meskipun usia sudah merambat mendekati tamat. Sambil menanti pasangan duet akbar itu, saya punya waktu yang lebih banyak untuk berkonsentrasi melayani dan membentuk karakter Kristen sejati sebagai bentuk persiapan membangun keluarga Kristen yang memuliakan Tuhan. Kalau sudah menikah sudah agak terlambat untuk melakukannya karena waktu sudah harus diatur dengan ketat untuk keluarga dan pelayanan. Sekarang adalah waktu yang terbaik. Itu sebabnya saya punya semboyan yang terinspirasi dari buku Lady in Waiting oleh Jackie Kendall dan Debbie Jones yaitu: “Menjadi yang terbaik bagi Allah di dalam penantian!” Ini adalah alasan utama mengapa saya tetap tenang di tengah tekanan lingkungan yang mewajibkan saya untuk segera menikah. Ini jugalah yang menguatkan saya untuk tidak sembarangan pilih PH karena dianggap sudah waktunya atau bahkan sudah basi untuk menikah.

Jadi, saya sangat tidak setuju konsep degradasi/penurunan standart pernikahan berdasarkan umur. Orang bilang kalau masih remaja dengan sombong seseorang bisa berkata: “siapa kamu?” ketika ada orang yang menyatakan cinta. Kalau sudah pemuda dan masih ok fisiknya: “siapa, saya?” Dan kalau sudah diatas 30-an: “siapa saja.” Discount, obral, gratis, berhadiah lagi. Itu salah banget.

Emang sih secara fisik menikah di usia di atas 30-an dianggap beresiko. Akan tetapi, bukankah panggilan Tuhan lebih penting daripada cita-cita manusia, persekutuan dengan Tuhan adalah lebih tinggi daripada pernikahan manusia, kepuasan Tuhan lebih utama daripada kepuasan kita? Semakin tua, standart saya mengenai PH malah semakin tinggi. Bukan soal fisik, materi, ataupun suku; melainkan kesesuaian, kesepadanan, dan kesatuan dalam melayani Tuhan.

Dan sekarang, saya berharap Firman Tuhan ini dan pengalaman pribadi saya dapat menjadi berkat dan menguatkan saudara—baik yang udah punya pacar ataupun yang belum; yang sedang PDKT atau yang sudah merencanakan untuk segera duduk di pelaminan; yang masih ileran soal pacaran, udah menikah, atau yang udah cerai dan mau merit lagi. Mari kita terus mengingat bahwa pacaran atau pernikahan itu bukanlah panggilan naluri/panggilan alam/takdir, bukan kewajiban sejarah supaya punya keturunan yang meneruskan nama sebuah keluarga, bukan supaya dapat sahabat sehingga ada yang ngurus dan buat kita ga kesepian, bukan juga sebagai pemuasan nafsu seksual.

Pacaran dan pernikahan adalah anugerah dan panggilan Allah sehingga harus sesuai dengan tujuan Allah mula-mula ketika merancang manusia berpasangan yaitu:
1. Untuk kebaikan kita.
2. Untuk kemuliaan Allah.

Ini adalah panggilan umum. Akan tetapi ingat, ada panggilan khusus yaitu untuk tidak menikah. Itu sebabnya tidak semua orang menikah. Panggilan khusus yang disebut selibat tersebut hanya berlaku untuk yang mendapat anugerah untuk membaktikan sepenuh hidupnya buat Tuhan. Bukan karena merasa ga punya PH akibat terlalu pilih-pilih dan menutup diri (kalo ngerasa udah ketemu calon yang sepadan dan setujuan: merit? siapa takut?). Ingat, titik maksimal kebahagian hidup bukanlah pernikahan; melainkan damai sejahtera yang terjadi karena adanya keselarasan kehendak kita dengan kehendak Allah.

Oleh karena itu yang udah punya pacar atau lagi PDKT jangan terlampau bahagia dan terlena hingga lupa bergumul, berdoa untuk menanyakan kehendak Tuhan. Yang JOJOBA (jomblo-jomblo bahagia) dan yang JOLJOTA (jomblo-jomblo menderita) jangan minder dan putus asa. Tetap buka mata baik-baik untuk melihat dan mengamati. Tetap melipat tangan dan berdoa untuk melibatkan Tuhan. Tetap buka telinga hati untuk mendengar kehendak Tuhan dan bersiap untuk taat apapun itu. Tetap asah kepekaan untuk kenali damai sejahtera Allah di antara perasaan-perasaan pribadi. Dan akhirnya, jadilah wanita atau pria yang terbaik bagi Allah dalam masa penantian.

Tuhan sudah berjanji dalam:
Matius 6:33
Jangan kuatir, carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semua itu akan ditambahkan kepada-Mu.
Ulangan 28:1-14
Jika kita baik-baik mendengarkan suara Tuhan dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya, maka segala berkat termasuk PH akan diberikan dan menjadi bagian kita.


Soli Deo Gloria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar