Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Selasa, 23 November 2010

COBA SELAMI DERITA KORBAN MERAPI, DAPATI KETERBATASAN DIRI


Melihat Indonesia tak henti ditimpa bencana fisik dan moral, hati ini ikut miris-teriris. Gua berpikir pasti ada sesuatu yang bisa dikerjain untuk negeri tercinta, selain berdoa (bukan berarti berdoa itu tidak melakukan sesuatu loh). Makanya waktu ada seorang pemuda yang share mengenai keberangkatannya menjadi relawan kecil-kecilan di daerah bencana, jujur gua iri banget. Gua merasa raga ini bakalan terus-terusan terpenjara dalam cangkang kenyamanan pribadi dan tembok tebal gereja mewah, sementara ada saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang merana dihajar bencana.

Tapi,TUAN yang kuasa ternyata maha tahu dan maha pemurah. Diberinya sebuah kairos dalam kronos hidup gua. Berkat hati kasih umat, akhirnya gua pergi juga melawat wilayah letusan merapi. Dengan antusias, gua mendobrak batasan-batasan diri yaitu hal-hal yang gua ga demen antara lain: kelemahan fisik akibat menstruasi, naik mobil, duduk berlama-lama, panas, keringatan, debu, pakai masker, dan waktu persiapan pelayanan yang singkat.

Dua hari semalam, satu tim terdiri dari tujuh orang berpetualang makin mendekati merapi. Menatap ngeri gumpalan debu yang konon berpartikel tajam sekaligus beracun. Menganga lebar menyaksikan patahan-patahan pepohonan dan kerusakan materi. Mengelus dada mendengar kisah derita para korban. Ngilu sekali dada ini menyaksikan sejumlah anak-anak dengan tubuh bermandi debu merapi.

Tadinya, gua pikir dengan mempersiapkan pelayanan yang menghibur (children care) dan membawa bantuan logistik sudah cukup untuk mengurangi derita para korban. Pertanyaannya adalah ada berapa banyak korban yang sanggup ditolong dengan sejumlah dana yang telah dikumpulkan? Jawabannya udah pasti terbatas. Bukankah para korban tidak hanya menjalani waktu sekarang ini saja? Ada masa depan yang harus mereka jalani bersama keluarga, namun tanpa tempat tinggal, tanpa pekerjaan, tanpa harapan. Moral seperti apa yang sedang ditanamkan kepada para korban dengan pemberian bantuan? Kebergantungan terhadap belas-kasihan atau kegigihan menghadapi persoalan? Apakah cerita petualangan si Bundut (burung gendut bersama Bu Awan, Pak Matahari, Pak Gunung) dapat menghapus trauma akibat bencana?

Pertanyaan-pertanyaan yang ada menyingkapkan sebuah realita keterbatasan diri. Mau ga mau gua berkata pada diri sendiri, "You are not a hero! Jangan pernah berbangga karena telah menghirup debu merapi! Jangan pernah merasa telah cukup berkorban demi sesama! Apa yang Elo lakuin ga akan pernah cukup karena hanya Sang Pencipta yang sanggup!"

Gua pulang dengan kepala tertunduk. Gua putuskan untuk tidak memikirkan apa yang ga bisa gua kerjain? Fokus ini harus segera dialihkan pada apa yang bisa gua kerjain. Gua emang ga sanggup menanggung derita negeri ini sendirian. Tapi, mungkin gua bisa turut berperan serta mencetak anak-anak muda yang cinta Indonesia, anak-anak muda yang ga menganggap merah-putih dan garuda pancasila sebagai aksesoris yang 'cupu', anak-anak muda yang mau bertekuk lutut menaikkan doa bagi bangsa, anak-anak muda yang berpadu mengusap air mata ibu pertiwi. I'm not a hero. But, I can fight to create some. Alangkah indahnya tidak berjuang sendirian.


2 komentar:

  1. I feel your emotion thru this post, tse.. kadang rasa ingin menanggung beban penderitaan semua orang sendirian memang muncul dan untunglah Tuhan masih memberikan kepekaan untuk merasa terbatas. Bagaimana memandang untuk terfokus pada hal yang dapat kita lakukan dan bukan pada apa yg tak dapat kita lakukan is a GOOD POINT! duh, jadi pengen nangis..

    BalasHapus
  2. Thx alot dear... cuma berusaha mengurangi beban hidup yang ga seharusnya aku pikul. Itu hak Dia. Hahaha...

    BalasHapus