Wellcome Brothers and Sisters!

From the fullness of HIS GRACE we have all receive one blessing after another. (John 1:16)


The LORD is my shepherd, I shall not be in want. (Psalm 23:1)

Kamis, 12 Agustus 2010

Love as a Communicable Atribute of God in My Name is Khan: What a Shame Me!


Apakah sebuah kebetulan gue bisa nonton film My Name is Khan (080310)? I don’t think so. Emang sih, gue biasanya ga terlalu demen nonton. Kalo mo nonton, biasanya harus nunggu rekomendasi orang laen. Tapi, kali ini beda. Mulanya, gue pilih tuh film gara-gara nama beken Shahrukh Khan dan Kajol yang legendaris. Terkenang gimana gue nangis abis menghayati lakon “cinta” mereka berdua di Kuch Kuch Hota Hai. Dan di film ini pun ga jauh beda… pokok’e mbrebes mili poll. Intinya, gue selalu percaya kalo sebuah kairos ada atas seijin Tuhan buat ngebentuk hidup seseorang, termasuk gue dwonk. ;p

Yang mo gue bagiin adalah sebuah perasaan yang beda waktu nonton film ini. Hampir mirip dengan waktu nonton aksi Benicio Del Toro di Wolfman, yaitu membekas dalam. Kalo Wolfman menyisakan kenangan simpati haru dan belas kasihan pada kemalangan tokoh Lawrence Talbot yang diperankan oleh Toro; My Name is Khan lebih mengusik si wild thought yang mendekam di otak gue.

Yang membuat My Name is Khan jadi menarik—specially buat gue—adalah karena berlandaskan true story. Peristiwa tragis di WTC Amerika Serikat pada 9 September 2001, yang adalah pemicu isu rasialisme pada keturunan India Muslim—khususnya yang bernama belakang Khan—menjadi background cerita. Apalagi sang Mega Star, Shahrukh Khan sendiri, juga pernah jadi korban paranoia Amerika terhadap Islam. Nama belakang Khan ternyata pernah jadi masalah buat dia pada 14 Agustus 2009. Ia menjalani pemeriksaan selama dua jam untuk bisa masuk ke negeri Paman Sam. Tak heran ada pernyataan yang menyebutkan jika kalender orang Kristen dibagi jadi BC dan AC, maka kalender kehidupan orang India Muslim di Amerika dipisahkan oleh 9/11.

Sebuah blog yang menyebut dirinya Buaya Film menyebut ada tiga komponen penting dalam film ini, yaitu kisah cinta, Islam dan autisme. Ga heran kalo orang bakal mikir begitu karena tiap peritiwa bagai disusun untuk mengumbar romantisme cinta sang tokoh utama Risvan Khan dengan ibunya; Risvan Khan dengan Mandira (Kajol); Risvan Khan dengan Islam; Risvan Khan dengan kemanusiaan. Seluruh adegan cinta-kasih di dalamnya memang nampak dibuat dalam satu sudut pandang yang membela kemanusiaan dan Islam. Pengontrasan antara tokoh Risvan yang autis dengan tokoh ulama yang menyerukan jihad bernama Dr. Faizal Rahman, seolah jadi cemooh bagi para teroris. Bagaimana tidak? Dari mulut seorang ”abnormal” karena terlahir dengan asparger sindrome (semacam autisme) keluar ungkapan nurani manusia normal, ”My Name is Khan and I’m not a terorist.” Dari sosok sederhana Risvan Khan juga memancar keteguhan iman dan rasa cinta pada kemanusiaan. Sedang dari para teroris yang nampak normal, memancar nafsu membunuh yang abnormal, yaitu membunuh manusia dan kemanusiaan dalam dirinya sendiri. Ck, ck, ck, ck...

Jadi, apakah sesungguhnya ini sebuah film tentang Islam? Mulanya gue ga berpikir begitu karena di awal cerita, ibu Risvan yang bijak mengatakan bahwa di dunia ini hanya ada dua tipe manusia, yaitu manusia yang baik dan manusia yang jahat. Kebaikan dan kejahatan manusia sama sekali ga ada kaitannya dengan agama. Yang ini berbau pluralis kali. Tapi, di penghujung kisah gue mulai jadi rada resah. Diceritain kalo si Risvan dan temen-temen muslimnya pada akhirnya jadi hero buat sebuah masyarakat Kristen di Georgia yang terkena bencana alam.

Kali ini, penonton layaknya sedang diarahkan buat ngeliat Islam sebagai agama cinta-kasih, bukan agama teroris. Juga sebelumnya diperlihatkan adegan di mana Risvan berkata bahwa sebuah keluarga terbentuk bukan semata karena ikatan darah; melainkan adanya ikatan cinta walau di tengah perbedaan ras, suku, dan agama—ungkapan yang sama pernah muncul dalam Spy Next Door-nya Jacky Chan. Gue berkata dalam hati, “Wah, ini jelas-jelas plagiat nih. Cinta kasih kan trade mark-nya orang Kristen?” Kebayang ga wajah gue waktu itu? Hahahaha... yang jelas bukan allay kok. Cuman ngernyit ajah.

Wild thought itu toh sempet bikin gue ngeliat sekitar dan tersadar bahwa ada kemungkinan kalo gue adalah kaum minoritas di studio itu. Jadi ngeganjel dan rada kaku suasananya gara-gara itu. Namun lagi-lagi gue diingatkan bahwa kasih ternyata bukan milik orang Kristen saja. 1Yohanes 4:7 menyebutkan bahwa kasih berasal dari Allah. Dengan kata lain, kasih adalah milik Allah itu sendiri. Siapapun yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Dia. Atribut kasih made in Allah ini akan menempel dan memberi identitas pada setiap ciptaan-Nya, termasuk pada saudara-saudari yang adalah Muslim—terlepas dari keyakinan keselamatan mereka yang beda. Huaaaaaaa, gue yang mengklaim diri sebagai orang yang berjuang buat mengasihi Tuhan, sesama, dan diri sendiri ini tanpa sadar juga terjebak kesombongan agama. What a shame me! Bukankah gue seharusnya berbahagia bahwa cinta-kasih bisa merebak di dunia yang penuh dengan kejahatan ini?

Wah, lagi-lagi gue diingatkan bahwa cinta-kasih adalah murni milik Allah yang juga dikomunikasikan pada manusia yang diciptakan-Nya. Itu sebabnya, sejahat apapun seorang manusia pasti ada setitik kasih, warisan DNA Allah, yang secara potensial terkandung di dalam nuraninya. Permasalahannya adalah seringkali DNA kasih itu justru dipinggirkan, digusur, dan ditutupi dengan berbagai alasan “pribadi” yang corrupted by sin of course. Itu sebabnya, tanpa kesadaran penuh bahwa kasih yang pure adalah hanya milik Allah maka gue bakalan mengasihi dengan cara gue sendiri.

Allah dengan jelas mempertontonkan kasih murni yang penuh ketulusan dan tanpa rasa curiga dalam diri Yesus, yang adalah Allah sekaligus Manusia sejati. Dengan demikian, merasa diri paling oke dalam hal mengasihi ga membuat gue lebih baik dari para penganut rasisme. Huft… malu mode on deh gue di hadapan tokoh Risvan yang berhati murni. Kekaguman pada sosok Risvan yang autis ini ga ditujukan buat anda-anda semua ngeliat gue sebagai seorang pluralis atau humanis. Gue cuma sedang berjuang buat jadi pecinta sejati. Salam cinta-kasih!

2 komentar: