Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Kamis, 23 Desember 2010

NATALKU BERSAHAJA: KETAATAN DI TENGAH KESUSAHAN


Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38)

Dua natal sudah kulalui di Bandung. Keduanya sangat kreatif, meriah, dan tentu saja mewah. Namun, ada yang berbeda pada natal kali ini. Di satu sisi, ada rasa senang melihat anak-anak muda yang begitu antusias mengasah talenta. Juga kunikmati gegap-gempita dan warna-warni karnaval natal. Namun jujur, semua itu sungguh melelahkan. Maka, kuputuskan menepi sejenak dari segala hingar-bingar interaksi dengan manusia dan juga dari kesibukan alam pikiran.

Entah kenapa yang muncul dibenak ini pertama kali adalah sosok Maria. Ia seorang perempuan belia yang aku perankan di atas panggung, 20 Desember 2010. Sekonyong-konyong kulihat diriku di kesunyian malam yang kudus. Aku termenung di jendela dengan mata menatap jauh ke langit, menembus kepekatan malam yang bertabur gemerlap bintang. Tidak hanya menikmati keindahannya; namun mengumbar angan dan menebar mimpi.

"Oh Tuhan, sungguh jauh rinduku tuk dapat dicapai!" Aku berteriak lagi dalam hati, "Tuhan, beri aku sepasang sayap tuk mengejarnya!" Kujulurkan tangan lagi ke luar jendela hendak menggapai sebuah bintang. Lalu, meleleh air mataku. "Ah, tak dapat kumeraihnya. Aku lelah menanggung semua beban yang membuatku menapak di bumi. Ingin segera kutanggalkan dan pergi menari-nari dengan sang mimpi."

Saat itulah kudengar sebuah suara lembut, namun begitu hangat. "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau!" Kutengadahkan wajah mencari asal suara yang menentramkan hati itu; namun tetap tak terlihat. Ketakutan mulai merayapi nyali. Namun suara itu kembali menggema, "Jangan takut, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya, Allah telah berkenan membagikan hati-Nya dalam hatimu, menaruhkan firman-Nya dalam mulutmu, dan menyuntikkan kekuatan-Nya pada ragamu untuk menunaikan tugas mulia tertentu."

Maka jawabku, "Bagaimana mungkin, karena aku hanya manusia sederhana yang sering dipandang sebelah mata. Kemampuanku diragukan, usahaku tak dihargai, keberadaanku diabaikan." Jawabnya, "Immanuel! Allah besertamu, takkan tinggalkanmu!" Hatiku berdegub kencang bagai diserang cinta pada pandangan pertama. Bibir ini ingin berucap seperti Maria. "Sesungguhnya aku ini ham...." Kucoba namun tak sanggup. Fiat Maria ini terlalu berat. "Tidakkah Engkau mengerti kesusahanku?" tanyaku sambil berusaha membenarkan diri. Ia berkata lagi, "Immanuel! Allah besertamu, takkan tinggalkanmu!" Ah, degub itu kembali terasa dan bahkan semakin kencang. Dengan sisa kebebalan terakhir, kumenjerit sambil tersungkur di lantai nan dingin. "Aku tak sanggup. Terlalu pahit. Ijinkan aku melepas kuk dan mereguk kebebasan!" Sekali lagi dengan sangat lirih suara itu berkata, "Immanuel! Allah besertamu, takkan tinggalkanmu!"

Kini kehedakku tak dapat lagi menolak harmoni dengan kehendak-Nya. Ini natalku yang bersahaja. Kubelajar ketaatan di tengah kesusahan. Entah apa yang terjadi di depan. Ku mulai disanggupkan berkata, "Sesungguhnya aku ini ham..., ham..., hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Immanuel!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar